Senin, 23 Juni 2008

TEOLOGI KESELAMATAN MENURUT AL-QUR'AN


Oleh Mohammad Nor Ichwan



Abstrak:
Bahwa, setiap orang yang beragama tentu menginginkan agar dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini bisa terselamatkan, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Ada sebagain orang yang menganggap bahwa keselamatan dalam beragama ditentukan, misalnya hanya dengan berbuat baik saja. Artinya, siapun dia, baik dari penganut agama semitis maupun non-semitis, jika mereka berbuat baik, maka ia secara otomatis akan mendapatkan keselamatan (baca: surga). Lalu, bagaimana dengan unsur lainnya, seperti iman? Apakah juga merupakan visi besar keselamatan dalam beragama? Tulisan ini berusaha untuk menjelaskan tentang problem teologi “keselamatan” ini berdasarkan al-Qur’an.


Pendahuluan
Dalam banyak ayat, diktum al-Qur’an sering menyebutkan bahwa nilai moral atau etik,[1] pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua sisi yang saling berlawanan,[2] yaitu “baik” dan “buruk” atau “benar” dan “salah”. Amal perbuatan manusia yang “baik” (‘amal al-shalihah) untuk menunjukkan sifat-sifat moral positif, sedangkan amal perbuatan manusia yang “buruk” (‘amal al-syayyi’ah), untuk menyebut sifat-sifat moral yang negatif.
Dikotomi mendasar dari sifat moral sebagaimana yang telah saya sebutkan itu, muncul dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan beberapa bentuk yang berbeda. Untuk membedakan dualisme moral yang saling berlawanan itu, al-Qur’an terkadang menyebutnya dengan term kâfir dan mu’min. Dikotomi ini antara lain dapat ditemukan dalam beberapa ayat al-Qur’an:

Orang-orang yang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah, Allah menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang diturunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka. (QS. Muhammad/47: 1-3)

Pada ayat yang lain, al-Qur’an menggunakan term kafir dan muttaqi (takut pada Tuhan) untuk membedakan dualisme moral tersebut. Hal ini dapat dijumpai misalnya dalam firman Allah:

Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa (muttaqin). Dan sesungguhnya kami benar-benar mengetahui bahwa di antara kamu ada orang yang mendustakan (nya). Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi penyesalan bagi orang-orang kafir, kafirin (di akhirat). Dan sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar kebenaran yang diyakini. (QS. Al-Haqqah/69: 48-52)

Selain itu, al-Qur’an juga menggunakan term muslim (yang berserah diri) dan mujrim[3] (para pendosa atau yang bersalah) untuk membedakan dua sifat moral yang saling kontradiktif tersebut. Penyebutan ini antara lain dapat ditemukan dalam firman Allah: Maka apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? Mengapa kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan? (QS. Al-Qalam/68: 35-36)
Dikotomi sifat moral ini dalam al-Qur’an juga ditunjuk dengan term dhall (yang tersesat) dan term muhtadi (yang mendapat petunjuk). Dikotomi ini dapat ditemukan dalam firman Allah: Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk. (QS. Al-Najm/53: 30)
Pada ayat yang lain, al-Qur’an juga menggunakan term ashab al-jannah (penghuni surga) dan ashab al-nar (penghuni neraka) untuk membedakan dua kategori moral. Tentu, surga dalam konteks ini digunakan untuk merujuk sisi moral yang positif, sedangkan neraka digunakan untuk merujuk sisi negatif dari sifat-sifat moral. Dualisme sifat-sifat moral ini antara lain dapat ditemukan dalam firman Allah: Tiada sama penghuni-penghuni neraka (ashab al-nar) dengan penghuni-penghuni surga (ashab al-jannah); penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-Hasyr/59: 20)
Dualisme sifat-sifat moral ini pada dasarnya bertumpu pada: kepercayaan pada satu-satunya Tuhan, Pencipta semua makhluk. Artinya, orang yang percaya pada Tuhan – percaya kepada Tuhan akan berimplikasi pada konsep keimanan yang lain, seperti percaya kepada hari akhirat – atau yang kemudian disebut “mukmin” – tentu dalam pengertian sebagai mukmin ideal – pada sisi praksisnya akan selalu “berbuat kebajikan”, sebaliknya orang yang tidak mempercayai adanya Tuhan (kufr), sebagai satu-satunya Dzat Yang Maha Mencipta, demikian juga terhadap hari akhir, mereka akan berbuat sesuai dengan hawa nafsunya, sekalipun harus melanggar berbagai aturan yang telah ditetapkan oleh syari’at. Oleh karena itu, amal usaha mereka tidaklah didasarkan atas upaya meraih kebajikan untuk bekal di hari esok yang jauh lebih kekal (akhirat), tetapi semata-mata hanya untuk kesenangan duniawi.

Amal Perbuatan Manusia: Antara Reward dan Punismant
Bahwa sisi praksis perbuatan manusia itu akan menimbulkan berbagai akibat dan pengaruh, baik secara pribadi maupun secara kolektif. Perbuatan jahat misalnya, akan berakibat buruk dan berpengaruh negatif, tidak saja bagi dirinya sendiri tetapi juga terhadap orang lain. Demikian juga dengan perbuatan baik, akan memiliki akibat-akibat yang dapat dirasakan, baik secara individual maupun sosial.
Setiap amal perbuatan manusia, baik perbuatan terpuji maupun perbuatan jahat, kelak oleh Allah akan dimintai pertanggungjawabannya. Artinya, di kehidupan akhirat kelak setiap manusia harus mempertang-gungjawabkan segala amal perbuatannya ketika hidup di dunia ini. Tidak ada seorang manusia pun yang akan luput dari pertanggungjawaban ini. Bagi mereka yang ketika hidup di dunia selalu berbuat “baik”, maka di akhirat kelak mereka akan mendapatkan “ganjaran” atau reward sesuai dengan apa yang dilakukannya. Demikian juga dengan perbuatan buruk dan tercela, Allah juga akan memberikan balasan (punisment) sesuai dengan apa yang diperbuatnya.[4] Bagi Allah, tidak ada amal perbuatan yang tidak diketahui-Nya, sekalipun hanya sebesar zarrah (atom). Ayat al-Qur’an dengan terang menyebutkan masalah ini, sebagai berikut: Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat balasannya pula (QS. Al-Zalzalah/99: 7-8)
Amal perbuatan yang dilakukan manusia, baik amal kebajikan maupun keburukan, tentu akan diberi balasan oleh Allah dengan pembalasan yang paling sempurna dan seadil-adilnya. Perbuatan baik akan dibalas dengan kebaikan, demikian juga sebaliknya, perbuatan buruk akan diganjar dengan sesuatu yang buruk pula. Secara ekspresif Cawidu menulis sebagai berikut:

Di dalam Islam, pertanggungjawaban atas setiap perbuatan, baik secara kelompok maupun secara individu, amat ditekankan. Setiap manusia harus mempertang-gungjawabkan seluruh amal perbuatanhya selama ia hidup di dunia. Hal ini adalah salah satu prinsip pokok ajaran Islam. Al-Qur’an menegaskan bahwa manusia, kelak di hari kemudian, tidak akan mendapatkan apa pun kecuali yang telah diupayakannya sendiri. Semua perbuatannya, perkataannya, dan aktivitasnya akan diperlihatkan dihadapannya, lalu ia dibalas dengan pembalasan yang paling sempurna dan seadil-adilnya. Seseorang tidak dapat memikul dosa dan kesalahan orang lain dan suatu umat tidak harus memikul dosa dan kesalahan umat lainnya.[5]

Namun, jika kemudian terjadi yang sebaliknya, yakni perbuatan yang buruk mendapatkan balasan yang baik, dan perbuatan baik mendapatkan balasan yang buruk, maka yang demikian itu merupakan hak prerogatif Tuhan. Sebab, teologi keselamatan ini pada dasarnya adalah hak Tuhan. Apakah Tuhan akan membalas kebaikan dengan keburukan, ataukah keburukan akan dibalas dengan kebaikan, lagi-lagi itu merupakan hak Tuhan. Hanya Tuhan yang tahu, siapa di antara para hambanya yang akan memperoleh surga dan siapa yang akan mendapatkan neraka. Bahkan, nabi Muhammad pun juga tidak mengetahui siapa yang akan diselamatkan oleh Tuhan nanti.[6] Namun, sebagai yang Maha Adil, kita harus yakin dan percaya bahwa Tuhan tidak akan berbuat dzalim terhadap hamba-hambanya. Semua ini hanyalah masalah penilaian. Kadang sesuatu yang kita anggap baik, justru menurut Tuhan sebagai sesuatu yang buruk, begitu pula sebaliknya.
Oleh karena itu, sebagai hamba kita hanya diperintahkan Tuhan untuk selalu “berbuat kebajikan” menurut kadar kemampuan kita. Tentu, berbuat kebajikan dalam konteks ini harus didasarkan pada keimanan yang teguh kepada Tuhan dengan maksud untuk mencari ridha-Nya, bukan sekadar “berbuat baik” yang akibatnya hanya dapat dirasakan sesaat ketika hidup di dunia saja.[7] Di sinilah kenapa konsep tentang hari akhir atau hari pembalasan selalu ditonjolkan setelah perintah untuk percaya (îmân) kepada Tuhan. Sebab, konsep akhirat ini (baca: kehadiran surga dan neraka) dipersiapkan untuk menjastifikasi moralitas atas keseluruhan perbuatan yang pernah dilakukan manusia ketika hidup di dunia ini. Dengan demikian, lagi-lagi surga dan neraka merupakan suatu keniscayaan yang pasti akan terjadi dan mutlak.
Signifikansi dari adanya konsep akhirat ini, menurut Rahman setidaknya karena tiga alasan, pertama, moral dan keadilan sebagai konstitusi riil yang berlandaskan al-Qur’an merupakan kualitas untuk menilai perbuatan manusia, sementara keadilan tidak dapat dijamin di dunia ini; kedua, tujuan-tujuan hidup harus dijelaskan dengan seterang-terangnya sehingga manusia dapat melihat apa yang telah diperjuangkannya dan apa tujuan-tujuan yang sesungguhnya dari kehidupan ini. Hal ini teramat penting di dalam keseluruhan doktrin al-Qur’an tentang kebangkitan kembali, karena “penimbangan amal perbuatan” mensyaratkan dan tergantung kepadanya; dan ketiga, yang sangat erat hubungannya dengan alasan kedua: perbantahan, perdebatan pendapat, dan konflik di antara orientasi-orientasi manusia akhirnya harus diselesaikan. Menurut al-Qur’an adalah jelas sekali bahwa walaupun ada, namun perbedaan pendapat secara jujur jarang sekali dijumpai. Hampir semua perbedaan pendapat disebabkan oleh karena motivasi-motivasi ekstrinsik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok, atau bangsa, karena tradisi-tradisi yang diwariskan, dan karena bentuk-bentuk kefanatikan yang berbeda. Dan penyakit moral manusia yang terburuk adalah melakukan hal-hal yang baik dengan motivasi-motivasi yang salah dan ekstrinsik.[8]
Sementara itu, menurut hujjah al-Islâm, Imam al-Ghazali, keniscayaan surga dan neraka ini dapat dibuktikan, baik melalui argumen indrawi, fantasai, maupun rasional.[9] Maksud dari argumen indrawi di sini adalah bahwa masing-masing orang di surga mempunyai selera yang berbeda akibat perbedaan karakteristik mereka sewaktu di dunia seperti makanan, pakaian, dan lain-lain.
Sedangkan argumen fantasai adalah bahwa kenikmatan itu merupakan perkara yang sudah jelas (aksiomatis). Ini bisa dianalogkan dengan apa yang terjadi ketika tidur. Hanya saja kenikmatan di waktu tidur itu sangat kecil dan tidak berarti lantaran akan segera terputus oleh waktu yang singkat. Andaikata kenikmatan itu berlangsung terus untuk selama-lamanya, maka orang tidak akan menemukan perbedaan antara fantasi dan inderawi, sebab perasaan manusia dalam merasakan kenikmatan pada apa yang diilustrasikan terletak pada melekatnya ilusi itu pada daya intuisi dan inderanya, bukan dari wujud eksternal. Jika dalam inderawinya tidak ditemukan rasa kepuasan maka itu bukan kenikmatan. Seandainya ada faktor-faktor alami dalam indera, sementara faktor eksternal tidak ada, tentu saja kenikmatan itu akan abadi.
Sementara itu, secara rasional, menurut al-Ghazali dapat dijelaskan dengan mencermati segala sesuatu yang bersifat inderawi. Dengan kata lain, hal-hal yang bersifat inderawi merupakan contoh bagi kenikmatan rasional yang tidak bisa terindera. Namun, yang bersifat rasional ini juga terbagi menjadi beberapa macam kenikmatan, seperti yang bersifat inderawi.[10]
Oleh karena itu, setiap manusia, khususnya orang yang beriman (mukmin) harus menyadari bahwa setelah kehidupan di dunia ini, kelak akan ada kehidupan lain yang jauh lebih baik dan kekal, yaitu kehidupan akhirat. Kesadaran yang demikian akan berdampak pada adanya keyakinan bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya ketika hidup di dunia ini, tidak saja dimaksudkan demi kebahagiaan duniawi yang sifatnya sementara, tetapi juga sebagai bekal di kehidupan mendatang. Dengan demikian, seorang mukmin akan memiliki tanggungjawab moral yang akan menuntunnya untuk selalu berbuat baik dan menjahui semua larangan-larangan-Nya.

Surga (al-Jannah): Tempat Hakiki bagi Mukmin dan Muslim
Diktum al-Qur’an sendiri sering menyebutkan bahwa setelah kehidupan di dunia ini, manusia nanti akan menjalani proses pengadilan yang konsekuensinya adalah mereka hanya akan dihadapkan pada dua tujuan mutlak, yaitu surga (al-jannah) dan neraka (al-nâr). Yang disebut terakhir ini merupakan tempat kesengsaraan yang direpresentasikan sebagai ganjaran (punisment) bagi orang-orang yang berdosa.[11] Sedangkan yang disebutkan pertama merupakan tempat kenikmatan yang direpresentasikan sebagai balasan (reward) bagi “orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan”. Mereka akan mendapatkan dua pahala (reward) secara sekaligus, baik pahala di dunia maupun pahala di akhirat kelak. Allah berfirman: “Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Ali Imran/3: 148).
Pahala di dunia bisa berupa mendapatkan kemenangan-kemenangan, kebahagiaan, mendapatkan harta rampasan, puji-pujian, dan lain sebagainya. Selain itu, ayat-ayat lain menegaskan bahwa orang-orang yang beriman akan memperoleh beberapa keutamaan, yaitu senantiasa dalam lindungan Allah,[12] selalu mendapat pertolongan Allah, Allah selalu memperkokoh orang mukmin, perasaan untuk tidak bersedih dan merasa khawatir atas adzab Allah, dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan pahala (reward) yang akan diterima oleh “orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan”, diktum al-Qur’an menyebutkan bahwa kelak di akhirat nanti mereka akan mendapatkan surga (al-jannah), yang dalam al-Qur’an sendiri dilukiskan sebagai tempat yang paling sempurna dan sangat menyenangkan, yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, diberi rizki buah-buahan yang segar dan para penghuninya kelak akan hidup kekal di dalamnya selama-lamanya. Beberapa ayat al-Qur’an berikut ini dapat memberikan gambaran tentang penghuni surga (ashâb al-jannah), di antaranya:[13]

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (QS. al-Nisa’/4: 56)

Kutipan ayat al-Qur’an di atas – demikian juga dengan ayat-ayat lain yang senada – dengan jelas menegaskan bahwa surga (al-jannah) yang menjadi tujuan akhir bagi setiap komunitas religius hanya akan diperoleh selama manusia itu benar-benar “beriman kepada Allah dan berbuat kebajikan”. Beberapa ayat al-Qur’an yang saya kutip ini, lagi-lagi memperkuat argumentasi bahwa teologi keselamatan dalam beragama tidak hanya ditentukan oleh misalnya “berbuat kebajikan” semata tetapi juga ditentukan oleh îmân. Dengan demikian, lagi-lagi orang yang beriman dengan tulus terhadap semua unsur keimanan dan membuktikan kebenaran imannya dengan berbuat kebajikan (amal shâlih), maka bagi mereka adalah al-jannah (pahala surga).
Kata al-jannah (surga) dalam bahasa arab berasal dari kata janna-yajunnu-jannan yang berarti tersembunyi dan tertutup.[14] “Tersembunyi” karena term ini biasanya diartikan sebagai suatu tempat yang dipenuhi oleh pepohonan, dan karena banyak dan lebatnya pepohonan itu dapat mengakibatkan menutupi pandangan mata. Term janna muncul sekali dalam firman Allah QS. al-An’am/6: 76, “fa lamma janna ‘alaih al-lail” yang maksudnya adalah ketika malam telah menutupi permukaan bumi. Dari akar kata ini juga muncul kalimat al-majnun, yaitu orang yang akalnya tertutup atau orang gila.[15] Darinya juga muncul kalimat al-jinn, yaitu makhluk yang tertutup dari penglihatan sehingga ia tidak nampak bagi kita.
Term al-jannah dalam al-Qur’an di samping pemaknaanya merujuk pada surga yang ada di akhirat dan kekal sifatnya, juga merujuk pada makna surga di dunia ini. Tentu, pemaknaan yang demikian ditentukan oleh konteks dari masing-masing ayat. Term ini dalam al-Qur’an selalu digunakan untuk menunjukkan makna yang positif. Kebun yang dipenuhi dengan tanam-tanaman misalnya, dalam al-Qur’an disebut dengan jannah. Makna ini antara lain dapat ditemukan dalam ayat berikut ini:

Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun (jannah) kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS. al-Baqarah/2: 266)

Term jannah yang terdapat dalam ayat yang dikutip di atas, secara umum digunakan untuk keadaan duniawi dalam realitas fisik. Surga di dunia merupakan bentuk kesenangan yang sifatnya sementara dan tidak kekal.[16] Oleh karena itu, kita harus memahami bahwa surga Adam berbeda dengan surga orang-orang yang bertaqwa. Surga orang-orang yang bertaqwa adalah surga yang belum diciptakan, sementara surganya Adam telah ada sejak Adam dan istrinya diciptakan. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa sebelum Adam dilempar ke bumi yang disebabkan oleh kesalahannya sendiri dengan memakan buah khuldi (sajarah al-khuldi), ia berada di suatu tempat yang oleh al-Qur’an juga dinamakan dengan jannah. Pemahaman ini antara lain dapat rujuk dalam firman Allah berikut ini:

Dan Kami berfirman: "Hai Adam diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini, yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (QS. al-Baqarah/2: 35)

Maka kami berkata: "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi isterimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya". (QS. Thaha/20: 117-119)

Sementara itu, al-jannah (surga) yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa dalam al-Qur’an akan diciptakan setelah kehancuran kosmos ini, yang dicirikan dengan ciri yang sama sekali lain, yaitu mempunyai sifat kekal dan penghuninya pun akan hidup abadi selama-lamanya. Tentang surganya orang-orang yang bertaqwa ini, Syahrur menulis sebagai berikut:

Adapun surga orang-orang yang bertaqwa telah dicirikan dengan ciri yang sama sekali lain, yang di dalamnya terdapat keabadian,berdasarkan firman-Nya, “khalidina fiha abada”, (mereka kekal di dalamnya), dan tidak nampak fenomena kematian padanya, karena surga itu muncul dalam kosmos yang lain. Surga dan neraka yang ada padanya tidak ada dielektika antara keduanya dan tidak didapatkan relasi atau hubungan timbal balik antara keduanya.[17]

Dari pernyataan Syahrur yang saya kutip ini, setidaknya memberikan gambaran bahwa surga yang dianjikan oleh Allah bagi orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan ini mempunyai ciri dan sifat yang sangat berbeda dengan apa yang selama ini ada di dunia. Jika kehidupan di dunia bersifat sementara, maka di surga atau akhirat nanti kehidupan sifatnya kekal, tidak ada fenomena kematian, tidak ada fenomena keaktifan, tidak ada fenomena sakit, tidak ada fenomena kejahatan, tidak ada fenomena konflik, dan sebagainya.
Hanya saja, surga (al-jannah) sebagai tempat yang nantinya orang-orang beriman dan beramal shalih akan tinggal, oleh sebagian orang masih sering salah dipahami. Artinya, banyak orang mengira bahwa surga itu telah ada sekarang dan ia menunggu sampai hari kebangkitan tiba. Menurut al-Qur’an, surga (al-jannah) akan terbentuk setelah kehancuran kosmos ini, yaitu setelah peniupan (nafkh) pertama, sampai tiba waktunya tiupan kedua yang membawa kepada kebangkitan, dan kemudian surga atau neraka menjadi ada. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

Dan ditiuplah sangkakala, maka matilah siapa (man) yang di langit dan di bumi kecuali siapa (man) yang dikehendaki Allah. Kemudian ditiup sangkakala itu sekali lagi, maka tiba-tiba mereka berdiri menunggu (putusannya masing-masing). (QS. al-Zumar/39: 68)

Menurut Syahrur,[18] kata man dalam firman Allah “maka matilah siapa (man) yang di langit dan di bumi” merunjuk pada sesuatu yang berakal. Oleh karenanya, Dia mengikutkannya dengan “kecuali yang dikehendaki Allah”. Man yang merupakan makhluk berakal yang dikecualikan dari kematian ini adalah iblis, berdasarkan firman-Nya: Berkata iblis: "Ya Tuhanku, (kalau begitu) maka beri tangguhlah kepadaku sampai hari (manusia) dibangkitkan". Allah berfirman: "(Kalau begitu) maka sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang diberi tangguh, sampai hari (suatu) waktu yang telah ditentukan" (QS. al-Hijr/15: 36-38)
Selain surat al-Zumar seperti yang saya kutip itu, ada beberapa ayat al-Qur’an yang juga menegaskan bahwa surga dan atau neraka baru akan terbentuk setelah kehancuran kosmos ini. Artinya, setelah kehancuran kosmos ini akan ada bumi dan atau langit yang sama sekali baru yang berbeda dengan materi sebelumnya. Kita baca misalnya firam Allah dalam surat Ibrahim berikut ini: (Yaitu) pada hari (ketika) bumi diganti dengan bumi yang lain dan (demikian pula) langit, dan mereka semuanya (di padang Mahsyar) berkumpul menghadap ke hadirat Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa. (QS. Ibrahim/14: 48)
Sampai di sini, dapat kita pahami bahwa wujud dalam kosmos yang baru adalah wujud material yang akan terbentuk setelah hancurnya wujud yang sekarang ini, tentu dengan hukum-hukum baru bagi materi itu. Artinya, hukum pertama tidak ada lagi padanya dan digantikan dengan hukum-hukum yang sama sekali baru. Oleh karena itu akhirat dinamakan sebagai negeri yang kekal. Allah berfirman: “Hai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah kesenangan (sementara) dan sesungguhnya akhirat itulah negeri yang kekal”. (QS. al-Mukmin/40: 39).
Kekekalan akhirat ini didukung oleh ayat lain yang menyatakan bahwa “segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya” (QS. al-Qashash/28: 88). Ayat ini menegaskan bahwa segala yang ada, baik yang di langit maupun yang di bumi akan mengalami kerusakan dan karenanya tidak abadi. Posisi yang demikian ini kemudian digantikan dengan hukum lain yang menegaskan bahwa segala sesuatu adalah abadi yang oleh al-Qur’an digambarkan dengan istilah al-khulud (kekekalan). Dengan demikian, surga dan juga neraka sebagai kelanjutan dari hukum-hukum pertama, bersifat kekal dan abadi. Meskipun demikian, hukum berpasangan dan pengaruh mempengaruhi masih tetap ada, tentu dengan bentuk yang sama sekali berbeda dengan hukum-hukum sebelumnya. Di surga juga ada makanan, hubungan seksual, dan juga hari, demikian seterusnya akan tetapi materi-materi itu mempunyai kualitas yang sama sekali berbeda.
Kalaupun meteri yang ada di dunia ini nantinya dapat ditemukan di surga, tentu ia memiliki karakteristik dan sifat-sifat yang sama sekali berbeda dengan yang dilihat sebelumnya. Kita ambil contoh misalnya firman Allah berikut ini:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 25)

Dalam ayat yang saya kutip itu secara jelas menyebutkan bahwa orang-orang yang beriman dengan tulus terhadap semua unsur keimanan dan membuktikan kebenaran imannya dengan berbuat kebajikan (amal shalih), bagi mereka adalah pahala surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, juga akan diberi rizki, di antaranya berupa buah-buahan yang setiap dihidangkan, mereka menduga bahwa buah-buahan itu sama dengan buah yang ada di dunia atau sama dengan apa yang dihidangkan sebelumnya, sehingga mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu”.
Masalahnya sekarang apakah buah-buahan yang ada di surga itu sama kualitasnya dengan buah-buahan yang ada di dunia? Tentu tidak! Sebab, sekalipun mereka diberi buah-buahan yang serupa dalam bentuk, warna dan jenisnya, tetapi sebenarnya materi itu sangat berbeda, terutama dalam hal rasa dan kenikmatanya. Ketika menafsirkan ayat di atas, Quraish Shihab menulis sebagai berikut:

Mereka dianugerahi aneka rezeki, antara lain berupa buah-buahan ..., mereka menduganya sama dengan buah duniawi atau sama dengan apa yang dihidangkan sebelumya sehingga mereka berkata: “Inilah yang telah dianugerahkan kepada kami dabulu; yakni sebelum kami masuk ke surga, ketika kami masih hidup di dunia atau sebelum ini, ketika kami telah berada di surga. Tetapi sebenarnya tidak demikian, karena mereka dianugerahi yang serupa dalam bentuk atau warna dan jenisnya dengan apa yang mereka dapatkan di dunia, atau yang mereka dapatkan sebelumnya, tetapi sebenamya tidak sama rasa dan nikmatnya.[19]

Tentu, Allah memiliki maksud tersendiri kenapa Dia memberikan rizki yang bentuk dan warnanya sama dengan yang ada di dunia ini. Menurut Quraish Shihab, bahwa yang demikian ini dimaksudkan agar mereka tidak ragu memakannya, sebab sesuatu yang belum pernah dicoba boleh jadi menimbulkan tanda tanya di dalam benak yang dapat mengakibatkan seseorang enggan memakannya.[20] Kalau dianalogkan seperti ini, orang yang selama hidupnya tidak pernah menyaksikan dan atau merasakan buah durian misalnya, yang menurut kebanyakan orang sangat nikmat rasanya, ketika ia ditawari untuk mencobanya, maka ia enggan untuk memakannya. Sebab, ia ragu apakah buah itu memang betul-betul rasanya nikmat sebagaimana yang dikatakan oleh kebanyakan orang ataukah justru akan membuatnya mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sejenis. Demikian juga dengan rizki yang diterima oleh penghuni surga itu, diberikan dalam bentuk yang sudah dikenal sebelumnya. Meskipun demikian, lagi-lagi rizki itu secara kualitas memiliki perbedaan.
Selain buah-buahan mereka kelak di surga juga akan diberi pasangan-pasangan yang telah berulang kali disucikan dari segala macam kotoran.[21] Bukan hanya dari haid, karena ini hanyalah salah satu bentuk penyucian dan itu pun hanya bagi wanita. Padahal pasangan-­pasangan yang dimaksudkan adalah pria buat wanita dan wanita buat pria, sehingga penyucian itu mencakup segala yang mengotori jasmani dan jiwa wanita dan pria yang antara lain seperti dengki, cemburu, kebohongan, keculasan, pengkhianatan, dan lain-lain. Untuk memberi kebahagiaan yang lebih mantap dan menghilangkan rasa cemas yang boleh jadi muncul dalam benak ketika menduga bahwa kenikmatan itu tidak abadi, ayat ini ditutup dengan pernyataan bahwa mereka kekal di dalamnya tinggal di sana selama-lamanya (wa hum fiha khalidun).
Lukisan tentang kenikmatan dan kebahagiaan para penghuni surga – demikian juga dengan kesengsaraan nereka – seperti yang dapat kita baca dalam beberapa ayat di atas, misalnya, menurut Sachiko Murata dan William C. Chittick adalah lukisan khas al-Qur’an. Sebab, tidak ada satu Kitab Suci yang mendeskripsikannya seperti yang digambarkan al-Qur’an. Lukisan-lukisan tersebut banyak ditegaskan dalam berbagai Surat pendek di akhir-akhir al-Qur’an yang sebagian besarnya diturunkan pada masa-masa awal karir Nabi Muhammad ketika masih berada di Makkah.[22]
Oleh karena surga dan neraka digambarkan dalam bentuk fisikal-literal, maka muncul stetemen dari sementara kalangan bahwa ungkapan-ungkapan al-Qur’an tentang ini pada dasarnya adalah bersifat simbolik. Misalnya, kebun yang indah untuk surga, dan api yang membakar untuk neraka. Asumsi ini dimungkinkan sebab bahasa al-Qur’an lebih diperuntukkan bagi manusia secara umum dalam segala tingkatan; al-Qur’an bukanlah kitab yang hanya dikhususkan bagi kalangan cendekiawan ataupun filsuf, yang mungkin saja memiliki penafsiran berbeda ketika ayat ‘kebun’ dan ‘api’ dibacakan. Jadi, pengungkapan doktrin agama secara kebahasaan selalu diwarnai oleh realitas kultural. Suasana kebun yang indah dengan sungai yang mengalir di bawahnya, misalnya, adalah simbol kehidupan ideal bagi masyarakat padang pasir, masyarakat muslim dominan kala ayat ini diturunkan di dataran tandus Arabia.[23]
Untuk mendapatkan gambaran secara detail tentang kenikmatan-kenikmatan yang diberikan oleh Allah kepada para penghuni surga (ashab al-jannah), di sini akan saya kutipkan ucapan sang Hujjah al-Islam, al-Ghazali. Mengenai kondisi-kondisi yang akan di alami oleh para penghuni surga ini, secara emajinatif al-Ghazali menulis sebagai berikut:

Renungkanlah tentang penghuni surga. Wajah mereka berseri-seri karena kenikmatan, diberikan minuman dari anggur yang dilindungi, duduk di atas mimbar di atas batu rubi, dalam tandu mutiara yang gemerlap. Di dalamnya dihamparkan permadani yang hijau. Mereka duduk pada katil-katil yang ditempatkan di tepi sungai yang berlimpah khamr dan madu. Mereka dilayani oleh pemuda-pemuda surga. Tempatnya dihiasi dengan bidadari yang cantyik jelita bak yaqut dan marjan. Bidasdari tersebut tidak pernah disentuh sebelumnya baik oleh manusia maupun jin. Mereka berjalan di tengah-tengah surga, mengenakan sutra putih yang menyilaukan. Mereka memakai mahkota yang bertahtakan mutiara dan marjan. Inilah bidadari yang cantik mempesona, yang harum semerbak, yang tidak pernah tua dan dengan kecantikan yang tidak pernah memudar. Mereka tinggal di tenda-tenda dalam istana yaqut yang dibangun di tengah-tengah taman surga. Bidadari jelita yang tidak liar pandangan matanya, diedarkan kepada mereka piala, cerek, dan gelas dari mata air yang mengalir jernih dan lezat bagi yang meminumnya. Para khadam dan wildan mengelilingi mereka bagaikan mutiara yang tersimpan sebagai pahala atas segala amal saleh yang pernah mereka lakukan. Mereka tinggal di tempat yang terpelihara, di surga-surga dan mata air-mata air, di surga-surga dan sungai-sungai di tempat menyenangkan di sisi raja yang berkuasa. Di sana mereka melihat wajah raja Yang Mahamulia. Wajah mereka bersinar dengan kegembiraan surga. Tidak pernah tertutup debu dan tidak pula kehinaan. Merekalah hamba Allah yang dimuliakan dan saling memberi berbagai hadiah dari Tuhan mereka. Mereka kekal dalam apa pun yang mereka inginkan. Mereka tidak merasa takut di dalamnya dan tidak pula berduka cita. Mereka tidak ragu akan datangnya karunia. Di sanalah mereka bersenang-senang dan memakan berbagai makanan. Dari sungai-sungainya mereka meminum susu, khamar, dan madu, dari sungai yang dasarnya perak dan bebatuannya marjan, di atas bumi yang tanahnya kesturi dan tumbuh-tumbuhannya za’faran. Dicurahkan hujan nasrin dari mega pada piala kafur. Mereka diberi pinggan yang terbuat dari perak, bertahtakan mutiara, yaqut, dan marjan. Gelas yang berisi anggur yang melindungi yang dicampur salsabil yang segar, gelas yang bersinar lantaran kejernihan jauharnya. Minuman kelihatan dari belakangnya sama mereka dengan gelasnya, yang tidak pernah diciptakan oleh manusia sehingga tidak mungkin dapat digambarkan keindahan bentuknya. Gelasd tersebut diletakkan pada tangan khadam yang pancaran sinar di wajahnya mengalahkan pancaran sinar matahari. Mana mungkin matahari mempunyai kemanisan seperti kemanisan wajahnya dan keelokan seperti keelokan parasnya. Sungguh aneh, bagi yang percaya dengan rumah yang seperti ini dan meyakini penghuninya tidak akan mati, tidak akan ditimpa kesusahan, dan tidak akan mengalami perubahan. Sungguh aneh, kalau ia terikat dengan rumah yang sudah pasti akan hancur dan bersenang-senang dengan kehidupan selain dari kampung yang abadi. Demi Allah, andaikata di surga itu tidk ada apa-apa selain keselamatan tubuh, keamanan dari kematian, kelaparan, rasa haus, dan berbagai kesusahan, pastilah orang akan menjahui dunia karenanya. Bagaimana tidak, penghuni surga adalah para raja yang hidup tenteram, bersenang-senang dalam berbagai macam kesenangan. Di sana mereka memperoleh apa pun yang mereka kehendaki. Setiap hari mereka hadir di halaman ‘arsy, sembari memandang Wajah Allah. Mereka tidak lagi tertarik untuk memperhatikan berbagai kenikmatan surga. Mereka terus-menerus berada dalam kenikmatan yang tidak akan hilang...[24]

Kenikmatan-kenikmatan yang akan diperoleh oleh para penghuni surga (ashab al-jannah) ini tentu ragamnya sangat banyak sekali. Apa yang dilukiskan oleh al-Ghazali di atas, hanyalah sekelumit kenikmatan yang akan dirasakan oleh para penghuni surga. Bahkan dalam sebuah hadis Rasulullah pernah mengatakan bahawa kenikmatan-kenikmatan surga itu mencakup hal-hal yang berlum terlihat oleh mata, belum terdengar oleh telinga, dan belum terlintas dalam hati sekalipun. Sehubungan dengan kenikmatan surga ini Rasulullah menyatakan sebagai berikut:

Setelah Allah menciptakan surga yang kekal kemudian Ia menciptakan di dalamnya (kenikmatan-kenikmatan) yang tidak pernah terlihat oleh mata, belum terdengan oleh telinga dan belum terlintas dalam hati seseorang (HR. Tabrani)

Yang diinformasikan oleh al-Qur’an mengenai masalah ini hanyalah sedikit dan bersifat global saja, seperti di surga nanti terdapat air sungai yang mengalir di bawahnya, mereka akan diberi rizki berupa buah-buahan yang tidak berhenti buahnya serta tidak terlarang mengambilnya, di beri pasangan-pasangan yang disucikan, tidak ada fenomena keaktifan, tidak pernah sakit, tidak ada yang berbuat jahat, tidak ada konflik, hidup damai, kekal di dalamnya, dan lain-lainnya. Ayat berikut ini dapat menggambarkan tentang kenikmatan-kenikmatan yang akan diperoleh oleh para penghuni surga. Allah berfirman:

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?" Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah: Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. (QS. Ali Imran/3: 15)

Dari sekian banyak kenikmatan yang akan dirasakan oleh para menghuni surga nantinya, kenikmatan yang paling tinggi yang akan dirasakannya adalah ketika mereka dapat melihat Tuhan-Nya dengan jelas, dapat bermunajat dengan-Nya, dan merasa bahagia karena mendapatkan ridha-Nya. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam beberapa firman Allah berikut:

“Wajah-wajah (orang-orang mu'min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat”. (QS. al-Qiyamah/75: 22-23)

Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan (mereka). Mereka dan isteri-isteri mereka berada dalam tempat yang teduh, bertelekan di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh buah-buahan dan memperoleh apa yang mereka minta. (Kepada mereka dikatakan): "Salam", sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. (QS. Yasin/36: 55-58)

Terlepas dari perbedaan para teolog: apakah manusia di akhirat nanti dapat melihat Tuhan ataukah tidak, secara eksplisit beberapa ayat yang saya kutip di atas, menjelaskan bahwa manusia kelak di surga akan mendapatkan kenikmatan yang tertingggi dan sangat diharapkan bagi semua komunitas manusia, yaitu dapat melihat Tuhannya. Di sisi lain, dari beberapa ayat di atas dapat dipahami pula bahwa kenikmatan atau kebahagiaan yang dirasakan oleh para penghuni surga itu selain dapat dirasakan secara ruhaniyah juga dapat dirasakan secara jasmaniyah. Hal ini diperkuat oleh penjelasan Rahman[25] yang menyatakan bahwa kebahagiaan yang akan diperoleh manusia di akhirat kelak (surga), demikian juga dengan kesengsaraan (neraka) tidak hanya bersifat spiritual semata, sebagaimana dikatakan oleh para filosuf muslim. Sebab, menurut al-Qur’an, surga atau neraka tidak membedakan dualisme antara jiwa dan raga. Artinya, kebahagiaan di surga nanti selain dirasakan secara spiritual juga dapat dirasakan secara jasmaniyah. Mengenai hal ini Rahman menulis sebagai berikut:

Kitab ini (pen. Al-Qur’an) tidak mengakui adanya dualisme di antara jiwa tanpa raga karena manusia adalah sebuah organisme hidup yang merupakan sebuah unit dan berfungsi penuh. Perkataan nafs yang dikemudian hari di dalam filsafat dan sufisme Islam berarti jiwa dengan pengertian sebagai sebuah substansi yang terpisah dari jasmani, di dalam al-Qur’an terutama sekali berarti “dirinya” dan “diri mereka”; sedang di dalam konteks-konteks tertentu berarti “manusia”, “batin manusia”, atau realitas yang nyata dari manusia – tetapi tidak terpisah atau eksklusif dari raga. Sesungguhnya raga dengan pusaty kehidupan dan intelegensi itulah yang merupakan identitas atau kepribadian manusia yang sesungguhnya.[26]

Dari peryataan Rahman di atas dapat dipahami bahwa kenikmatan di surga nanti selain dapat dirasakan secara ruhani juga dapat dirasakan secara jasmani. Untuk memperkuat pernyataan Rahman ini di sini akan saya kutipkan lagi satu ayat lain yang menegaskan argumen sebelumnya, yaitu:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 25)

Dengan demikian, al-Qur’an jelas tidak membenarkan bahwa surga itu bersifat spiritual semata. Sebab, yang menjadi subyek kebahagiaan adalah manusia sebagai pribadi. Mereka bisa merasakan bagaimana surga-surga itu dihiasi dengan berbagai kenikmatan yang dapat dirasakan secara jasmaniyah, seperti buah-buahan yang sebelumnya juga pernah dinikmatinya selama hidup di dunia ini.
Ayat-ayat al-Qur’an yang mensinyalir tentang kenikmatan-kenikmatan yang akan diperoleh ketika hidup di akhirat kelak (surga, al-jannah), tentu secara kuantitatif jumlahnya sangat banyak sekali. Beberapa ayat al-Qur’an yang telah saya kutip di atas, hanya sebagiannya saja. Jika kita amati, kebanyakan ayat-ayat itu berbicara tentang teologi keselamatan yang syarat utamanya adalah beriman dan berbuat kebajikan. Berikut ini akan saya kutipkan lagi beberapa firman Allah, sebagai berikut:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 25)

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran/3: 57)

Orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh, kelak akan Kami masukkan ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah telah membuat suatu janji yang benar. Dan siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah? (QS. al-Nisa’/4: 112)

Beberapa ayat yang telah saya kutip di atas, kesemuanya secara jelas dan gamblang menagaskan bahwa teologi keselamatan dalam beragama, lagi-lagi ditentukan oleh dua prinsip utama yang keduanya saling berhubungan. Kedua syarat itu adalah “iman” dan “berbuat kebajikan”.[27] Tentu, keimanan dalam konteks ini mencakup keseluruhan konsep yang ada dalam term iman itu sendiri, baik persoalan-persoalan yang terkait dengan “perintah dan larangan” yang harus dan tidak boleh dilakukan bagi seorang yang beriman. Demikian juga dengan karakteristik dan sifat-sifat bagi orang yang beriman. Artinya, teologi keselamatan ini akan didapatkan selama seseorang yang beriman itu betul-betul menjadi mukmin yang ideal sebagaimana yang dideskripsikan oleh al-Qur’an.
Persoalannya adalah siapakah yang akan diselamatkan dan berhak menjadi penghuni surga itu? Apa syarat-syarat yang harus dipenuhi jika seseorang ingin mendapatkan tempat yang sangat mulia itu? Jika diktum al-Qur’an sering menyebutkan bahwa mereka yang kelak akan menjadi penghuni surga (ashab al-jannah) adalah orang-orang yang bertaqwa, yaitu mereka yang “beriman dan berbuat kebajikan”, lalu bagaimana konsep ini dijelaskan dalam dataran praksis? Mungkin, firman Allah dalam QS. al-Ma’arij/70: 22-35 dapat memberikan gambaran yang detail tentang siapa saja di antara mereka dan apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan kedudukan menjadi penghuni taman surga yang sangat mulia ini. Allah berfirman:

Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya, dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta), dan orang-orang yang mempercayai hari pembalasan, dan orang-orang yang takut terhadap azab Tuhannya. Karena sesungguhnya azab Tuhan mereka tidak dapat orang merasa aman (dari kedatangannya). Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak-budak yang mereka miliki maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang dibalik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya. Dan orang-orang yang memelihara shalatnya. Mereka itu (kekal) di surga lagi dimuliakan. (QS. al-Ma’arij/70: 22-35)

Dari ayat di atas, dapat diinventarisir bahwa seseorang yang benar-benar menginginkan menjadi bagian dari mereka yang dimasukkan ke dalam taman surga yang sangat mulia itu, jika mereka memenuhi beberapa hal sebagai berikut: (1) yang tetap mengerjakan shalat dan melakukannya dengan baik; (2) yang dalam harta kekayaannya tersedia bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa; (3) yang mempercayai hari pembalasan; (4) yang takut terhadap adzab Tuhannya; (5) yang memelihara kemaluannya; (6) yang memelihara amanat-amanat dan janjinya; dan (7) yang memberikan kesaksian.
Dengan demikian ayat tersebut menjelaskan tentang syarat-syarat yang diperlukan untuk memperolah keridhaan Tuhan, yakni tetap melakukan shalat, memberikan zakat, yakin tentang adanya hari pembalasan, takut kepada Tuhan, mengekang nafsu seks, setia pada janji, dan dapat dipercaya.
Tentu, ketujuh syarat ini bukanlah syarat mutlak. Artinya, apabila ketujuh syarat itu dipenuhi, maka tidak berarti bahwa seseorang akan secara otomatis menjadi penghuni surga. Sebab, dalam ayat yang lain masih ada beberapa syarat yang disebutkan secara terpisah, yang kesemuanya, lagi-lagi menjadi pelengkap dari beberapa syarat yang disebutkan secara terpisah itu. Taruh saja misalnya dalam QS. al-Ra’d/13: 20-23, ada beberapa informasi tambahan yang tidak disebutkan dalam ayat yang saya kutip sebelumnya, seperti kesabaran. Allah berfirman:

(Yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik), (yaitu) surga `Adn yang mereka masuk ke dalamnya. (QS. al-Ra’d/13: 20-23)

Dalam ayat yang saya kutip ini, kesabaran juga menduduki tempat penting ketika seseorang ingin mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Sabar dalam konteks ini masuk dalam gugusan amal kebajikan yang merupakan “icon” terbesar dalam teologi keselamatan dalam beragama. Pada ayat yang lain Allah juga menyebutkan bahwa sikap sabar merupakan salah satu dari sekian banyak amal kebajikan yang menyebabkan seseorang mendapatkan reward (pahala) yang besar dari sisi Tuhan. Allah berfirman:

Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab/33: 35)

Selain itu, rasa berterima kasih (shukr) dan penyesalan (taubah) juga merupakan bagian terpenting lainnya yang dapat menyebabkan seseorang masuk dalam gugusan penghuni surga. Bahkan, term shukr dalam al-Qur’an dapat dijumpai dalam beberapa tempat dan sangat dominan sekali. Secara semantik, term shukr ini merupakan nama lain untuk “iman”. Sebab, dalam al-Qur’an term shukr (rasa berterima kasih) merupakan bentuk antitesis dari term kufr yang dalam pandangan al-Qur’an sering dimaknai sebagai ‘sikap tidak mau berterima kasih’. Dan kufr adalah antitesis dari iman. Dengan demikian, iman dan shukur secara semantik memiliki makna yang sama. Allah berfirman:

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu mema`lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur (shukr), pasti Kami akan menambah (ni`mat) kepadamu, dan jika kamu kufr (mengingkari ni`mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim/14: 7)

Sedangkan, unsur yang kedua, taubah (penyesalan) yang merupakan perbuatan manusia untuk mendapatkan kasih sayang Tuhan, dalam konteks ini juga menjadi penting ketika manusia ingin mendapatkan tempat yang mulia ini. Tidak ada sesorang manusia pun yang dalam hidupnya tidak pernah berbuat khilaf dan salah. Perbutan khilaf ini hanya dapat terampuni selama manusia mau bertobat kepada Tuhan dengan sepenuh hati (taubatan nashuha). Bahkan menurut Izutsu, term taubah ini memiliki makna dua arah, yaitu ‘penyesalan’ dari pihak manusia dan ‘pengampunan’ dari pihak Tuhan. Mengenai hal ini Izutsu mengatakan:

Adalah menarik untuk diperhatikan bahwa kata yang sama, taubah, bermakna ‘penyesalah’ dari pihak manusia, dan ‘pengampunan’ dari pihak Tuhan. Manusia ‘berbuat kebaikan’ kepada Tuhan dengan penyesalan, Tuhan ‘berbuat kebaikan’ kepada manusia dengan rahmat-Nya. Terdapat antar hubungan yang jelas antara ‘berbuat kebaikan’ antara Tuhan dan manusia, dan hal ini dicerminkan dengan cara semantik dari kata taubah.[28]

Oleh sebab itu, semua orang yang beriman sangat diperintahkan untuk berbuat baik kepada Tuhan dengan penyesalan yang sungguh-sungguh. Dengan demikian diharapkan Tuhan akan mengampuni dosa-dosa mereka yang telah lalu, yang dilakukan dengan sadar atau tidak sadar. Sebab, hanya dengan penyesalan yang sungguh-sungguh kepada Tuhan (taubatan nashuha), seseorang akan memperoleh pahala surga (al-jannah). Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersama dengan dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. al-Tahrim/66: 8)

Penutup
Berdasarkan beberapa argumentasi yang saya sebutkan di atas, sebenarnya yang ingin saya katakan adalah bahwa keselamatan dalam beragama, lagi-lagi tidak hanya ditentukan oleh, misalnya amal kebajikan semata, tetapi juga ditentukan oleh iman. Memang benar, bahwa “kebajikan” merupakan icon terdasar dalam keselamatan beragama, tetapi kebajikan yang tidak dilandasi oleh iman yang benar kepada Allah, maka amal kebajikan itu akan sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Walhasil, teologi keselamatan dalam beragama, lagi-lagi ditentukan oleh dua faktor terdasar, yaitu: pertama, islam yang termanifestasikan dalam bentuk “berbuat kebajikan”; dan kedua, iman yang bemuara pada keimanan kepada Allah SWT. Untuk mengakhiri tulisan ini dan sekaligus memperkuat argumentasi yang sudah saya sebutkan sebelumnya, di sini akan saya kutipkan perkatan Quraish Shihab sehubungan dengan teologi kesematan ini, yang mengatakan sebagai berikut: “Amal adalah segala hasil penggunaan daya manusia, yakni daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan daya hidup. Daya-daya itu bila digunakan dalam bentuk yang shaleh, yakni bermanfaat dan disertai dengan iman yang benar dari pelakunya, maka pelakunya beramal shaleh. Merekalah yang akan memperoleh surga-surga”.[29][]




DAFTAR PUSTAKA


Al-Ghazali, “al-Madnun al-Shaghir”, al-Qushur al-Awali, diedit oleh Muhammad Musthafa Abu al-Ila, Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, t.th.
Cawidu, Harifuddin, Dr., Konsep Kufr dalam al-Qur’an: suatu Kajian Teolgis dengan Pendekatan Tafsir Tematik, Jakarta: Bulan Bintang, 1991
Izutsu, Toshihiko, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, terj. Agus Fahri Husain, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993
June I. Smith & Yvone Y. Haddad, The Islamic Understanding of Death and Ressurection, Albany: State University of New York Press, 1981
Rahman, Fazlur, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1996
Sachiko Murata & William C. Cvhittick, The Vision of Islam, London & New York: I.B. Tauris Publisher, 1996
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2000
Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer, Yogyakarta: Islamika, 2004
Syahrur, Muhammad, Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur’ani, terj. M. Firdaus, Bandug, Nuansa, 2004

[1]Nilai moral pada dasarnya merupakan poros penting dari keseluruhan sistem, sehingga dalam konteks eskatologi pun landasan moralitas ini mendapatkan tempat bahkan menjadi puncak dari keseluruhan ide yang terkandung dalam doktrin eskatologi Islam.
[2]Secara umum, sifat-sifat moral dapat dibagai menjadi dua, yaitu sifat moral positif dan negatif. Namun, dalam al-Qur’an terkadang sifat moral ini dibedakan menjadi tiga. Dan kelompok yang ketiga ini adalah orang yang berada antara percaya (mukmin) dan tidak percaya (kafir). Hal ini antara lain dapat ditemukan dalam firman Allah: “Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (QS. Fathir/35: 32)
[3]Term jarama dan derivasinya muncul sebanyak 68 kali dalam al-Qur’an. Makna dasar dari term ini adalah putus (al-qath). Dengan demikian, mujrim adalah orang yang memutus hubungan dengan komunitas dan aturan-aturannya serta bertingkah menurut hawa nafsunnya. Dalam al-Qur’an, term ini dimaknai sebagai orang yang memutus hubungannya dengan Allah, mengingkari eksistensi-Nya, tidak mempercayai hari Akhir, dan mendustakan hari kebangkitan.
[4]Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (QS. al-Baqarah/2: 286)
[5]Dr. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an: suatu Kajian Teolgis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 183
[6]Lihat, M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 285
[7]Orang-orang kafir misalnya, yang secara tegas menolak adanya hari akhir, kebangkitan, dan hari pembalasan, maka amal perbuatan yang dilakukannya tidak dimaksudkan untuk meraih kebajikan di hari akhirat kelak, tetapi semata-mata hanya untuk kesenangan duniawi. Oleh karenanya, mereka tidak merasa terikat dengan aturan-aturan dan norma-norma keagamaan yang mengatur tingkah laku manusia. Pelanggaran terhadap aturan dan norma, bagi mereka bukanlah merupakan dosa.
[8]Lihat, Fazlu Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1996), h. 169
[9]Dikutip dari Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), h. 133-134
[10]Penjelasan tentang masing-masing argumen ini secara komprehensif dapat dibaca pada al-Ghazali, “al-Madnun al-Shaghir”, al-Qushur al-Awali, diedit oleh Muhammad Musthafa Abu al-Ila (Kairo: Maktabah al-Jundi, 1968)
[11]Kajian komprehensif tentang ganjaran (punishment) yang akan diterima oleh mereka yang berdosa (kufr) ini dapat dilihat misalnya dalam Dr. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam al-Qur’an: suatu Kajian Teologis dengan Pendekatan Tafsir Tematik (Jakarta: Bulan Bintang, 1991)
[12]Lihat, QS. al-Baqarah/2: 137; 249; 257; QS. al-Nisa/4: 45
[13]Lihat, QS. al-Baqarah/2: 25; 82; Ali Imran/3: 15; 107; 136; 198; al-Nisa’/4: 13; dan sebagainya.
[14]Lihat Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, h. 92
[15]Ayat-ayat al-Qur’an berikut menunjukkan makna dimaksud, yaitu: Dan mereka berkata: "Apakah sesungguhnya kami harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena seorang penyair gila (majnun)?" (QS. al-Shafat/37: 36); kemudian mereka berpaling daripadanya dan berkata: "Dia adalah seorang yang menerima ajaran (dari orang lain) lagi pula seorang yang gila (majnun). (QS. al-Dukhan: 14); Maka dia (Fir`aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya, dan berkata: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila (majnun)". (QS. al-Dzariyat: 39)
[16]Lihat misalnya, QS. Ali Imran/3: 185; QS. Yunus/10: 70; QS. al-Ra’d/13: 26 ; dan lain-lain
[17]Muhammad Syahrur, Dialektika Kosmos dan Manusia: Dasar-dasar Epistimologi Qur’ani, terj. M. Firdaus (Bandug, Nuansa, 2004), h. 71
[18]Ibid., h. 66
[19]M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. I (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 127-128
[20]Ibid., h. 128
[21]Bandingkan dengan QS. Ali imran/3: 15; QS. al-Nisa’/4: 57, dan yang lainnya.
[22]Lihat Sachiko Murata & William C. Cvhittick, The Vision of Islam (London & New York: I.B. Tauris Publisher, 1996), h. 211
[23]Lihat, Sibawaihi, Eskatologi al-Ghazali dan Fazlur Rahman: Studi Komparatif Epistimologi Klasik-Kontemporer (Yogyakarta: Islamika, 2004), h. 131; bandingkan dengan June I. Smith & Yvone Y. Haddad, The Islamic Understanding of Death and Ressurection (Albany: State University of New York Press, 1981), h. 138
[24]Lihat uraian ini secara detail dalam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Jilid IV, h. 569-577
[25]Lihat, Fazlur Rahman, Tema Pokok al-Qur’an, terj. Anas Mahyudin (Bandung: Pustaka, 1996), h. 163
[26]Ibid.
[27]Berbuat kebajikan dalam konteks ini merupakan syarat mutlak dan mendasar bagi keselamatan dalam beragama. Jika diktum al-Qur’an sering menyatakan bahwa beriman dan berbuat kebajikan (amal al-shalihah) merupakan syarat utama seseorang akan mendapatkan keselamatan dalam beragama, maka disinilah hubungan iman-Islam menjadi sangat jelas.
[28]Toshihiko Izutsu, Konsep-Konsep Etika Religius dalam Qur’an, terj. Agus Fahri Husain (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 133
[29]Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, I, op. cit., h. 127

Tidak ada komentar: