Selasa, 01 Juli 2008

Sejarah dan Perkembangan Tafsir:Telaah Atas Pendapat Ulama dalam Bidang Sejarah dan Perkembangan Tafsir

Oleh Mohammad Nor Ichwan

Abstrak: Pada bab ini akan dibahas secara komprehensif tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir al-Qur’an, yang di dalamnya mencakup tiga periode, yaitu pertama, pada masa nabi Muhammad dan sahabat, yang pembahasannya akan dibagi lagi menjadi beberapa sub pokok bahasan diantaranya, pemahaman Nabi SAW dan sahabat terhadap al-Qur’an, kondisi pemahaman sahabat atas ayat al-Qur’an, sumber tafsir al-Qur’an pada masa Nabi SAW dan sahabat, serta keistimewaan tafsir pada masa sahabat; kedua, pada masa tabi’in, yang pembahasannya akan dibagi lagi menjadi sub pokok bahasan, yaitu sumber penafsiran pada masa tabi’in, madrasah-madrasah tafsir pada masa tabi’in, serta keistimewaan tafsir pada masa ini; dan yang ketiga, adalah sejarah dan perkembangan tafsir pada masa kodifikasi/ pembukuan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir, disini akan dikemukakan tentang pengklasifikasian terhadap sejarah dan perkembangan tafsir itu sendiri. Para ulama tafsir dan juga orientalis dalam hal ini telah bersepakat bahwa sejarah dan perkembangan tafsir dapat di klasifikasikan menjadi 3 periode, hanya saja mereka berselisih pendapat di dalam memberikan nama dari masing-masing periode tersebut.
Muhammad Husain adz-Dzahabi telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode : pertama, tafsir pada masa Nabi dan sahabat;[1] kedua, tafsir pada masa tabi’in;[2] dan yang ketiga, tafsir pada masa pembukuan.[3] Sedangkan menurut A. D. Su’ud Bin Abdullah al-Fanisan membagi perkembangan tafsir menjadi dua periode, pertama, tafsir pada abad pertama yang meliputi tafsir pada masa Rasulullah dan tafsir pada masa sahabat, dan kedua, tafsir pada abad kedua dan ketiga yang meliputi masa tabi’in dan pembukuan.[4] Sementara itu Ignaz Goldziher[5] telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode pula, yaitu pertama, tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak tafsir bi al-ma’tsur, kedua, tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ra’y yang meliputi aliran akidah, aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan, ketiga, tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/ keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Ada juga yang membagi perkembangan tafsir menjadi empat periode, yaitu pertama, periode Rasulullah SAW.; kedua, periode mutaqaddimin; ketiga, periode mutaakhirin; dan keempat, periode modern (al-‘Asri).[6]
Untuk memudahkan di dalam membahas tentang sejarah dan perkembangan tafsir, di sini akan dikemukakan periodesasi yang dibuat oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

1st.Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Nabi SAW. dan Masa Sahabat.
Dalam kaitannya dengan pembahasan sejarah dan perkembangan tafsir pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat, di sisni akan dibagi urainya menjadi beberapa sub-bab pokok bahasan yang meliputi :

1. Pemahaman Nabi dan sahabat terhadap al-Qur’an.
Bahwa al-Qur’an diwahyukan kepada seorang Nabi yang ummi dan kepada kaum yang ummi pula. Mereka hanya memiliki bahasa lisan sebagai sarana komunikasi dan hati untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Bangsa Arab saat diturunkannya al-Qur’an telah mengenal beberapa bentuk kesenian yang sudah mapan. Bahasa yang berkembang di masyarakat pada saat itu ada yang berbentuk haqiqah,[7] majaz,[8] kinayah,[9] ithnab dan lain sebagainya.
Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah telah mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi komunikasi yang baik dan sempurna di antara mereka. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (ابرهيم/14: 4)

“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim/14: 4).
Demikian juga kitab yang diturunkan kepada rasul, juga menggunakan bahasanya dan bahasa kaumnya. Oleh karena bahasa Muhammad adalah bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya juga menggunakan bahasa Arab, kecuali hanya sedikit sekali bahasa non-Arab.[10] Hal ini sebagaimana disinyalir dalam beberapa firman Allah SWT sebagai berikut :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يونس/12: 2)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yusuf/12: 2).

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ , نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ اْلأَمِينُ, عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنْ الْمُنذِرِينَ, بِلِسَانٍٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (الشعراء/26: 192- 195)

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia di bawa oleh ar-Ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (Q.S. asy-Syu’ara/26: 192-195).

Berdasarkan beberapa ayat di atas, maka nabi Muhammad dapat memahami nash al-Qur’an yang berbahasa Arab, baik secara global (mujmal) maupun secara terperinci (tafsiliy),[11] disamping karena Allah SWT. telah memberikan jaminan bahwa Dia akan memelihara serta menjelaskan kitab Suci tersebut.. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT.:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ, فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ, ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (القيامة/75: 17- 19)

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu, Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (Q.S. al-Qiyamah/75: 17-19).

Sedangkan para sahabat pada dasarnya secara thabi’i juga telah dapat memahami al-Qur’an secara global saja, karena pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Qur’an. Namun pemahaman mereka secara detail terhadap al-Qur’an masih memerlukan bantuan penjelasan dari Nabi yang berupa hadis-hadis, karena di dalamnya banyak didapati ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, musykil, dan juga ayat-ayat mutasyabihat.

2. Kondisi pemahaman para sahabat atas ayat al-Qur’an.
Menurut pendapat para ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua aliran, yaitu pertama, yang diwakili oleh Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa semua sahabat mampu memahami al-Qur’an, baik dalam bentuk kosa-katanya maupun susunan kalimatnya. Berkaitan dengan masalah ini ia mengatakan:

يَقُوْلُ اِبْنُ خَلْدُوْن فِى مُقَدِّمَتِهِ: إِنَّ اْلقُرْأَنَ نُزِلَ بِلُغَةِ اْلعَرَبِ وَعَلَى اَسَالِيْبِ بَلاَغَتِهِمْ, فَكَانُوْا كُلُّهُمْ يَفْهَمُوْنَهُ وَيَعْلَمُوْنَ مَعَانِيْهِ فِى مُفْرَدَاتِهِ وَتَرَاكِيْبِهِ

“Bahwasannya al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balaghahnya, maka semua orang arab (sahabat) memahami dan mengetahui makna-makna ayat al-Qur’an, baik kosa kata maupun susunan kalimatnya”.[12]

Kedua, kelompok yang diwakili oleh Ibnu Qutaibah yang mengatakah bahwa sahabat memiliki perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an. Mengenai hal ini ia mengatakan:

قَالَ اِبْنُ قُتَيْبَةَ: اِنَّ اْلعَرَبَ لاَ يَسْتَوِى فِى اْلمَعْرِفَةِ اْلجَمِيْعِ مَا فِى اْلقُرْأَنِ مِنَ اْلغَرِيْبِ وَاْلمُتَشَابِهِ, بَلْ اَنَّ بَعْضَهَا يُفَصِّلُ فِى ذَلِكَ عَنْ بَعْضٍ

“Orang-orang Arab tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata gharib dan mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur’an. Akan tetapi antara sebagain sahabat yang satu memeiliki kelebihan dengan sahabat yang lainnya”.[13]

Dari nukilan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat memiliki perbedaan pemahaman terhadap isi keseluruhan dari al-Qur’an, meskipun al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa mereka sendiri, karena tidak sedikit dijumpai di dalamnya lafadz-lafadz gharib dan ayat-ayat mutasyabihat[14] yang hanya dapat diketahui dengan mendapatkan pemahaman/penjelasan dari nabi Muhammad, bahkan antara pribadi-pribadi sahabat satu dengan lainnya tidak setingkat kualitasnya dalam memahami ayata-ayat al-Qur’an.
Perbedaan tingkat pemahaman yang dimiliki oleh para sahabat terhadap al-Qur’an ini dapat disebabkan karena beberapa faktor,[15] yaitu pertama, pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat, dan sastra Arab jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan sebagainya, sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an berbeda-beda pula.
Kedua, ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Muhammad SAW. sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab al-Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Qur’an. Karena itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab al-Qur’an diturunkan itu, lebih mampu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dibandingkan dengan yang lain.[16]
Ketiga, perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan haji, dibanding para sahabat yang kurang tahu.
Keempat, perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat al-Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, akan lebih dapat memahami ayat-ayat tersebut dibandingkan dengan yang tidak mengetahui.
Dari kedua pendapat di atas, maka pendapat yang disebutkan terakhir adalah yang lebih mendekati kebenaran, hal ini karena didukung oleh beberapa riwayat, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dalam “al-Fadhail” dari Anas, dimana Umar Ibn Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat wa fakihah wa abba (Q.S. Abasa/80: 31), lalu ia berkata : “Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui artinya, tetapi apakah arti kata “abb”. Kemudian ia menyesali diri sendiri seraya berkata: “Ini suatu pemaksaan diri (takalluf), wahai Umar”.[17]
Abu Ubaidah juga telah meriwayatkan melalui Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Dulu saya tidak tahu apa makna “Allah fatir as-samawat wa al-ard” sampai datang kepadaku dua orang A’rabiy yang berselisih tentang pemilik sumur, salah seorang mereka berkata : “ana fatartuha”, dan yang satu lagi berkata “ana ibtada’tuha”. Sehingga beliau tahu bahwa lafadz “fatir” sama artinya dengan “ibtada’a”.
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas maka menjadi jelaslah bahwa para sahabat mempunyai kemampuan yang berbeda-beda di dalam memahami al-Qur’an dan juga dalam menjelaskan makna yang dimaksud oleh suatu ayat, hal ini disebabkan oleh perbedaan perangkat yang digunakan untuk memahami al-Qur’an.

3. Sumber Tafsir pada Masa Nabi dan sahabat.
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an pada masa ini berpegang pada empat sumber: pertama, al-Qur’an al-Karim.[18] Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara ayat-ayat al-Qur’an itu ada yang mujmal [19] dan ada yang mubayyan,[20] ada yang mutlaq[21] dan ada yang muqayyad,[22] ada yang ‘am[23] dan ada pula yang khas.[24] Apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum, namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang kemudian dimaksud dengan “Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an”.
Oleh karena itu, seseorang yang akan menafsirkan al-Qur’an harus mengetahui lebih dahulu, apakah ia mujmal, mutlaq, ataukah ‘am, sehingga dapat dicari dahulu mubayyin-nya, muqayyid-nya atau takhsis-nya pada ayat yang lain. Penafsiran yang seperti ini cukup banyak contohnya di dalam al-Qur’an. Berdasarkan hal di atas, maka penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an mempunyai beberapa bentuk, diantaranya:
Pertama, ( اَنْ يَحْمِلَ اْلمُجْمَلُ عَلَى اْلمُبَيِّيْنِ لِيُفَسِّرَ بِهِ )[25] , yaitu membawa suatu yang mujmal kepada suatu yang mubayyan untuk mendapatkan penjelasan. Sebagai contoh dapat dikemukakan firman Allah, diantaranya : Q.S. al-Mu’min/40: 28:

وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ (المؤمن/40: 28)

“Dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu” (al-Mu’min/40: 28).

ayat di atas ditafsirkan oleh ayat 77 pada surat yang sama:

فَإِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِي نَعِدُهُمْ أَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ (المؤمن/40: 77)

“... maka meskipun kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kami sajalah mereka dikembalikan” (al-Mu’min/40: 77).

Contoh lain adalah firman Allah SWT. yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa/4: 27:

وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيمًا (النساء/4: 27)

“... sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (an-Nisa’/4: 27)

ayat di atas ditafsirkan oleh surat yang sama pada ayat 44 :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنْ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلاَلَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (النساء/4: 44)
“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar)”.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain yang senada, seperti : Surat al-Baqarah/2: 37, dengan al-A’raf/7: 33; al-An’am/6: 103 dengan al-Qiyamah/75: 23; al-Maidah/5: 1 dengan al-Maidah/5: 3.
Kedua, ( حَمْلُ اْلمُطْلَقِ عَلىَ اْلمُقَيَّدِ وَاْلعَامُ عَلىَ اْلخَاصِ),[26] yaitu membawa suatu ayat yang masih mutlaq kepada yang muqayyad dan ‘Am kepada yang khas. Hal ini terjadi jika ada dua masalah yang berbeda kandungan hukumnya tetapi bersamaan sebabnya. Sebagai contoh adalah masalah wudlu dan tayammum dalam Surat al-Maidah/5: 6; juga masalah kifarat zhihar dalam Q.S. al-Mujadalah/58: 3 dengan kifarat pembunuhan dalam Q.S. an-Nisa/4: 92.
Ketiga, ( الجَمْعُ بَيْنَ مَا يَتَوَهَّمُ اَنَّهُ مُخْتَلِفٌ),[27] yaitu mengumpulkan antara ayat-ayat al-Qur’an yang diperselisihkan pengertiannya. Sebagai contoh adalah ayat tentang penciptaan Adam, dimana pada suatu ayat dijelaskan bahwa Adam diciptakan dari “turab” (tanah/debu), sementara itu pada ayat yang lain ia diciptakan dari “thin” (tanah/lempung), kemudian dari “hamaim masnun”, dari “shalshal”. Dinatara ayat-ayat yang kelihatannya berbeda tersebut dapat dikumpulkan pengertiannya bahwa hal tersebut merupakan penjelasan tentang proses penciptaan di saat permulaan sampai dengan ditiupkannya ruh kepadanya.
Keempat, ( حَمْلُ بَعْضِ اْلقِرَاءَاتِ عَلىَ غَيْرِهَا),[28] yaitu membawa perbedaan bacaan atas suatu ayat yang berbeda satu dengan yang lain. Hal yang semacam ini bisa terjadi dalam beberapa hal, diantaranta adalah (a) suatu qira’at yang secara redaksional berbeda, tetapi secara makna memiliki arti yang sama. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra’/17: 93: ( اَوْ يَكُوْنَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُحْرُفٍ ). Bacaan ini adalah yang masyhur, tetapi menurut qira’at Ibnu Mas’ud ayat tersebut berbunyi: ( اَوْ يَكُوْنُ لَكَ بَيْتٌ مِنْ ذَهَبٍ ). Jadi secara redaksional kedua lafadz tersebut, yaitu lafadz “zukhruf” dan lafadz “dzahab” berbeda, tetapi keduanya memiliki makna yang sama; (b) qira’at yang memiliki perbedaan baik secara redaksional maupun secara makna. Seperti dalam Q.S. al-Jumu’ah/62: 9, menurut qira’at yang mutawatir adalah ( فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ الله ), sedang menurut qira’at Ibnu Mas’ud adalah ( فَامْضُوا الِىَ ذِكْرِ الله ). (c) qira’at yang memiliki perbedaan dalam hal penambahan dan pengurangan, di satu sisi tak ada tambahan pada qira’ah yang mutawatir, tetapi pada qira’at yang lain terdapat penambahan. Sebagimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 198, menurut qira’at yang mutawatir ayat tersebut berbunyi sebagai berikut: ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَّبِكُمْ ), sedangkan menurut qira’at Ibnu Abbas ayat tersebut ditambah dengan lafadz “fi Mawasim al-Hajj”, sehingga ayat tersebut berbunyi: ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَّبِكُمْ فِىْ مَوَاسِمِ اْلحَجِّ ), dimana penambahan lafadz “fi mawasim al-hajj” sebagai tafsirnya.
Sumber kedua, Hadis nabi Muhammad saw.[29] Sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan tafsir sudah tumbuh sejak masa nabi Muhammad masih hidup, dimana nabi Muhammad merupakan orang pertama yang diberi kewenangan untuk menjelaskan dan menerangkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Apabila para sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para sahabat. Karena hal itu sudah menjadi tugas dan fungsi Rasul, yaitu sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nahl/16: 44:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل/16: 44)

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka dan suapaya mereka memikirkan” (Q.S. an-Nahl/16: 44).

Juga hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW. bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diberikan kepadaku al-Kitab dan yang semisal dengannya”.[30] Namun para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat al-Qur’an yang telah ditafsirkan oleh Rasulullah SAW., apakah beliau menjelaskan secara keseluruhan kepada sahabatnya ataukah tidak ?. Menurut Iman as-Suyuthi dan Samsuddin al-Khawiy[31] bahwa Rasulullah SAW hanya menjelaskan sebagian kecil saja dari al-Qur’an kepada para sahabatnya. Sementara itu menurut Ibn Taimiyyah bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada para sahabatnya semua makna al-Qur’an, baik secara global maupun secara terperinci.[32] Untuk pendapat yang disebutkan terakhir mengemukakan beberapa alasan guna memperkuat argumentasinya, di antaranya:
Pertama, bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan makna al-Qur’an kepada para sahabatnya sebagaimana ia menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nahl/16: 44, seperti yang telah disebutkan di atas.
Kedua, Abu Abdurrahman al-Sulamy mengatakan: orang-orang yang telah mengajarkan al-Qur’an kepada kami seperti Utsman Ibn Affan dan Abdullah Ibn Mas’ud dan lain-lainnya menerangkan kepada kami bahwa apabila mereka itu telah mengetahui dari Nabi SAW sepuluh ayat al-Qur’an, maka mreka tidak akan mempelajari yang lainnya sehingga mereka mengetahui apa maksud ayat tersebut, baik secara teoritis maupun secara praktis. Lalu mereka mengatakan bahwa kami telah mengetahui isi al-Qur’an baik teoritis maupun praktis secara keseluruhan.
Ketiga, bahwa memikirkan (tadzabbur) firman Allah tidak semata-mata pada lafadznya, tetapi yang lebih utama adalah dari segi maknanya. Dan mentadzabbur kalam tanpa memahami makna-maknanya adalah tidak mungkin. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:

· كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ (ص/38: 29)
· أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا (النساء/4: 82)
· أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمْ اْلأَوَّلِينَ (المؤمنون/23: 68)

Sementara itu para ulama yang berpendapat bahwa Rasulullah SAW hanya menjelaskan sebagian saja dari al-Qur’an kepada para sahabatnya berargumentasi dengan beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, apa yang diriwayatkan oleh al-Bazar[33] dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak menjelaskan al-Qur’an kecuali hanya beberapa ayat saja yang telah diajarkan oleh malaikat Jibril as.
Kedua, apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika ditanya tentang makna al-abb dalam Q.S. ‘Abasa/80: 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا . Lalu beliau berkata: “Langit manakah yang akan aku jadikan tempat berteduh, dan bumi manakah yang akan aku pijak, apabila aku mengatakan tentang kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”. Demikian juga perkataan Umar: “Makna al-Fakihah telah kita ketahui bersama, lalu apakah arti abb itu ?.
Ketiga, seandainya Rasulullah SAW telah menjelaskan setiap makna al-Qur’an kepada para sahabatnya, tentu Rasulullah SAW tidak akan mendo’akan Ibn Abbas dengan do’anya yang khusus, yaitu: اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلَّمَهُ اْلتَأْوِيْلَ . Disisi lain, seandaninya tafsir itu secara keseluruhan di riwayatkan dari Nabi SAW, pastilah do’a kepada Ibn Abbas tersebut akan berbunyi: اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَحَفَظَهُ التَأْوِيْلَ
Menurut adz-Dzahabi, setelah menguraikan kedua pendapat di atas beserta argumentasinya masing-masing, ia lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi menjelaskan hanya sedikit saja dari makna al-Qur;an itu kepada para sahabatnya. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya di dalam al-Qur’an terdapat bagian-bagian yang hanya diketahui maksudnya oleh Allah semata, yang dapat diketahui oleh para ulama, yang dapat diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab, dan bahkan ada bagian-bagian yang dengan mudah dapat diketahui oleh orang bodoh sekalipun. Untuk memperkuat pendapatnya ini, lebih lanjut ia mengutip pendapat Ibn Abbas yang mengatakan :

اَلتَّفْسِيْرُ عَلَى اَرْبَعَةِ اَوْجُوْهٍ: وَجْهٌ تَعْرِفُهُ اْلعَرَبُ مِنْ كَلاَمِهَا, وَتَفْسِيْرٌ لاَ يَعْذِرُ اَحَدٌ بِجَهَالَتِهِ, وَتَفْسِيْرٌ تَعْرِفُهَا اْلعُلَمَاءُ, وَتَفْسِيْرٌ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ الله.

“Ada empat tema pokok dalam tafsir al-Qur’an, yaitu tafsir yang dapat difahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, tafsir yang dapat difahami oleh orang bodoh, tafsir yang dapat difahami oleh para ulama’, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah semata”.[34]
Penjelasan dan keterangan mengenai al-Qur’an yang berasal dari Rasulullah SAW semacam ini kemudian disebut sebagai “tafsir bi al-manqul” atau “tafsir bi al-ma’tsur”. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Tirmidzi, dan juga yang lainnya dari ‘Ady bin Hibban yang berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan “al-Maghdhubi ‘Alaihim” adalah orang-orang Yahudi, dan “al-Dhallin” adalah orang-orang Nasrani”. Juga hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya dari Ibn Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Maksud dari “al-Shalat al-Wustha” adalah shalat al-Ashr.[35]
Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Syaikhan (Bukhari dan Muslim) dan lainnya dari Ibn Mas’ud, ia berkata: “Ketika ayat ini turun “alladhina amanu wa lam yalbisu imanahum bi dhulmin” (orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman [al-An’am/6: 82), banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulullah, siapakan diantara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?”. Rasulullah menjawab: “Maksud ayat ini bukanlah seperti yang kalian pahami, bukankan kalian pernah mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang shaleh: “Inna as-Syirk ladhulmun ‘adhim” (sesungguhnya yang dimaksud dengan dhulm dalam ayat ini adalah syirk (Luqman/31: 13).[36] Jadi yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusrikan. Selain dari riwayat yang telah dikemukakan masih banyak riwayat lainnya yang shahih dari Rasulullah saw, yang menjadi materi pokok dan sumber utama bagi kitab-kitab tafsir al-ma’tsur.
Sumber ketiga, Ijtihad dan Istinbath.[37] Para sahabat, apabila tidak menemukan penafsiran dalam al-Qur’an dan tidak pula menemukan penafsiran dalam al-Hadits, maka mereka berusaha menafsirkan dengan ijtihad dan istinbath. Hal ini, mengingat karena sahabat adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, dan dapat memahaminya dengan baik serta mengetahui aspek-aspek kebalaghahan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu mereka tidak membutuhkan penelitian untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Namun, jika mereka merasa apa yang terdapat dalam bahasa Arab tidak cukup memadai untuk memahami ayat al-Qur’an, maka mereka harus mengadakan penelitian terhadap teks-teks klasik seperti syair-syair orang Arab Jahiliyah sebagai sumber penfsirannya.
Adapun metode ijtihad yang digunakan oleh para sahabat dalam memahami ayat al-Qur’an,[38] di antaranya:
1. مَعْرِفَةُ اَوْضَاعِ اْللُّغَةِ وَاَسْرَارِهَا yaitu mengetahui tema-tema bahasa Arab dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Pengetahuan ini dapat menolong pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya;
2. مَعْرِفَةُ عَادَاتِ اْلعَرَبِ yaitu mengetahui adat kebiasaan mereka, yang dapat menolong memahami ayat al-Qur’an yang ada hubungannya dengan adat kebiasaan mereka;[39]
3. مَعْرِفَةُ اَحْوَالِ اْليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى فِى جَزِيْرَةِ اْلعَرَبِ وَقْتَ نُزُوْلِ اْلقُرْاَنِ yaitu mengetahui keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di jazirah Arab ketika turunnya wahyu, yang dapat menolong memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada perbuatan mereka dan cara menolaknya;
4. مَعْرِفَةُ اَسْبَابِ النُّزُوْلِ yaitu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an), ilmu ini dapat menolong memahami ayat-ayat al-Qur’an;[40]
5. قُوَّةُ اْلفَهْمِ وَ سَعَةُ اْلإِدْرَاكِ yaitu kekuatan dan keluasan pemahaman atas ayat al-Qur’an.[41] Hal ini merupakan keutamaan dan karunia yang diberikan Allah SWT. kepada orang yang dikehendaki dari para hambanya. Karena, di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayatnya yang adakalanya mudah dipahami dan adakalanya sulit dan tersembunyi maknanya yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan daya pemahaman yang kuat seperti yang dimiliki oleh Ibn Abbas dengan do’a Rasulullah: “Allahumma faqqihhu fi al-din wa allamahu al-ta’wil”.
Adapun di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an adalah Khulafa al-Rasyidun, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin ‘As dan Aisyah. Dan di antara keempat khalifah tersebut yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an adalah Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan ketiga khalifah lainnya jarang menafsirkan al-Qur’an, hal ini disebabkan kaena ketiganya lebih dulu meninggal dunia. Dan dari kesepuluh sahabat tersebut yang tepat dijuluki sebagai ahli tafsir al-Qur’an adalah Abdullah Ibn Abbas, karena kedalam ilmunya disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Di sisi lain Ibn Abbas juga terkenal dengan sebutan “Tarjuman al-Qur’an”, meskipun ada pula yang merendahkan dan meremehkan ucapan-ucapannya, sebagaimana Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tafsir yang benar dari Ibn Abbas hanya setara seratus hadis.
Para ulama berbeda pendapat tentang nilai dari penafsiran para sahabat. Menurut al-Hakim dalam al-Mustadrok mengatakan bahwa tafsir para sahabat bernilai sama dengan hadits marfu’, jika berhubungan dengan sebab-sebab nuzul ayat atau tentang sesuatu masalah yang tidak dapat dimasuki akal. Sedangkan menurut Ibnu Sholah, jika hal itu dapat dicapai oleh akal maka tafsir para sahabat adalah mauquf selama tidak ada bukti penyandarannya kepada Nabi.
Sementara itu, menurut sebagian ulama yang lain mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat, karena para sahabat adalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi pada saat ayat diturunkan, disamping kemampuannya dalam hal pemahaman yang sahih. Hal ini sebagaimana dikatakan az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an:

قَالَ الزَّرْكَشِى فِى اْلبُرْهَانِ: اِعْلَمْ اَنَّ اْلقُرْأَنَ قِسْمَانِ: قِسْمٌ وَرَدَ تَفْسِيْرُهُ بِالنَّقْلِ, وَقِسْمٌ لَمْ يُرِدْ, وَاْلأَوَّلُ اِمَّا اَنْ يُرَدَّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوِ الصَّحَابَةِ اَوْ رُؤُوْسِ التَّابِعِيْنَ. فَاْلأَوَّلُ يَبْحَثُ فِيْهِ عَنْ صِحَّةِ السَّنَدِ وَالثَّانِى يَنْظُرُ فِى تَفْسِيْرِ الصَّحَابِى. فَإِنَّ فَسَّرَهُ مِنْ حَيْثُ اللُّغَةِ فَهْمُ اَهْلِ اللِّسَانِ فَلاَ شَكَّ فِى اِعْتِمَادِهِ اَوْ ِبَما شَاهِدُوْهُ مِنَ اْلأَسْبَابِ وَالْقَرَائِنِ فَلاَ شَكَّ فِيْهِ

Perlu diketahui bahwa penafsiran al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu sebagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat), dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran adakalanya dari Nabi, sahabat, atau tokoh tabi’in. Jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ?. Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini pun tidak diragukan lagi.[42]

Senada dengan pendapat al-Zarkasyi, al-Hafidz Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya mengatakan :

قَالَ اْلحَافِظُ بْنُ كَثِيْرٍ فِى مُقَدِّمَةِ تَفْسِيْرِهِ: وَحِيْنَئِدٍ اِذَا لَمْ نَجِدْ التفْسِيْرَ فِى اْلقُرْأَنِ وَلاَ فِى السُّنَّةِ رَجَعْنَا فِى ذَلِكَ اِلَى اَقْوَالِ الصَّحَابَةِ, فَإِنَّهُمْ اَدْرِيْ بِذَلِكَ لِمَا شَاهِدُوْهُ مِنَ اْلقَرَائِنِ وَاْلأَحْوَالِ الَّتِى اِخْتَصُّوْا بِهَا وَلِمَا لَهُمْ مِنَ اْلفَهْمِ التَّامِّ وَاْلعِلْمِ الصَّحِيْحِ وَاْلعَمَلِ الصَّالِحِ – وَلاَ سِيَمَا عُلَمَاؤُهُمْ وَكُبَرَاؤُهُمْ كَاْلأَئِمَّةِ ْالأَرْبَعَةِ, وَاْلحُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَاْلأَئِمَّةِ اْلمُهْتَدِيْنَ ْالمَهْدِيِّيْنَ, وَعَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ

Jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, hendaknya kita kembali pada pendapat para sahabat, sebab mereka lebih mngetahui tafsir al-Qur’an. Hal ini karena merekalah yang menyaksikan konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka sendiri. Juga karena mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ al-Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk dan Abd Allah Ibn Mas’ud[43]

Sumber keempat, adalah cerita-cerita ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan Nasrani,[44] yang tersebar dikalangan umat Islam.[45] Sebagimana diketahui bahwa kitab al-Qur’an memiliki persaman dengan kitab-kitab terdahulu dalam beberapa masalah tertentu seperti kitab Taurat dan Injil, khususnya dalam hal menceritakan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Dalam kitab al-Qur’an terdapat beberapa tema yang juga terdapat dalam kitab Injil seperti kisah lahirnya Isa ibn Maryam dan mu’jizatnya.
Dalam menceritakan beberapa kisah tersebut al-Qur’an mempunyai perbedaan metodologis dengan kitab Taurat dan Injil. Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah tersebut hanya secara global dan berfungsi sebagai ibrah saja, sedangkan dalam Taurat dan Injil kisah tersebut diceritakan secara detail dari berbagai seginya, seperti nama, tempat, dan waktunya.
Dalam hal ini, sebagian sahabat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an mengambil cerita-cerita israiliyat kepada ahli al-kitab, baik yang berasal dari orang-orang Yahudi maupun Nasrani yang telah menyatakan diri masuk Islam seperti Abdullah bin Salam[46] dan Wahab bin Munabih,[47] Ka’ab al-Ahbar,[48] dan dari kalangan tabi’in seperti Ibn Juraij dan yang lainnya. Hal ini dilakukan karena para sahabat tidak banyak mendapatkan informasi yang memadai dari Rasulullah SAW. berkaitan dengan kisah-kisah tersebut. Kisah-kisah yang demikian itu diambil oleh para sahabat selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

4. Keistimewaan Tafsir di Masa Sahabat

Tafsir pada masa sahabat ini memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:[49]
1. Pada masa ini al-Qur’an tidak ditafsirkan secara keseluruhan, tapi hanya sebagian saja dan yang dianggap sukar (tersembunyi) pengertiannya, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada;
2. Tidak banyak perbedaan di antara mereka di dalam memahami makna-makna al-Qur’an;
3. Para sahabat banyak yang mencukupkan penafsirannya secara ijmaly (global);
4. Membatasi penafsirannya dengan menjelaskan makna bahasa yang primer;
5. Tidak adanya penafsiran secara ilmy, fiqhy, dan madzhaby;
6. Pada masa ini tafsir masih belum dikodifikasikan, hal ini disebabkan karena pengkodifikasian baru ada setelah abad II Hijriyah. Tafsir belum mengambil bentuknya yang teratur dan belum menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.

B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Tabi’in
Periode kedua perkembangan tafsir adalah pada masa tabi’in yang dimulai sejak berakhirnya tafsir pada masa sahabat. Hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabat yang meninggal dunia, yang mereka itu adalah para guru dari para tabi’in, dan juga banyaknya para tabi’in yang mengikuti jejak guru-gurunya dalam bidang penafsiran al-Qur’an, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang masih tersembunyi pengertiannya. Karena banyaknya para tabi’in yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka hasil karyanya ini kemudian dikenal dengan “tafsir tabi’in”.

1. Sumber Tafsir pada Masa Tabi’in
Dalam penafsirannya ini para tabi’in berpegang kepada sumber-sumber yang telah ada pada masa pendahulunya, yaitu pertama, ayat al-Qur’an; kedua, hadist Nabi Muhammad SAW; ketiga, pendapat para sahabat; keempat, keterangan dari ahl al-kitab baik Yahudi maupun Nasrani; dan kelima, Ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Untuk keempat sumber yang disebutkan pertama, dalam pemakaiannya, para tabi’in tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Sedangkan untuk sumber yang disebutkan terakhir, muncul karena tafsir sahabat hanya menafsirkan sebagian ayat saja, yaitu ayat-ayat yang dirasa sangat sulit. Dengan demikian, penafsiran para tabi’in ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari penafsiran para sahabat.
Berkaitan dengan sumber penafsiran para tabi’in ini, Muhammad Husain ad-Dzahabi mengatakan :

وَقَدْ اِعْتَمَدَ هَؤُلاَءِ اْلمُفَسِّرُوْنَ فِى فَهْمهِمْ لِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَا جَاءَ فِى اْلكِتَابِ نَفْسِهِ, وَعَلَى مَا رَوَوْهُ عَنِ الصَّحَابَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مَا رَوُوْهُ عَنِ الصَّحَابَةِ مِنْ تَفْسِيْرِهِمْ اَنْفُسِهِمْ وَعَلَى مَا اَخَدُوْهُ مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ بِمَا جَاءَ فِى كُتُبِهِمْ وَعَلَى مَا يَفْتَحُ اللهُ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ طَرِيْقِ اْلإِجْتِهَادِ وَالنَّظْرِ فِى كِتَابِ اللهِ تَعَالَى

Dalam memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima tabi’in dari Ahl al-Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.[50]

Sebagai kelanjutan dari penafsiran para sahabat, tafsir tabi’in merupakan penyempurnaan dari sebagian kekurangan yang ada pada masa sahabat. Dalam tafsirnya, mereka menambahkan dalam tafsirnya keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Proses ini berlanjut hingga generasi sesudahnya, yaitu masa sesudah tabi’in (tabi’ at-tabi’in). Dan generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat al-Qur’an, alat-alat pemahaman dan sarana pengkajian yang lainnya.
Dengan semakin meluasnya daerah taklukan Islam, maka semakin tersebar pula tokoh-tokoh mufassir ke berbagai daerah tersebut. Mereka menjadi mubaligh/ guru yang mengajarkan tafsir kepada para penduduk setempat. Sehingga, pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai macam madrasah (aliran-aliran) tafsir.

2. Madrasah-madrasah Tafsir pada Masa Tabi’in
Berkaitan dengan masalah ini, akan dijelaskan tentang madrasah-madrsah tafsir pada masa tabi’in, yang meliputi tiga madrasah dan juga para mufassirnya, dimana mereka itu mempelajarinya dari kalangan sahabat. Adapun madrasah-madrasah tafsir pada masa tabi’in, di antaranya :

a. Madrasah Tafsir di Makkah[51]
Madrasah tafsir di Makkah ini didirikan oleh sahabat Abdullah Ibn Abbas, yang menjadi guru dan sekaligus menafsirkan dan menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa masih sulit pengertiannya kepada para tabi’in.
Di antara para murid-muridnya yang terkenal (masyhur) adalah Said bin Jubair,[52] Mujahid bin Jubair,[53] Atha’ bin Abi Rabah,[54] Ikrimah,[55] Thawus bin Kaisan al-Yamani.[56]
Proses kemunculan madrasah ini diawali ketika Ibn Abbas sebagai guru di Makkah menafsirkan al-Qur’an di kalangan para tabi’in dan menjelaskan hal-hal yang muskil dari makna lafadz al-Qur’an, kemudian tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri, lalu meriwayatkan tafsir dari sahabat dan penafsiran tabi’in itu sendiri kepada generasi berikutnya.
Adapun keistimewaan dari madrasah ini ditandai dengan keistimewaan para tokohnya, yaitu pertama, dalam hal qira’at, madrasah ini memakai qira’at yang berbeda-beda, seperti Said bin Jubair, kadang-kadang memakai qira’at Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud, dan kadang-kadang memakai qira’at Zait bin Tsabit; kedua, dalam hal metode penafsiran, madrasah ini sudah memakai dasar aqliy.

b. Madrasah Tafsir di Madinah
Madrasah ini didirikan oleh Ubay bin Ka’ab. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara murid-muridnya dari kalangan tabi’in yang belajar kepadanya baik secara langsung maupun tidak, yang terkenal di antara merea ada tiga, yaitu Zaid bin Aslam,[57] Abu ‘Aliyah,[58] dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi.[59]
Madrasah tafsir di Madinah timbul melalui proses dimana sahabat yang banyak menetap di Madinah berjamaah dalam bertadarus al-Qur’an, dan banyak juga diikuti oleh para tabi’in sebagai murid-murid sahabat yang di antara mereka lebih memfokuskan dirinya pada Ubay bin Ka’ab, dimana Ubay dalam hal ini lebih mashur dan lebih banyak menafsirkan al-Qur’an dibanding orang lain.
Keistimewaan madrasah di Madinah adalah pertama, telah ada sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far ar-Raziy dan juga Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu Aliyah; kedua, telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sebagimana diucapkan oleh Ibn ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab al-Quraziy; ketiga, telah timbul penafsiran bir ra’y, terbukti tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi.

c. Madrasah Tafsir di Irak
Madrsah ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud dan dilindungi oleh Gubernur Irak Ammar bin Jaser, serta didukung oleh tabi’in di Irak, seperti Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Jaser, Murrah al-Hamdaniy, Amir asy-Sya’biy, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah.
Madrasahj tafsir di Irak timbul melalui proses dimana ketika khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jaser sebagai gubernur di Kufah, maka bersamanya ditunjuk mubaligh/guru Ibn Mas’ud, yang meskipun banyak sahabat lain di Iraq tetapi beliaulah dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in di Iraq, disamping karena kemashurannya juga karena banyaknya penafsiran beliau yang dapat dinukilkan kepada generasi berikutnya.
Keistimewaan dari madrasah tafsir di Iraq adalah pertama, secara global, madrasah ini lebih banyak diwarnai oleh ahli ra’yi; kedua, sebagai konsekuensinya, maka timbul masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Qur’an; ketiga, sebagai kelanjutan adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an tersebut, maka timbullah metode istidlal.

2. Keistimewaan Tafsir pada Masa Tabi’in
Menurut Muhammad Husain adz-Dzahabi,[60] paling tidak ada empat keistimewaan tafsir pada masa tabi’in ini, antara lain:
1. Tafsir pada masa tabi’in banyak dimasuki cerita israiliyat, baik yang berasal dari orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hal ini terjadi karena banyaknya ahl al-kitab yang masuk Islam. Di antara sebab masuknya cerita israiliyat adalah karena adanya kecenderungan para tabi’in untuk mendapatkan penjelasan yang detail dan terperinci tentang keterangan al-Qur’an perihal masalah tersebut di atas, yang kemudian oleh para tabi’in cerita-cerita itu dimasukkan ke dalam tafsir mereka tanpa adanya penelitian.
2. Tafsir pada masa tabi’in masih berkembang dengan cara perjumpaan tokoh mufassir dalam meriwayatkan tafsir seperti masa sahabat/nabi, hanya saja periwayatan ini mempunyai kekhusussan yaitu bahwa periwayatan terjadi antara tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya.
3. Tafsir pada masa tabi’in banyak diwarnai adanya perbedaan pendapat madzhabiyah.
4. Banyaknya perbedaan antara tabi’in dengan apa yang ada pada sahabat dalam bidang tafsir.

C. Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Pembukuan
Periode ketiga dari perkembangan tafsir adalah periode pembukuan (tadwin), yang dimulai pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah.[61] Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.
Pada tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan secara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadis.
Para ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in disamping perhatiannya terhadap pengumpulan hadis adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Su’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-basri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan Abd bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya pada dasarnya adalah imam dan tokoh-tokoh ilmu hadis.[62] Tafsir golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita, dan yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’sur.
Pada tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadis serta manjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesusi dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H), dan yang lain-lainnya.[63]
Dalam tafsirnya mereka masih menggunakan corak tafsir bi al-ma’tsur, yaitu dengan jalan mencantumkan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi, sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Dalam pengambilan riwayat, terkadang juga disertai dengan adanya pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan memberikan kesimpulan sejumlah hukum serta menjelaskan kedudukan kata jika diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bi al-ma’tsur saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih. Sehingga para peneliti dan pengakaji kitab-kitab tersebut beranggapan bahwa semua riwayat yang terdapat didalamnya adalah shahih, yang pada akhirnya mereka juga akan menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber penafsirannya. Di sisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyyat sebagai dasar penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dulu.
Tahap keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan tafsir sudah mulai mencapai kesempurnaan, yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan serta banyaknya madzhab yang bermunculan. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai kecenderungan. Akibat dari itu semua, maka perkembangan tafsir mulai mengarah kepada tafsir bi al-ra’y, yang dalam perkembangnnya telah terjadi melalui beberapa tahap secara berangsur-angsur.


Catatan Akhir:

[1]Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976, hlm. 32
[2]Ibid., hlm. 98
[3]Ibid., hlm. 140
[4]Lihat A.D. Su’ud Bin Abd Allah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin, Asbabuhu wa atsaruhu, Markaz Dirasat wa al-I’lam, Riyadh, 1997, hlm. 13-46
[5]Pembahasan tentang sejarah perkembangan tafsir ini dapat dilihat lebih lanjut pada Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, Maktabah al-Khanjy, Mesir, 1955.
[6]Lihat Drs. Ahmad Musthafa Hadna, SQ, Problematika Menafsirkan al-Qur’an, Dina Utama Semarang, Semarang, 1993, hlm. 24; lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk peride yang disebutkan kedua dimulai sekitar abad pertama sampai awal abad keempat hijriyah, dan mencakup masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Sedangkan periode ketiga dimulai pada abad IV sampai abad XII hijriyah, dan berbagai disiplin ilmu mulai sudah banyak dibukukan. Sementara itu periode keempat dimulai sejak abad XIII atau sekitar abad 19 masehi hingga sekarang.
[7]Haqiqah adalah makna asli dari suatu lafazh atau kalimat. Makna ini biasanya sebagai perimbangan terhadap makna majaz.
[8]Makna majazi adalah makna lafazh atau kalimat yang tidak diartikan dengan makna hakiki, yaitu makna yang dapat diperoleh melalui bentuk qarinah, bahwa makna itulah yang dikehendaki oleh lafazh atau kalimat tersebut. Seperti lafazh ‘rahmat’ dalam Q.S. Ali Imran/3: 107. Makna hakiki dari lafazh rahmat adalah kasih sayang, namun dalam ayat tersebut yang dikehendaki adalah makna majazinya, yaitu surga. Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut diartikan dengan makna surga adalah dilihat dari kalimat sebelumnya, dan juga kalimat sesudahnya.
[9]Kinayah adalah lafazh yang mengandung makna yang tersembunyi, meskipun demikian ia tetap dapat dipahami walaupun tanpa bantuan qarinah, karena lafazh itu sudah lazim digunakan untuk makna tersebut. Seperti lafazh ‘dakhaltum’ atau ‘dukhul’ yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa/4: 23. Secara bahasa arti dasar kata itu adalah masuk. Namun lafazh tersebut sudah umum di kalangan masyarakat sebagai kinayah dari lafazh jima’. Sehingga, ketika seseorang berkata dukhul maka yang dipahami adalah jima’.
[10]Para ulama berselisih pendapat tentang bahasa al-Qur’an, apakah secara keseluruhan bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab ataukah ada unsur bahasa lain yang di Arabkan. Karena menurut penelitian Ibn Jarir at-Thabari ternyata didalamnya tidak sedikit dijumpai bahasa non-Arab, seperti bahasa Habasyah. (Lihat contoh keterangan ini pada Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Manshurat al-‘Asyr al-Hadis, t.tp, t.th., hlm. 333-334).
[11]Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 33
[12]Lihat Manna Khalil al-Qattan, op. cit., hlm. 334-335; juga Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 33
[13]Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 335; Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 36
[14]Mutasyabih secara harfiyah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang masih samar pengertiannya. Nash mutasyabih berarti nash yang masih sulit (musykil) untuk ditafsirkan, karena terdapat kesamaran makna di dalamnya. Artinya lafazh tersebut masih terdapat keserupaan dengan sesuatu yang lainnya, baik dari segi lafazh maupun dari segi maknanya. Namun, biasanya nash mutasyabih lebih dilihat dari segi maknanya. Nash mutasyabih ini merupakan imbangan dari nash yang bersifat muhkam (jelas pengertiannya). Diskursus tentang nash yang muhkam maupun yang mutasyabih ini berangkat dari firman Allah dalam Q.S. Ali Imran/3: 7.
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1998, hlm. 25-26
[16]Sebagai contoh dapat dikemukakan sebuah riwayat bahwa Umar Ibn Khattab telah mengangkat Qudamah sebagai Gubernur Bahrain. Kemudian Jarud mengadu kepada Umar bahwa Qudamah telah minum khamr dan mabuk. Lalu Umar berkata: “Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?”. Jarut berkata: “Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah ku katakan”. Kemudian Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: “Ya Qudamah, aku akan mendera engkau”. Berkata Qudamah: “Seandainya aku meminum khamr sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi engkau untuk mendera”. Umar berkata: “Kenapa?”. Jawab Qudamah: “Karena Allah telah berfirman dalam surat al-Maidah/5: 93: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh, karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyuakai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama nabi Muhammad dalam perang Badr, Uhud, Khandaq, dan peperangan yang lain”. Umar berkata : “Apakah tidak ada di antara kamu sekalian yang akan membantah perkataan Qudamah?”. Berkata Ibn Abbas: “Sesungguhnya ayat 93 suarat al-Maidah diturunkan sebagai uzur bagi umat pada masa sebelum ayat ini diturunkan, karena Allah berfirman dalam Surat al-Maidah/5: 90: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk perbuatan syetan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat keberuntungan”. Berkata Umar : “Benarlah Ibn Abbas”. (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1998, hlm. 25-26; bandingkan dengan adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 60).
[17]Lihat Muhammad Husai adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 34; juga Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 334-335
[18]Lihat Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit. hlm. 37
[19]Nash mujmal adalah nash yang menunjuk pada suatu makna yang tidak terang dan masih bersifat global, artinya makna yang dikehendaki dari suatu nash tersebut belum jelas sebelum adanya nash lain yang menjadi tafshil, tabyin, dan tafsirnya. Seperti kalimat aqimus shalat yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an. Dalam hal ini kalimat tersebut belum jelas pengertiannya karena masih memiliki pengertian yang sangat global sekali. Di dalamnya juga tidak dijelaskan bagaimana caranya, jumlah reka’atnya, bagaimana bacaannya, dan lain sebagainya. Baru kemudian ayat tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis yang mashur, shlatlah kamu sebagaimana kamu lihat saya shalat.
[20]Lafazh mubayyan ini sama pengertiannya dengan term lain seperti mufashshal, dan mufassir. Ketiga term ini merupakan imbangan dari term mujmal.
[21] Nash mutlaq adalah nash yang menunjukkan pada sesuatu makna, tanpa dikaitkan dengan suatu syarat atau sifat atau ciri apapun. Seperti lafazh fatahriru raqabah (memerdekakan budak) yang terdapat dalam Q.S. al-Maiadah/5: 89. Lafazh tersebut mutlak tidak dikaitkan dengan kaitan apapun, baik budak yang mukmin maupun budak kafir.
[22]Muqayyad adalah nash yang menunjuk pada suatu makna yang dikaitkan dengan suatu syarat, sifat dan ciri tertentu. Seperti kalimat fatahriru raqabatin mu’minatin (memerdekakan budak mukmin) yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa/4: 29, dimana kalimat ini terulang tiga kali dalam al-Qur’an. Lafzh raqabah pada ayat tersebut dikaitkan dengan sifat mu’minah (yang beriman). Sehingga raqabah yang tidak memiliki fifat dimaksud, maka tidak termasuk dalam kategori ini.
[23]‘Am adalah nash yang memberi pengertian umum, yang menunjukkan lebih dari dua hakikat, yang mencakup semua jenis. Seperti lafazh rijalun yang terdapat dalam kalimat al-Rijalu qawwamuna ‘alan nisa’. Dimana lafazh ini mencakup semua satuan yang berjenis kelamin laki-laki.
[24]Khas adalah nash yang secara langsung dan jelas menunjuk kepada maksud atau makna tertentu. Seperti lafazh Muhammad yang sering terulang dalam al-Qur’an. Maka yang dimaksud dengan Muhammad disini adalah Nabi Muhammad SAW, dan bukan nama Muhammad yang lainnya.
[25]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 38
[26] Ibid,.
[27] Ibid., hlm. 39
[28] Ibid., hlm. 40
[29]Ibid., hlm. 45;
[30]Dikutip dari ibid., hlm. 45
[31]Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Khalil Ibn Sa’adah al-Khawy, yang dinisbahkan pada al-Khawy, salah satu kota di Tibriz. Ia adalah seorang ahli fiqh, ushul, hadis, dan juga tafsir. Ia dilahirkan di Damsik pada tahun 626 H dan meninggal pada tahun 693 H. Di antara karyanya adalah Syarh al-Ushul al-Khamsin fi al-Nahw milik Ibn Mu’thy al-Maliky, dan Nadham Ulum al-Hadis.
[32]Lihat lebih lanjut A.D. Abu Su’ud Ibn Abdullah al-Fanistan, op. cit., hlm. 16-23; bandingkan dengan Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 48-56
[33]Nama lengkapnya adalah al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibn Amr Ibn Abd al-Khaliq al-Bishry al-Bazar. Ia hidup di Asbahan dan meninggal di al-Rumlah, negara bagian Palestina pada tahun 292 H..
[34]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 53
[35]Selengkapnya teks hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ وَأَبُو النَّضْرِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ الْعَصْرِ (رواه الترمذى)
[36]Selengkapnya teks hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا أَيُّنَا لَمْ يَلْبِسْ إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَيْسَ بِذَاكَ أَلَا تَسْمَعُ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ ( إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ) (رواه البخارى و مسلم)
[37]Ibid., hlm. 57
[38]Berkaitan dengan beberapa perangkat metodologis dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagimana disebutkan di atas, para sahabat memiliki pemahaman yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka terhadap hal-hal tersebut. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat kasus Umar dengan Qudamah bin Madlun sebagaimana terdahulu. (Lihat contoh lain pada ibid., hlm. 60-61)
[39]Sebagai contoh dapat dilihat dalam Q.S. at-Taubah/10: 38; dan Q.S. al-Baqarah/2: 189. Hal ini tidak dapat dipahami maksudnya apabila seseorang tidak mengetahui adat-istiadat orang Arab Jahiliyyah ketika ayat ini diturunkan.
[40]Tema tentang Asbab al-Nuzul dibahas pada bab tersendiri. Tema ini dalam kajian ilmu tafsir atau ilmu-ilmu keal-Qur’an-an mempunyai kedudukan yang sangat penting, hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Wahidi: “Seseorang tidak akan mengetahui tafsir ayat al-Qur’an kalau ia tidak mengatahui kisah dan sebab-sebab turunnya ayat”. (ibid., hlm. 58-59)
[41]Ibid., hlm. 58
[42]Dikutip dari Manna Kholil al-Qattan, op. cit, hlm. 337
[43]Ibid.
[44]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 61
[45]Menurut Ahmad Khalil, penyebaran cerita israiliyyat tersebut ke dalam umat Islama melalui dua jalan, pertama, melalui orang-orang yang sangat tekun mempelajari dan menyebarkan kisah-kisah seperti di masjid-masjid. Orang yang memprakarsai peratama kali adalah keturunan Bani Umayah dengan tujuan agar umat Islam terlena dan lupa akan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Bani Umayah. Dan yang terkenal di antara mereka adalah Abu Musa al-Aswari bin Salam; kedua, melalui para sufi dan orang-orang Syiah. Hal ini dapat dilihat pada Fi Hilyah at-Thabaqat al-Asfiya. Bukti lain sebagaimana penelitian yanag dilakukan oleh orientalis Jerman dalam Asy-Syi’ah wa al-Israilliyyat. (Lihat Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, Melacak Unsur-unsur Israilliyat Dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir, Pustaka Sejati, Bandung, 1999, hlm. 39)
[46]Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf bin Salam bin al-Haris al-Israili al-Anshari. Ia masuk Islam seseaat setalah Rasulullah SAW. tiba di Madinah dalam peristiwa Hijrah. Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah SAW.. Ia pun salah seorang sahabat yang dikabarkan masuk surga. Ia pernah ikut dalam pertempuran Badr dan ikut menyaksikan penyerahan bait al-maqdis ke tangan umat Islam. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya; Yusuf dan Muhammad, Auf bin al-Malik, Abu Hurairah, dan lainnya. Bukhari pun memasukkan beberapa riwayat darinya. (Lihat Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, op. cit., hlm. 37)
[47]Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Ibn Munabih Ibn Sij, Ibn Kinaj al-Yamani Abu Abdillah al-Abnawi. Ia masuk Islam pada masa Rasulullah SAW. Menurut Zahabi Ia adalah seorang yang jujur, terpercaya dan banyak menukilkan israiliyyat. (Lihat bid., hlm. 38)
[48]Ia adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani al-Humairi yang kemudian terkenal dengan sebutan Ka’ab al-Akhbar, karena kedalaman pengetahuannya. Menurut Ibn Hajar Ia berasal dari Yahdi Yaman dan masuk Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Banyak sekali cerita Israiliyyat yang dinisbahkan kepadanya dan banyak pula yang meriwayatkan darinya seperti Muawiyah, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Malik bin Abi Amir al-Asbani, Atha bin Abi Rabah, Abdullah bin Damrah, dan lainnya. Menurut Abu Rayah, Ia masuk Islam dengan tujuan menipu, dimana hatinya masih menyembunyikan sifat-sifat keYahudiannya dan ingin memanfaatkan keluguan Abu Hurairah. Oleh karena itu ke-tsiqah-annya diperdebatkan. Misalnya Ahmad Amin yang meragukan ketsiqahannya bahkan keagamaanya. (Lihat ibid., hlm. 38)
[49]Muhammad Husai adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 97-98
[50]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 99
[51]Lihat lebih lanjut ibid., hlm. 101-114
[52]Ia adalah Abu Muhammad atau Abu Abdullah., Said bin Jubair bin Hisyam al-Asady seorang asli Habsy. Ia adalah seorang tabi’in yang sangat terkenal dalam bidang tafsir, hadis, fiqh dan juga menguasai berbagai macam qira’ah. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ismail bin Abd al-Malik, yang mengatakan: “Said bin Jubair pada malan bulan puasa senantiasa membaca al-Qur’an dengan bacaan versi Abdullah bin Mas’ud, pada malam yang lain dengan bacaan Zaid bin Tsabit, dan pada malam yang lain membaca dengan bacaan yang lain pula”. (Baca lebih lanjut adz-Dzahabi, hlm. 102-103)
[53]Dia adalah Mujahid bin Jubair, lahir pada tahun 21 H., pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khaththab dan meninggal dunia di Makkah pada usia 83 tahun. Ia meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas dan orang yang paling tsiqah di antara para sahabatnya yang lain. Dalam kitab shahih al-Bukhari kita dapat menjumpai riwayat-riwayat yang berasal dari Mujahid yang dapat dijadikan sebagai bukti akan ke-tsiqahan dan keadilannya. (Keterangan lebih lanjut baca adz-Dzahabi, hlm. 104-107)
[54]Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Atha’ bin Abi Rabah al-Makiy al-Qurasyiy, lahir pada tahun 27 H dan meninggal pada tahun 114 H.
[55]Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ikrimah al-Barbariy al-Madaniy Maula Ibn Abbas, asli dari Barbar. Banyak meriwayatkan dari gurunya dan juga Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, dan lainnya. Para ulama berselisih pendapat tentang ke-tsiqah-annya. (Baca lebih lanjut adz-Dzahabi, hlm. 107-112)
[56]Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani al-Hamiriy al-Jundiy.Ia adalah seorang yang alim dalam bidang ilmu tafsir. Riwayatnya banyak di ambil oleh para sahabatnya. Ia banyak belajar dari Ibn Abbas dibandingakan dengan sahabat yang lainnya sehingga Ibn Abbas berkata: “Aku tidak menyangka bahwa Thawus termasuk salah seorang ahli surga”. (ibid., hlm. 112)
[57]Ia adalah Abu Usamah, atau Abu Abdullah, Zaid bi Aslam. Ia adalah seorang tabi’in yang ahli dalam bidang tafsir dan berstatus tsiqah, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan juga an-Nasa’i. Penilian mereka sudah cukup dijadikan dasar atas ke-tsiqahannya dan keadilannya. (ibid., hlm. 116-117)
[58]Nama lengkapnya adalah Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mahran al-Rayah, diketahui sebagai orang Jahiliyah dan masuk Islam setalah wafatnya Nabi SAW. Ia termasuk salah seorang dari tabi’in yang terkenal (masyhur) dalam bidang tafsir dan berstatus tsiqah, hal ini sebagaimana penilian yang diberikan oleh Ibn Mu’in, Abu Zar’ah, dan juga Abu Hatim. Ia meriwayatkan banyak hal dalam bidang tafsir dari Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ubay bin Ka’ab, dan yang lainnya, namun yang paling banyak adalah berasal dari Ubay bin Ka’ab. (Lihat adz-Dzahabi, op. citi., hlm. 115)
[59]Ia biasa dikenal dengan Abu Hamzah atau Abu Abdullah, Muhammad bin Ka’ab bin Salim bin Asad al-Quradhy al-Madany. Ia terkenal dengan ke-tsiqah­annya, keadilan dan wira’inya, banyak meriwayatkan hadis, dan juga mena’wilkan al-Qur’an. Banyak meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan lain-lainnya. (ibid., hlm. 116)
[60]Ibid., hlm. 130-131
[61]Ibid., hlm. 140; Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 340
[62]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 141
[63]Ibid.

Metode Tafsir al-Qur’an: Kerangka Metodologis-Aplikatif

Oleh Mohammad Nor Ichwan


Pada bab ini akan diperkenalkan secara global metode penafsiran al-Qur’an yang secara metodologis-praktis telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu. Metode penafsiran al-Qur’an ini, sebagaimana yang pernah ditulis oleh para ulama, seperti Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi dalam al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhui dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tafsir tahlili, metode tafsir ijmali, metode tafsir muqarin, dan metode tafsir maudhu’i. Dalam tulisan ini, juga akan dibahas secara sederhana berkaitan dengan empat metode tafsir yang telah disebutkan, baik definisi, cara kerja, dan kekurangan maupun kelebihan dari masing-masing metode tersebut.

Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh para sahabat, kecuali harus merujuk kepada Rosulullah saw. Hanya saja, kebutuhan terhadap penafsiran al-Qur’an ketika itu tidak sebesar masa-masa berikutnya.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama’ terhadap tafsir al-Qur’an, maka bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya, baik pada masa ulama’ salaf maupun khalaf, sampai seperti sekarang ini. Keragaman itu ditunjang oleh al-Qur’an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam An-Naba’ al-Azhim:

“Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi bila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat-ayat al-Qur’an)… bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.[1]

Pendapat ini diperkokoh oleh Muhammad Arkoun, pemikir al-Jazair kontemporer, ia menulis:

“Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas… Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan berada pada tingkat wujud mutlak… Dengan demikian, ayat-ayatnya selalu terbuka (untuk interpretasi baru), tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[2]

Kitab suci al-Qur’an bagaikan lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi. Manakala para penyelam ingin menyelami kedalamannya, maka ia tidak akan sampai ke dasarnya dan tidak mengetahui hakikat isinya. Al-Qur’an senantiasa aktual sepanjang masa untuk ditafsirkan oleh para ahli tafsir dan di ta’wilkan oleh para ahli ta’wil. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam Q.S. Fushshilat/41: 53, Allah SWT berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (فصلت/41: 53)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahawa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat/41: 53)

Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu tafsir terus berkembang dan kitab-kitab tafsir bertambah banyak dengan berbagai macam metode dan corak tafsir, yang kesemuanya itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu tafsir tersebut. Berdasarkan banyaknya kitab-kitab tafsir seperti yang ada sekarang ini, kalau dipilah-pilah menurut metodologi penafsirannya, maka secara umum dapat dibagi menjadi empat macam metode penafsiran. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawy, yang mengutip pendapat Sayyid Qummi, dan juga dikutip oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi, bahwa metode tafsir dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.[3]

A. Metode Tahlili (Analitik)
Metode tahlili atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai metode tajzi’i (al-ittijah al-tajzi’iy)[4] adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Dimana seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan al-Qur’an mushaf Utsmani, ia menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.[5]
Di antara keempat metode tafsir al-Qur’an, metode tahlili merupakan yang paling tua, karena metode tafsir ini sudah ada sejak masa sahabat Nabi SAW. Pada awalnya para sahabat hanya menafsirkan beberapa ayat saja dari al-Qur’an, namun pada masa-masa berikutnya mereka merasakan perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi al-Qur’an. Sehingga pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat, ahli tafsir seperti Ibn Majjah, al-Thabari dan lain-lainnya mengkaji keseluruhan isi al-Qur’an.
Dalam metode ini seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf. Ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syari’, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman haqiqat, majaz, kinayah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk pada sebab-sebab turun ayat (asbab al-nuzul), hadis-hadis Rusulullah SAW., dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Sudah barang tentu, ketika membicarakan pendekatan analitik dalam tafsir al-Qur’an, harus disajikan dalam bentuk yang paling lengkap dan komprehensif. Metode ini walaupun di nilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok masalah (bahasan), karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Menurut Malik bin Nabi, seorang pemikir al-Jaza’ir kontemporer, bahwa para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlili (analitik) itu tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemu’jizatan al-Qur’an.[6]
Kalau tujuan penggunaan metode tahlili seperti yang diungkapkan Malik bin Nabi di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini pengembangan metode untuk penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Muhammad Baqir Sadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan gagasan-gagasan dan konsepsi al-Qur’an yang beraneka ragam dan terpisah-pisah[7] serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Sehingga sangat sukar diidentifikasi untuk menemukan mata rantai pertautannya. Selanjutnya, akan sulit bagi kita memahami pandangan al-Qur’an terhadap lingkup aktifitas kehidupan manusia yang sangat majemuk ini.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.[8] Dalam metode tafsir tahlili ini, menurut al-Farmawi mencakup beberapa aliran tafsir lainnya, yaitu:
1. Tafsir bi al-Ma’tsur,[9]
2. Tafsir bi al-Ra’y,[10]
3. Tafsir Sufi,[11]
4. Tafsir Fiqhi
Tafsir fiqh (fikih) adalah corak penafsiran al-Qur’an yang menitik beratkan bahasannya dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an. Corak tafsir jenis ini muncul bersamaan dengan munculnya tafsir bi al-ma’tsur,[12] dan keberadaanya pun sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.[13] Semasa Nabi SAW masih hidup, para sahabat tidak merasa kesulitan dengan berbagai permasalahan yang mereka hadapi, khususnya masalah hukum, karena ketika ada kesulitan mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah dan beliau pun langsung menjawabnya. Jawaban Rasulullah ini disatu pihak merupakan tafsir bi al-ma’tsur, dan lain pihak merupakan tafsir al-fiqh. Namun setelah Rasulullah SAW wafat, ternyata banyak persoalan baru yang muncul yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa Nabi SAW, maka al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka untuk mengistinbatkan hukum-hukum syara’ bagi persoalan baru tersebut. Sementara itu, kalau mereka tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an atas persoalan-persoalan tersebut, mereka juga melakukan ijtihad sendiri untuk menetapkan hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah tersebut. Dan hasil ijtihad ini kemudian disebut sebagai tafsir al-fiqh. Di antara mereka jarang terjadi perbedaan pendapat ketika menghadapi persoalan hukum yang sifatnya kontradiktif. Meskipun keadaan yang demikian merupakan awal dari perbedaan pendapat di bidang fiqh dalam memahami ayat al-Qur’an.[14] Sebagai contoh, ketika menghadapi perselisihan tentang masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah ‘iddah tersebut berakhir sampai melahirkan anaknya ataukah empat bulan sepuluh hari ataukah waktu paling lama antara keduanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة/2: 234)

“Dan mereka yang meninggal dunia di antara kamau dengan meninggalkan istri, (hendaklah istri itu) ber’iddah empat bulana sepuluh hari” (Q.S. al-Baqarah/2: 234)

وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (الطلق/65: 4)

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka” (Q.S. al-Thalaq/65: 4)

Hukum-hukum Islam yang mereka gali (stinbath) dari al-Qur’an itu akhirnya tersebar dan berkembang, serta dihafal oleh generasi berikutnya secara terus menerus, sampai datang era penghimpunan dan penyusunan. Pada era ini lahirlah orang-orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu. Dari sini timbullah madzhab-madzhab yang berbeda-beda di kalangan umat Islam.[15] Di antara mereka membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam madzhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan-persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya, bukan fanatisme terhadap suatu madzhab, melainkan karena setiap ahli fiqh berpegang pada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina untuk mengambil pendapat madzhab lain, kalau ternyata istinbath mereka terbukti kebenarannya.
Pada perkembangan selanjutnya, imam-imam madzhab itu mempunyai pengikut-pengikut yang di antara mereka ada yang fanatik terhadap madzhabnya. Mereka memahami al-Qur’an berangkat dari madzhab mereka dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan madzhab mereka. Dan di antara mereka ada yang tidak fanatik terhadap madzhabnya. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran yang bersih dari kecenderungan dan hawa nafsu, mereka memahami dan menafsirkannya berdasarkan makna-makna yang mereka temukan dan diyakini benar.
Tafsir fiqh ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karya imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda. Dari kalangan mu’tazilah lahir kitab tafsir yang fanatik terhadap madzhabnya, yaitu al-Kasyaf karya al-Zamakhsyary. Dari kalngan Hanafiyah lahir kitab tafsir yang mendukung madzhabnya, yaitu Ruh al-Ma’ani karya al-Alusy dan juga tafsir al-Nasafy. Dari kalangan Malikiyyah lahir kitab tafsir yang berorientasi kepada madzhabnya, yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthuby. Dari kalangan Syafi’iyyah lahir kitab tafsir yang cenderung kepada madzhabnya, yaitu al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib) karya al-Fakh al-Razy.[16]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan corak fiqh selain yang telah disebutkan di atas adalah karya beberapa ulama berikut ini:[17]
1. Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash;
2. Ahkam al-Qur’an karya al-Kaya al-Haras;
3. Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Araby;
4. Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil karya al-Suyuthi;
5. Al-Tafsirat al-Ahmadiyyah fi Bayani al-Ayat al-Syar’iyyah karya Mula Geon;
6. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syeikh Muhammad al-Sayis;
7. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syeikh Manna al-Qaththan;
8. Adhwa’ al-Bayan karya Syeikh Muhammad al-Syinqithi.

5. Tafsir Falsafi.
Yang dimaksud dengan corak tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun berusaha menolak teori-teori filasafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.[18] Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahun dan kebudayaan, dan adanya gerakan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Abbasiyyah, dimana buku-buku yang diterjemahkan tersebut kebanyakan adalah buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan juga Plato.[19] Kaum muslimin dalam menanggapi masalah ini terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, kelompok yang menolak terhadap ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Hal ini disebabkan karena di dalam buku-buku tersebut sebagiannya ada yang bertentangan dengan agama Dengan alasan itu mereka menolak buku-buku tersebut dan berusaha untuk membatalkan argumen yang digunakan di dalamnya. Di antara ulama yang gigih menolak para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Tokoh lain yang juga menolak filsafat adalah Imam Fakhr al-Din al-Razi, yang menulis sebuah kitab tafsir untuk menolak paham mereka yang kemudian diberi judul Mafatih al-Ghaib.
Kedua, kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya. Mereka berusaha untuk memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi antara mereka. Adapun ulama Islam yang membela pemikiran filsafat adalah Ibn Rusyd, seorang filosof terkenal berasal dari Spanyol. Dia menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, sebagai sanggahan terhadap karya Imam al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.[20]
Berkaitan dengan golongan yang disebutkan terakhir ini, Muhammad Husain adz-Dzahabi menanggapanya sebagai berikut:

Kami tidak pernah mendengan seorang filosof yang mengagung-agungkan filsafat mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka”.[21]

6. Tafsir Ilmiy
Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, didalamnya di dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakekat (kenyataan) ilmiyah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum Muslimin telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya. Mengenai hal ini Ar-Rafi’i berkata :

“Sebagian ulama kita telah nenggali dari al-Qur’an akan beberapa petunjuk yang mengarah kepada penemuan-penemuan ilmiyah, dan menyingkap dari sebagian ilmu alam yang belum banyak diketahui manusia. Mereka menguraikannya dengan uraian yang panjang lebar, tetapi bukan maksud kami untuk membicarakan masalah itu lebih jauh. Hanya saja semua itu, dalam al-Qur’an merupakan isyarat sepintas, dan kebenarannya selalu dapat di buktikan oleh ilmu pengetahuan modern….”.[22]

Usaha untuk membuktikan tentang hubungan antara ilmu al-Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak saja dilakukan oleh ulama-ulama Muslim (intern umat Islam), tapi hal semacam ini telah dilakukan oleh para ilmuwan-ilmuwan non-Muslim atau para orientalis. Maurice Pucaille misalnya, seorang dokter bedah berkebangsaan Perancis, telah melakukan usaha yang sama. Ia tiba-tiba terkenal sebagai seorang ahli tafsir dengan bukunya “La Bible, La Coran Et La Science”, dimana buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk kedalam bahasa Indonesia.
Menurutnya al-Qur’an bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiyah mutakhir. Al-Qur’an seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.[23] Dan sangat tepatlah kesimpulan yang di kemukakannya bahwa dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sehingga popularitasnya dapat memudahkan mufasir ilmi seperti al-Baidawi, Fakhrur Razi, An-Naisaburi, danTantawi Jauhari.
Masalah penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kemusykilan yang harus di selesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Tidak sedikit ulama yang pro terhadap keberadaan tafsir ilmi, begitu pula tidak sedikit ulama yang mengecamnya. Sebagian mereka berpendapat orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang di ancam hadis Rasulullah saw, “Barang siapa memafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya, hendaknya mempersiapkan tempat duduknya di neraka”. Sering terjadi seorang mufasir ilmi, ketika mengetahui penemuan baru, lalu mereka cepat-cepat mencari ayat-ayat yang menunjang teori ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan al-Qur’an, tetapi justru sebaliknya, al-Qur’an yang menafsirkan ilmu pengetahuan.
Sebenarnya, membahas hubungan al-Qur;an dan ilmu pengetahuan bukan di nilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul didalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiyah, tetapi pembahasan hendaknya di letakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri,[24] yaitu dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa-jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui hubungan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkan, tetapi juga pada sekumpulan syarat-ayarat psykologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh –baik positif maupun negatif – terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam kaitanya dengan pembahasan tafsir ilmi, dikalangan para ulama tafsir - baik ulama-ulama dahulu maupun sekarang - terdapat dua kubu yang saling kontroversial. Di satu pihak mengakui akan keberadaan tafsir ilmi dan di lain pihak menolaknya. Mereka yang mengakui tafsir ilmi berpendapat bahwa dalam al-Qur’an mencakup seluruh bentuk pengetahuan dan unsur-unsur dasar seluruh ilmu-ilmu kealaman. Sementara yang menolak tafsir ilmi berpendapat bahwa al-Qur’an adalah semata-mata kitab hidayah dan didalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Untuk lebih jauhnya di bawah ini akan dibahas argumen dari dari masing-masing kelompok.
1. Kelompok Yang Menerima Tafsir Ilmi
Corak tafsir ‘ilmy adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern, dimana seorang mufassir ingin menggali hubungan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang ini. Sejauhmana paradigma-paradigma ilmiyah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur’an. Corak penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Benihnya bermula pada Dinasti Abbasiyah,[25] khususnya pada masa pemerintahan kholifah al-Ma’mun.
Menurut Dr. Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Imam al-Ghazali merupakan salah seorang yang paling gigih menyebarluaskan ide tafsir ilmi ditengah-tengah perkembangan ilmu pemgetahuan Islam.[26] Beliau menguraikan secara panjang lebar argumentasinya ini dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Dengan mengutip pendapat Ibnu Mas’ud ia mengatakan: “Siapa yang ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian renungkanlah al-Qur’an”. Menurutnya “Bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir zahirnya saja”. Lebih lanjut ia mengatakan :
“Seluruh ilmu tercakup dalam af’al Allah, dan sifat-sifat-Nya. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya dan di dalam al-Qur;an terdapat petunjuk pada keseluruhannya. Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap al-Qur’an. Semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan tentang semua yang menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan pemikiran, di dalam al-Qur’an terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya di fahami oleh orang yang mengerti… Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna al-Qur’an terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi al-Qur’an pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan”.[27]
Dalam kutipan di atas, dapat di pahami bahwa al-Ghazali berusaha menunjukkan kepada kita (baca: umat Islam), bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al dan sifat-sifat-Nya, yang hanya dapat ditemukan oleh orang-orang yang memahaminya.
Lebih lanjut al-Ghazali membahas tentang pengertian menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Menurutnya yang di maksud bukanlah membatasi tafsir al-Qur’an pada apa yang manqul dan masmu’, ia mengemukakan beberapa alasan mengenai hal ini; pertama, kalau yang manqul memang dari Rosulullah saw, kita harus menerimanya, tapi kalau hanya sekedar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud misalnya, kita boleh saja menolak, karena tafsir mereka juga tafsir bi al-Ra’y; kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an, semuanya tidaklah mungkin dari Nabi saw; ketiga, sesungguhnya Rosulullah saw berdo’a agar Ibnu Abbas r.a difakihkan dalam agama dan diajari ta’wil, kalau ta’wil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan do’a itu, keempat, Allah SWT berfirman : tentulah mengetahuinya, orang-orang yang menarik istinbath dari mereka (QS. 4 : 83), ini berarti bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath itu tidak mungkin masmu’; maka bolehlah orang melakukan penyimpulan al-Qur’an sesuai dengan kadar kemampuan pemahamannya dan batas akalnya.[28]
Dengan demikian apa yang dimaksudkan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, menurut al-Ghazali adalah berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian mena’wilkan al-Qur’an sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujjah untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan al-Qur’an, tanpa sama sekali memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam al-Qur’an tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang turki tetapi tidak memahami bahasa Turki.
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung sesuatu kecuali tafsir.[29]
Penilaian yang sama juga di berikan oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam kitabnya al-Manar, dimana ia, menurut penilaian Ignaz Galziher, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an mencakup segala hakekat ilmiyah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khususnya di bidang filsafat dan sosiologi.[30] Di samping itu, hal semacam ini juga telah dilakukan oleh mufasir ilmi seperti Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi,[31] Jalaluddin as-Suyuthi,[32] Al-Baidawi,[33] dan mufasir-mufasir ilmi lainnya, baik yang tergolong dalam mufasir klasik maupun kontemporer.
Tantawi Jauhari misalnya, telah berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan tafsir ilmi. Di dalam menulis tafsirnya ia dimotivasi oleh karena melihat adanya keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia merasa mendapatkan panggilan Ilahi untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pendorong pengembangan ilmu. Mengenai hal ini ia menceritakan proses penulisan tafsirnya sebagai berikut :
“Hari ini aku memulai tafsirku dengan memohon pertolongan kepada Allah yang Maha Sayang dan Maha Mengetahui, mudah-mudahan Allah membukakan, dengan tafsir ini, hati manusia, memberikan petunjuk kepada umat-umat, mengangkat kabut yang menutupi mata kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka mengetahui ilmu-ilmu kawniyah (alamiyah)… Mudah-mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan yang rendah, dan supaya muncul dari umat ini orang-orang yang melebihi orang Barat dalam bidang pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain-lain, baik dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang jelas tentang fikih tidak lebih dari 150 ayat.
Sudah aku tuliskan dalam tafsir ini apa-apa yang dibutuhkan seorang Muslim, yaitu hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam. Aku muat didalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang mendorong kaum Muslimin dan Muslimat untuk menangkap hakekat makna ayat-ayat yang jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit….”.[34]
Usaha Tantawi Jauhari dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendekatan tafsir ilmi ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan ulama’ tafsir ilmi, sehingga pada masa-masa selanjutnya banyak bermunculan berbagai kitab yang mengulas secara ilmiyah, seperti halnya yang dilakukan oleh Hanafi Ahmad dengan kitabnya at-Tafsir al-Ilmi li al-Ayah al-Kawniyah, dan juga berbagai kitab lainnya yang terus bermunculan seperti sekarang ini.

2. Kelompok Yang Menolak Tafsir Ilmi
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa mereka yang menolak tafsir ilmi, oleh karena kitab suci al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw yang selanjutkan untuk disampaikan kepada umatnya bukanlah untuk menerangkan tentang teori-teori ilmiyah, problem-problem seni serta aneka warna ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia berfungsi sebagai kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Di antara salah seorang yang sangat gigih menetang terhadap keberadaan tafsir ilmi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Dia mengatakan bahwa “anna al-Qur’an lam Yasqud fih” (al-Qur’an tidak diturunkan dengan maksud tersebut).[35] Karena ulama’ salaf tentu lebih mengetahui tentang kandungan al-Qur’an, tetapi kenyataan tidak seorangpun di antara mereka yang berpendapat seperti tersebut di atas, kita –menurut as-Syatibi lebih lanjut- tidak boleh memahami al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka.
Asy-Syatibi berpendapat bahwa menggunakan ayat al-Qur’an “Tidak ada suatu ayat pun yang kami alpakan didalam al-Qur’an”, sebagai dalil untuk memperluas penafsiran ilmiyah, tidaklah dapat diterima, karena yang dimaksud dengan kata al-Kitab dalam ayat tersebut adalah Lauh Mahfuz. Lebih lanjut asy-Syatibi mengatakan mengenai hal ini :
“Menambahkan sesuatu yang tidak semestinya kedalam al-Qur’an adalah tidak boleh. Sebagaimana tidak diperbolehkan mengingkari apa yang semestinya menjadi pengertian al-Qur’an. Orang harus membatasi diri-dalam mencari referensi untuk dapat memahami al-Qur’an- pada apa yang diketahui orang-orang Arab pada masa dulu. Dengan demikian, akan sampai kepada pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Barang siapa yang menempuh cara selain itu, maka ia akan sesat dalam memahami al-Qur’an dan berbicara yang tidak semestinya mengenai Allah dan Rosul-Nya”.[36]
Usaha yang sama juga telah dilakukan oleh ulama’ tafsir seperti Abu Hayyan al-Andalusi,[37] yang telah mengkritik mufasir ilmi Fakhrur Razi, dimana ia menganggap tafsirnya telah menyimpang dari cakupan ilmu tafsir; juga Dr. Abd al-Majid Abdussalam al-Muhtasib, dalam kitabnya Ittijahat at-Tafsir fi al-Ashr al-Hadis, dimana setelah ia menguraikan panjang lebar tentang argumentasi yang dilontarkan oleh para ulama’ tafsir ilmi dan juga para ulama’ tafsir yang mengingkarinya, ia berkesimpulan sebagai berikut :
“Saya tidak mengakui (menginginkari) orientasi tafsir ilmi terhadap al-Qur’an. Tidak dibenarkan memaksakan ayat-ayat al-Qur’an terhadap ilmu-ilmu kealaman. Saya tidak setuju kepada orang-orang yang berusaha mengambil teori-teori ilmiyah dari ayat-ayat al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an al-Karim bukanlah kitab ilmu pengetahuan seperti kimia, ilmu atom, geometri, ilmu falak, ilmu fisika, dan lain sebagainya. Hanya saja, al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw agar menjadi kitab hidayah, dan rahmat bagi manusia…”.[38]
Lebih lanjut al-Muhtasib menguraikan kritiknya terhadap tafsir ilmi dengan mengatakan :
“Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’an tidak bertentangan - dan tidak akan bertentangan - dengan hakekat ilmu pengetahuan yang diterima oleh akal. Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’anlah yang membuka pintu akal kaum Muslimin, mendorong mereka mentadabburi, menafakkuri, merenungkan, membahas, memikirkan,dan mendalami ilmu pengetahuan (sains). Cukuplah bagi kita bahwa orang-orang yang kitab sucinya al-Qur’an telah hidup bersama ilmu dalam suasana harmoni dan kasih sayang, sementara pengikut kitab agama lain telah menjadi tonggak keras yang menghadang ilmu dan para ilmuwan di abad pertengahan, yang menyebabkan salah seorang pemikir sesat berkata : “Agama adalah candu rakyat”.[39]
Barangkali kritik yang paling tajam yang dilontarkan kepada para mufasir ilmi adalah apa yang telah dilakukan oleh Dr. Mahmud Syaltut[40] dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, pada bagian muqaddimahnya ia menulis bahwa ada dua segi yang harus di jauhi atau dibersihkan dalam menafsirkan al-Qur’an; pertama, menta’wilkan al-Qur’an menurut pendirian berbagai aliran mazhab; dan kedua, menafsirkan al-Qur’an atas dasar teori-teori ilmiyah. Hal ini – kata Mahmud Syaltut lebih lanjut – karena Allah SWT tidak menurunkan al-Qur’an kepada manusia dengan tujuan menyajikan teori-teori ilmiyah, teknologi, yang rumit-rumit dan bermacam-macam ilmu pengetahuan.[41]
3. Kelompok Yang Moderat Terhadap Tafsir Ilmi
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa ulasan atau argumen yang di kemukakan oleh al-Ghazali tentang kandungan al-Qur’an yang mencakup segala ilmu pengetahuan, sangatlah berlebih-lebihan dan agaknya sukar untuk difahami, karena meskipun diyakini ilmu tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-ilmu-Nya telah dituangkan dalam al-Qur’an?. Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya?. Hal ini tentulah berbeda antara ilmu dan kalam, karena tidak semua yang di ketahui itu diucapkan.
Demikian juga apa yang dikemukakan oleh as-Syatibi di atas, juga sukar untuk difahami, karena bagi kita yang hidup sekarang ini, tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman para sahabat dan orang-orang dahulu kala. Kita berkewajiban memahami al-Qur’an sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang dahulu (Arab) yang hidup dimasa dakwah Muhammad saw. Di sisi lain, orang Muslim diperintahkan al-Qur’an untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemooh mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenek moyangnya (taqlid buta).
Barangkali argumen yang dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dapat dijadikan sebagai jalan tengah untuk mendudukkan dua pendapat yang saling kontroversial tersebut. Mengenai hal ini ia mengatakan :
“Al-Qur’an tidak membutuhkan pernyataan seperti itu, karena ia adalah kitab yang berbicara dengan perasaan manusia. Yang terbaik diminta dari kitab aqidah mengenai soal ilmu pengetahuan adalah bahwa kitab itu mendorong manusia untuk berfikir dan mengandung ketentuan hukum yang melumpuhkan aktifitas akal, serta tidak merintanginya dalam usaha memperoleh tambahan ilmu pengetahuan sebatas kesanggupannya. Adalah keliru kalau kita memandang teori-teori ilmiyah sebagai kebenaran permanen yang terkandung didalam makna ayat-ayat al-Qur’an karena teori-teori ilmiyah tidak selamanya tetap mantap sepanjang penggantian generasi”.[42]
Dalam kaitannya dengan ini, al-Aqqad memberikan contoh ayat 30 surat al-Anbiya’, yang ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya. Menurutnya, setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan al-Qur’an menyangkut pendapatnya, karena al-Qur’an tidak menguraikannya.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Sheh Mustafa al-Maraghi dalam pengantar kitab “Al-Islam wa At-Tib al-Hadis” karya Abd al-Azis Ismail Pasya, ia mengatakan:
“Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kitab suci ini mencakup seluruh ilmu pengetahuan (sains) baik secara rinci atau ringkas, dengan gaya buku teks-teks. Hanya saja saya mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip ilmu, dalam artian seorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan-bantuan prinsip-prinsip terserbut, adalah kewajiban para ilmuwan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakatnya… Adalah penting untuk tidak memperluas makna ayat sejauh itu agar kita dapat menafsirkannya dalam sorotan sains, juga seorang tidak boleh melebih-lebihkan penafsiran fakta-fakta ilmiyah, sehingga dapat cocok dengan ayat al-Qur’an. Bagaimanapun, jika makna lahiriyah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiyah yang telah mantap, kita menafsirkannya dengan bantuan fakta itu”.[43]
Tidak ada salahnya bagi kita untuk mengakui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita tentang hikmah-hikmah dan rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kawniyah, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti pemahaman bangsa Arab, karena al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia kapan dan dimanapun dia berada. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari al-Qur’an, sebatas kemampuan dan kebutuhannya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai tuntunan. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu’jizatannya.

7. Tafsir Adabi al-Ijtima’i
Corak tafsir al-adabi al-ijtima’i (sosial kemasyarakatan) adalah suatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.[44] Sementara itu menurut adz-Dzahabi, yang dimaksud den gan tafsir al-adabi al-ijtima’i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.[45]
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat dari ketidak puasan para mufassir yang memandang bahwa selama ini penafsiran al-Qur’an hanya didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, dan perbedaan-perbedaan madzhab, baik dalam bidang ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, sufi, dan lain sebagainya, dan jarang sekali dijumpai tafsir al-Qur’an yang secara khusus menyentuh inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya.
Secara operasional, seorang mufassir jenis ini dalam pembahasannya tidak mau terjebak pada kajian pengertian bahasa yang rumit, istilah-istilah ilmu dan teknologi, kecuali jika dirasakan sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana dapat menyajikan misi al-Qur’an kepada pembacanya. Dalam tafsirnya mereka berusaha mengaitkan nash-nash al-Qur’an dengan realitas kehidupam masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, yang secara fungsional dapat memecahkan persoalan umat.
Menurut Muhammad Husain adz-Dzahabi, bahwa corak penafsiran al-adabi al-ijtima’i -- terlepas dari kekurangannya -- berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan maakna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, membantu memecahkan segala problem yang dihadapi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an yang karenanya dapat diperoleh kebaikan dunia dan akhirat, serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang benar. Di dalamnya juga berusaha menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur’an dengan argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebathilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.[46]
Adapun penggagas corak tafsir jenis ini adalah Muhammad Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dengan kitab tafsirnya al-Manar yang disusun dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan corak al-adabi al-ijtima’i selain tafsir al-Manar adalah: Tafsir al-Qur’an karya Syeikh Ahmad al-Maraghi; Tafsir al-Qur’an al-karim karya Syeikh Mahmud Syaltut; Tafsir al-Wadhih karya Syeikh Muhammad Mahmud Hijazy.

B. Metode Ijmali (global)
Metode tafsir ijmali adalah menafsirkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an dengan secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud pada setiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah difahami. Sebenarnya dalam metode ini mempunyai kesamaan dengan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urut-urutan ayat, sebagaimana urutan dalam mushaf.
Perbedaannya dengan metode tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayat yang diungkapkan secara global dan ringkas, sedang dalam tafsir tahlili, makna ayat diuraikan secara terinci dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek yang di ulas secara panjang lebar. Dalam tafsir ijmali dapat digunakan ilmu-ilmu bantu seperti menggunakan hadis-hadis Nabi SAW., pendapat kaum salaf, peristiwa sejarah, asbab al-nuzul, dan kaedah-kaedah bahasa.[47]
Kelemahan dari jenis tafsir ini adalah uraiannya yang terlalu singkat dan ringkas, sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat secara luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas. Sedang keistimewaan dari tafsir jenis ini adalah dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ini adalah:
1. Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-mahally;
2. Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Muhammad Farid wajdy;
3. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an karya Husanain Muhammad Makhlut;
4. Tafsir al-Qur’an karya Ibn Abbas, yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady;
5. Al-Tafsir al-Washith karya Commite Ulama (Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar);
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Abd al-Jalil Isa;
7. Al-Tafsir al-Mukhtashar karya Commite Ulama (produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam).

C. Metode Muqarin (perbandingan)
Yang dimaksud dengan metode tafsir jenis ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau surah tertentu dengan cara membandingkan ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dan obyek yang dibandingkan itu.[48]
Dalam menggunakan metode ini, seorang mufasir dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut: pertama, seorang mufasir mengambil sejumlah ayat-ayat al-Qur’an; kedua, mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat tertentu, baik mereka itu termasuk ulama salaf maupun ulama khalaf, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rosulullah SAW., para sahabat dan tabi’in, (tafsir bi al-ma’tsur) atau berdasarkan rasio (tafsir bi al-ra’y); ketiga, mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecende-rungan-kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, kemudian menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madhab, siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu atau mendukung aliran tertentu dalam Islam, dan yang terakhir, memberi komentar berdasarkan apa yang ditulisnya, apakah termasuk tafsir makbul ataukah tafsir yang tidak makbul.[49]
Dalam hal ini seorang mufasir dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang dikemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasio, serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya.

D. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode tafsir maudhu’i atau yang menurut Muhammad Baqir Shadr sebagai metode al-Taukhidiy[50] adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[51]
Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir jenis ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an yang mengenai sesuatu judul/ tema tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang membahas topik/tema yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas masalah, karena al-Qur’an banyak mengandung berbagai macam tema pembahasan yang perlu dibahas secara maudhu’i, agar supaya pembahasannya bisa lebih tuntas dan lebih sempurna.
Mursyi Ibrahim al-Fayumi, membagi metode ini menjadi dua,[52] yaitu pertama, tafsir surah, yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat, kedua, tafsir tematik, yaitu menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema kemudian membahasnya secara mendetail.
Menurut Dr. Al-Farmawy, pencetus dari metode tafsir ini adalah Syeh Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Syeh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongrit oleh Prof. Dr. Sayyid Ahmad Kamal al-Kumi. Al-Kumi mengintroduksikan metode tafsir jenis ini dalam bukunya yang berjudul Al-Tafsir al-Maudhu’i. Mengenai tafsir ini al-Kumi, yang selanjutnya dikutip oleh Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, mengatakan:

“Era dimana kita hidup adalah era ilmu dan kebudayaan; era yang membutuhkan kepada metode maudu’I yang dapat mengantarkan kita untuk sampai kepada suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah. Terlebih-lebih pada masa kita sekarang ini telah banyak bertaburan “debu-debu” terhadap hakekat agama-agama, sehingga tersebar-lah doktrin-doktrin komunisme, atheisme dan lain-lain, serta “langit” kehidupan manusia telah dipenuhi oleh awan kesesatan dan kesamaran. Untuk menghadapi kondisi yang demikian ini, tidak ada lain kecuali harus dipergunakan suatu “senjata” yang kuat, jelas dan mudah, yang memungkinkan bagi tokoh-tokoh agama untuk membela “telaga-telaga” agama dan mempertahankan tiang-tiang agama. Persoalan itu tidak mungkin bisa diatasi kecuali dengan metode tafsir maudhu’i yang dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam al-Qur’an dan meliputi segala seginya”.[53]

Kemudian pada 1977, Prof. Dr. ‘Abd al-Hayy al-Farmawy yang menjabat sebagai guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar, menerbitkan buku dengan judul “al-Bidayah Fi Tafsir al-Maudh’i”, didalam bukunya ia mengemukakan secara terperinci tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan metode maudh’i ini, langkah-langkah tersebut adalah:
1. Menetapkan masalah yang akan di bahas (topik);
2. Menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji, baik surah makiyyah maupun madaniyah;
3. Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpum itu sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbab al- nuzulnya;
4. Menjelaskan munasabah atau kolerasi antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitannya ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sesudahnya;
5. Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistimatis dan lengkap dengan out linenya yang mencakup semua segi dari tema kajian;
6. Mengemukakan hadis-hadis Rosulullah SAW., yang berbicara tentang tema kajian;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am dan yang khas, mutlak dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan;
8. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[54]
Adapun keistimewaan dari metode tafsir jenis ini adalah: pertama, merupakan cara terpendek dan termudah menggali hidayah al-Qur’an dibandingkan metode tafsir lainnya; kedua, menafsirkan ayat dengan ayat sebagai cara terbaik dalam tafsir ternyata diutamakan oleh metode maudhu’i; ketiga, dapat menjawab persoalan-persoalan hidup manusia secara praktis dan konsepsional berdasarkan petunjuk al-Qur’an; keempat, dengan menghimpun berbagai ayat dalam masalah tertentu dapat dihayati ketinggian fashahahnya dan balaghah; kelima, dengan studi maudhu’i ayat-ayat yang kelihatan bertentangan dapat dipertemukan dan didamaikan dalam satu kesatuan yang harmonis.
Dari uraian diatas, yaitu dengan adanya beraneka jenis metode tafsir al-Qur’an merupakan suatu konsekuensi logis dari upaya untuk memahami dan mendalami ayat-ayat al-Qur’an. Ini akan berlangsung sampai sekarang ini, bahkan yang akan datang.

Catatan Akhir:

[1]Dikutip dari Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 16
[2]Ibid.
[3]Lihat Abd al-Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i, Maktabah Jumhuriyah, Mesir, 1977, hlm. 23; juga Dr. Mursyi Ibrahim al-Fayumi, Dirasah fi Tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Taufiqiyah, Cairo, 1980, hlm. 9; juga Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hlm. 40
[4]Tafsir tazi’i secara harfiyah dapat diartikan sebagai tafsir yang menguraikan secara bagian perbagian, atau tafsir secara parsial. (Lihat Muhammad Baqir Sadr, Al-Madrasah al-Qur’aniyah, Dar al-Ta’aruf wa al-Mathbu’at, Libanon-Beirut, 1399 H, hlm. 9)
[5]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit, 24; Dr. Mursy Ibrahim, op. cit., hlm. 9
[6]Dikutip dari Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 86
[7]Muhammad Baqir al-Sadr, op. cit., hlm. 13
[8] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 87
[9]Uraian tentang tafsir bi al-ma’tsur secara komprehensif dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya pada bab tentang tafsir dan ta’wil.
[10]Uraian tentang tafsir bi al-ra’y juga dapat dilihat selengkapnya pada bab tafsir dan ta’wil
[11]Uraian tentang corak tafsir sufi dapat dilihat pada pembahasan tentang tafsir al-isyari pada bab sebelumnya, yaitu tafsir dan ta’wil.
[12]Lihat lebih lanjut Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 18; juga Dr. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 59
[13]Lihat Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., hlm. 17
[14]Lihat lebih lanjut Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’aan, Manshurat al-‘Ashr al-Hadits, t.th., hlm. 376
[15]Lihat Dr. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 59
[16]Ibid., hlm. 60
[17]Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 377
[18]Harifuddin Cawidu, Metode dan Aliran Dalam tafsir, Pesantren No. I/Vol. VIII/1991, hlm. 9
[19]Lihat Dr. Ali Hasan al-Aridl, op. cit., hlm. 61; juga Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., 19
[20]Lihat ibid.
[21]Lihat Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit. Hlm. 19
[22]Ahmad as-Syirbasyi, Qishah al-Tafsir, Dar al-Qalam, Beirut, 1962, hlm. 122
[23]Lihat Dr. Maurice Bucaille, Bible, Qur’an, dan Sains Modern, terj. HM. Rosyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 251
[24]Lihat Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 41
[25]Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-tafsir fi ‘Ashr al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1393 H, hlm. 245
[26]Ibid., hlm. 247
[27]Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 341
[28]Ibid., hlm. 342-343
[29]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 251-252
[30]Ignaz Golziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamiy, as-Sunnah al-Muhammadiyah, Cairo, 1995, hlm. 375
[31]Imam Badr al-Din Muhammad Bin Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. II, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, Cairo, 1957, hlm. 153-155
[32]Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Damaskus, 1979, hlm. 125-126
[33]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 252-253
[34]Tanthawi al-Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Mathbaah Musthafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1350 H, hlm. 3
[35]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 300
[36]Ibid., hlm. 301
[37]Ibid., hlm. 295-296
[38]Ibid., hlm. 314
[39]Ibid., hlm. 323
[40]Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, terj. Hussein Bahreisiy dan Drs. Herry Nor Ali, Diponegoro, 1989, hlm. 27
[41]Ibid., hlm. 34
[42]Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah al-Qur’aniyah, Al-Lajnah li Ta’lim wa al-Tarjamah wa al-Nashr, Cairo, 1947, hlm. 183-184
[43]Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 143
[44]Lihat Dr. Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., hlm. 21-22; juga Dr. Abd al-Hayy al-farmawi, op. cit., hlm. 28
[45]Dikutip dari Prof. Dr. Quraish Shihab, et. al, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 184
[46]Lihat Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 28; juga Dr. Ali Hasan al-Aridl, op. cit., hlm. 71-72
[47]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 22-23
[48]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 45
[49]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 24
[50]Muhammad Baqir al-Sard, op. cit., hlm. 12
[51]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 52
[52]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 25
[53]Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 91
[54]Dr. Abd al-Hayy al-Faramawi, op. cit., hlm. 62; juga Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 43-44