Selasa, 01 Juli 2008

Islam dan Iman: Teologi Keselamatan dalam Beragama

Oleh Mohammad Nor Ichwan

Dalam banyak ayat al-Qur’an, Allah sering memberikan jaminan kepada orang-orang yang beriman kepada-Nya, hari akhir dan berbuat kebajikan untuk tidak bersedih dan akan mendapatkan pahala dari sisi-Nya. Diktum semacam ini semakin memperjelas bahwa visi besar Islam adalah untuk semua alam. Hanya saja, Islam yang bersifat universal ini oleh sebagian orang masih dipahami secara keliru dan sangat komunal. Artinya, Islam universal ini sering dimaknai sebagai keharusan orang-orang, umat atau sebuah bangsa yang mengikuti dan memeluknya untuk menjadi umat yang satu, yakni pengikut Muhammad. Sehingga, ketika disebut Islam, maka makna yang terpikirkan adalah Islamnya Muhammad. Akibatnya, tidak ada Islam di luar Islamnya Muhammad.
Padahal, dalam al-Qur’an banyak sekali ditemukan setetemen yang menyatakan bahwa nabi-nabi atau “guru moral” sebelum Muhammad, kesemuanya memiliki visi yang sama yaitu tunduk dan pasrah kepada Tuhan (al-islam). Ayat-ayat al-Qur’an yang bisa dirujuk untuk memperjelas masalah ini, antara lain:

Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus (hanif) lagi berserah diri kepada Allah (muslim) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik." (QS. Ali Imran/3: 67)

Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Islam". (QS. al-Baqarah/2: 132)

Jika kamu berpaling (dari peringatanku), aku tidak meminta upah sedikitpun daripadamu. Upahku tidak lain hanyalah dari Allah belaka, dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri kepada-Nya (hanifan muslima)". (QS. Yunus/10: 72)

Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir`aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir`aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (QS. Yunus/10: 90)

(Jin berkata) Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang ta`at dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang ta`at, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus.QS. al-Jin/72: 14

Apa sebenarnya yang dapat kita pahami dari kelima ayat – demikian juga dengan ayat-ayat lain yang senada – yang saya kutip di atas? Beberapa ayat itu sangat jelas menunjukkan bahwa term islam secara khusus bukanlah merujuk pada satu komunitas religius tertentu, seperti pengikut Muhammad saw. Sebab, Nabi atau “guru moral” yang hidupnya jauh mendahului Muhammad, seperti Ibrahim, Nuh, Ya’kub, dan anak cucunya, Yusuf, bahkan para Jin pun oleh al-Qur’an disebut sebagai Muslim, yaitu yang makna generiknya adalah berserah diri kepada Allah. Bahkan, Fir’aun sendiri mengaku dirinya muslim ketika tenggelam.[1]
Para Nabi dan atau “guru moral” yang sebagian saya sebut itu, jelas keberadaannya jauh mendahului Muhammad, dan mereka pun tidak pernah bertemu dengan dan atau sebagai pengikut Muhammad. Namun demikian, diktum al-Qur’an sangat jelas menyebut mereka semua sebagai muslim. Ini berarti bahwa Islam tidak diperuntukkan kepada mereka yang secara khusus mengikuti Muhammad saja. Tetapi, Islam juga merujuk kepada nabi Ibrahim, Nuh, Luth, Ya’kub dan yang lain serta semua yang berbuat kebajikan.
Oleh karena itu, dalam ayat yang lain Allah menegaskan bahwa barangsiapa yang mengikuti agama selain Islam, maka agamanya tertolak dan tidak akan diterima oleh-Nya. Makna dari pernyataan semacam ini adalah bahwa sistem religiusitas yang tidak didasari oleh sikap pasrah dan tunduk kepada Tuhan (islam), apakah itu umat Yahudi, Nasharani, umat Muhammad dan siapa saja makhluk Allah yang lain, maka mereka termasuk orang-orang yang merugi. Untuk mempertegas pernyataan ini akan saya kutipkan firman Allah, sebagai berikut:

Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan. (QS. Ali Imran/3: 83)

Barangsiapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi. (QS. Ali Imran/3: 85)


Dua ayat yang telah saya kutip di atas, jelas menunjukkan bahwa Islam itu bersifat universal, yaitu untuk semua ciptaan Allah. Dengan demikian, Islam itu menyangkut semua makhluk Allah, seperti jin, tumbuh-tumbuhan, air, batu-batuan, malaikat, langit, bumi dan semua jenis makhluk Allah, baik yang hidup maupun yang mati. Dalam pengertian ini juga setiap orang adalah “muslim”. Setiap orang, baik yang percaya atau yang tidak percaya, tetap merupakan seorang “muslim”. Kita baca firman allah berikut ini:

Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? (QS. al-Hajj/22: 18)

Dan kepada Allah sajalah bersujud segala apa yang berada di langit dan semua makhluk yang melata di bumi dan (juga) para malaikat, sedang mereka (malaikat) tidak menyombongkan diri. Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS. al-Nahl/16: 49-50)

Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari. (QS. al-Ra’d/13: 15)

Dari tiga ayat yang saya kutip di atas, jelas menunjukkan bahwa islam tidak hanya terbatas bagi komunitas manusia saja, tetapi islam mencakup seluruh unsur yang ada. Tentu, keberislaman makhluk Allah seperti tumbuh-tumbuhan, gunung-gunung, malaikat, langit, bumi dan yang sejenisnya secara reflektif tidak sama dengan manusia. Tentu, keberislaman manusia, tidak terjadi dengan sendirinya, tetapi melalui sebuah proses pencarian yang panjang, yang pada tahap awal dapat berupa mencurigai kebenaran dari kepercayaan terhadap agama warisan.
Ibrahim, yang merupakan bapak monoteisme, sebelum memperoleh predikat sebagai seorang muslim sejati, ia terlebih dahulu mecurigai atas agama yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Al-Qur’an telah menggambarkan bagaimana Ibrahim menjadi seorang Muslim. Firman Allah:

Dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Aazar: "Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata".Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "Inilah Tuhanku" Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam".Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "Inilah Tuhanku". Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata: "Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat".Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata: "Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar", maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-An’am/6: 74-79)

Kata “menghadapkan diriku” yang disebutkan pada ayat terakhir merupakan perbuatan menyerahkan diri (self commitment) kepada Allah (islam). Dan karenanya model keberagamaan Ibrahim ini merupakan contoh keabsahan dalam beragama. Dengan demikian, lagi-lagi agama yang tidak menekankan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan (islam) merupakan agama yang tidak diterima dan karenanya tertolak.
Dalam beberapa ayat al-Qur’an, term yang digunakan untuk merujuk agama Ibrahim ini adalah millah dan bukan din. Sebagai millah, agama Ibrahim adalah keyakinan dasar, kepercayaan yang teguh dan jalan sepiritual. Agama-agama semit, seperti Yahudi, Nashrani, dan Islam, ketika diperintahkan untuk mengikuti agama Ibrahim, ada dalam konteks keyakinan, kepercayaan atau jalan sepiritual yang teguh.[2] Artinya, ketika Yahudi, Nashrani, dan Islam disebut agama Ibrahim, tentu bukan karena soal komunitas agamanya, atau karena organisasi agama yang ada di ketiga agama semit itu, tetapi karena soal keyakinan dasarnya yang monoteisme. Walhasil, agama apapun yang meneladani millah Ibrahim ini, dapat disebut sebagai agama Ibrahim.
Dalam konteks ini, lagi-lagi yang disebut “muslim” tentu bukan karena mereka mengikuti Muhammad, sebab diktum al-Qur’an sangat jelas menyebutkan bahwa nabi-nabi sebelum Muhammad, seperti Ibrahim, Nuh, Musa, Isa, Ya’qub, Jin, dan nabi-nabi yang lain kesemuanya dimasukkan dalam gugusan Islam universal ini. Jika yang dimaksudkan sebagai “muslim” adalah mereka yang secara khusus mengikuti Muhammad, maka pandangan yang demikian akan sulit diterima ketika dihadapkan pada nabi-nabi yang saya sebutkan itu. Mereka itu semua muslim, tetapi tidak mengikuti Muhammad.
Sampai di sini dapat dipahami bahwa Islam itu pada dasarnya memiliki dua pengertian, yaitu Islam umum dan Islam khusus. Islam umum menyangkut yang bersifat universal dan islam khusus menyangkut komunitas umat Muhammad, yang berkaitan dengan keimanan-keimanan kepada Muhammad. Untuk memperjelas dua kategori Islam ini, Ibn Taimiyah menyatakan sebagai berikut:

Banyak orang bertikai tentang kelompok umat terdahulu dari Nabi Musa dan Nabi Isa, apakah mereka termasuk orang yang berislam? Sebenarnya ini perbedaan dari segi teks lafalnya. Sebab, Islam khusus, yang untuk membawanya Allah mengutus Nabi Muhammad SAW dan yang mencakup syari’ah, tidaklah berlaku kecuali untuk umat nabi Muhammad SAW. Islam sekarang ini adalah dalam artian yang demikian. Sedangkan Islam umum meliputi semua syari’at yang diturunkan Allah lewat para Nabi-nabinya. Maka termasuk semua umat yang mengikuti para nabi tersebut. Dan, pangkal Islam yang umum atau khusus adalah persaksian adanya Allah SWT.[3]

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa Islam khusus lebih merujuk pada pengikut Muhammad, sedangkan komunitas lain yang memenuhi unsur berbuat kebajikan dan menegakkan keadilan termasuk dalam komunitas Islam umum atau Islam universal. Jaminan bahwa Allah akan memberikan pahala di sisi-Nya dan mereka tidak boleh bersedih hati adalah dalam konteks Islam universal ini, yakni mereka yang berbuat dan berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan. Dan, berbuat kebajikan inilah merupakan visi besar Islam universal yang merupakan agama para Nabi.
Berbuat kebajikan sebagai icon terbesar dalam sistem religiusitas tidak hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat ritual keagamaan semata, seperti shalat, zakat, puasa, dan ritual-ritual keagamaan atau kesalehan lain yang bersifat individual, tetapi cakupannya lebih luas dari sekadar yang disebutkan itu, bahkan kewajiban-kewajiban yang bersifat sosial juga merupakan bagian dari teologi keselamatan dalam beragama. Diktum al-Qur’an sering menyebutkan bahwa berbuat kebajikan merupakan satu-satunya syarat mutlak bagi seseorang mendapatkan keselamatan dalam beragama. Ini berarti bahwa fondasi tertinggi dalam hal keselamatan dalam beragama adalah jika seseorang berbuat kebajikan. Untuk mempertegas kembali argumentasi bahwa berbuat kebajikan merupakan icon terbesar dalam hal keselamatan beragama, akan saya kutipkan beberapa ayat al-Qur’an sebagai berikut:

Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. Al-Baqarah/2: 26)

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Maidah/5: 93)

Mereka bergirang hati dengan ni`mat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang bertakwa ada pahala yang besar. (QS. Ali Imran/3: 171-172)

Tiga ayat al-Qur’an di atas setidaknya telah memberikan gambaran bahwa sesungguhnya berbuat kebajikan merupakan hal terpenting bagi seseorang yang ingin mendapatkan keselamatan dalam beragama. Dalam konteks ini, berbuat kebajikan tidak hanya terbatas pada satu komunitas religius tertentu, tetapi harus dipahami untuk semua komunitas religius yang berkembang di dunia ini, baik agama formal, non-formal, maupun kaum sinkretis sekalipun. Sebab, berbuat kebajikan pada dasarnya adalah bersifat universal. Artinya, kebajikan itu dapat ditemukan di mana-mana, demikian juga keburukan juga ada dimana-mana. Dengan demikian, secara teologis terlalu arogan jika ada orang yang mengatakan bahwa keselamatan hanya ada dalam komunitasnya saja.
Jika kita membaca lagi beberapa ayat al-Qur’an yang telah saya kutip di atas, jelas bahwa al-Qur’an tidak menyebutkan secara spesifik bahwa hanya komunitas tertentu yang nantinya akan mendapatkan keselamatan dalam beragama. Ayat yang disebutkan pertama misalnya, dengan jelas menyebutkan bahwa semua komunitas religius, seperti komunitas pengikut Muhammad (Islam), Yahudi, Nashrani, dan Shabi’in, kesemuanya akan mendapatkan keselamatan selama mereka benar-benar beriman kepada Allah, beriman kepada hari akhir, dan yang terakhir adalah berbuat kebajikan. Demikian juga dengan dua ayat yang disebutkan terakhir, jelas bahwa berbuat kebajikan, lagi-lagi merupakan fondasi terpenting bagi seseorang yang ingin mendapatkan keselamatan dalam beragama. Artinya, hanya orang-orang yang berbuat kebajikanlah yang nantinya akan mendapatkan pahala yang besar dari Tuhan. Oleh karena itu, al-Qur’an memerintahkan kepada setiap umat beragama untuk selalu berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan (fastabiq al-khairat). Allah berfirman:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. al-Baqarah/2: 148)

Perintah “berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan” seperti yang dinyatakan dalam ayat di atas, secara khusus tidak ditujukan bagi umat atau komunitas religius tertentu, tetapi bersifat umum dan berlaku untuk semua umat manusia. Ini berarti bahwa semua manusia diberi hak yang sama bahwa mereka akan mendapatkan keselamatan selama mereka berbuat kebajikan. Dengan demikian, lagi-lagi berbuat kebajikan merupakan visi besar Islam universal yang berlaku untuk semua umat manusia.
Berbuat kebajikan sebagai visi besar islam, representasi realnya lalu ada di mana? Ini adalah pertanyaan yang harus dijawab ketika dikatakan bahwa berbuat kebajikan merupakan icon terdasar dalam hal keselamatan beragama. Dalam persepektif al-Qur’an, kebajikan disebutkan membawahi sebagai bagian dari al-khair yang meliputi: al-birr, al-amal al-shalih, al-ma’ruf dan al-khasanah. Kesemua term ini, secara substansial memiliki makna yang sama, di mana “berbuat kebajikan” mesti ada dalam dua entitas: mereka yang berbuat baik dan mereka yang dijadikan sasaran kebajikan. Dengan demikian, yang disebut berbuat baik, tentu bukan berhubungan dengan diri pribadi, tetapi menyangkut orang lain, kepada sesama, dan umat manusia.
Guna memperoleh variabel penting dalam menjelaskan orientasi dan sasaran berbuat baik, perlu dijelaskan beberapa term yang telah disebutkan di atas. Pertama, term al-birr yang selalau dilawankan dengan term al-istmu. [4] Tentang makna al-birr ini, kita baca misalnya, hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Nawas bin Sim’an al-Anshari, yang berkata sebagai berikut: “Saya bertanya kepada Rasulullah, apakah yang disebut dengan al-birr dan al-istmu?” Rasulullah menjawab: “al-birr adalah berakhlak baik, dan al-itsmu adalah apa yang dalam jiwamu (dadamu) membuat tidak tentang sama sekali dan engkau mencegah untuk ditunjukkan pada manusia”.[5]
Munurut Izutsu, term al-birr memiliki kemiripan dengan term shalih. Term al-birr ini menurutnya merupakan istilah moral dalam al-Qur’an yang paling sulit dipahami.[6] Lebih lanjut Izutsu menyebutkan bahwa QS. al-Baqarah/2: 177, merupakan sebuah definisi kontekstual yang terkait dengan term al-birr ini.[7] Allah berfirman:

Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (QS. al-Baqarah/2: 177)

Menurut ayat ini, yang menjadi unsur kebaikan yang sesungguhnya itu bukanlah masalah pindah kiblat, seperti menghadapkan wajah ke Timur dan ke Barat, tetapi yang disebut kebaikan adalah disamping berhubungan dengan kepercayaan, seperti beriman kepada Allah, beriman kepada hari kemudian, beriman kepada malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, juga berhubungan dengan kesalehan sosial, seperti memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan.
Kalimat terakhir dari ayat yang dikutip di atas, menyebutkan bahwa term al-birr berada dalam hubungan yang sangat eksplisit dengan term taqwa. Artinya, mereka yang memenuhi semua kewajiban, baik secara sosial maupun secara religius, termasuk dalam gugusan al-birr, dan karenanya pantas disebut sebagai orang beriman yang sebanar-benarnya atau bersungguh-sungguh (alladhina shadaqu) dan orang yang benar-benar bertaqwa (muttaqun).[8]
Dalam konteks al-Qur’an, berbuat baik kepada kedua orang tua dan berlaku adil, juga merupakan unsur al-birr selain menafkahkan sebagian harta yang dimiliki, membayar zakat, melakukan sembahyang, dan yang lainnya. Beberapa ayat berikut dapat memperjelas sisi praksis dari term al-birr ini, sebagai berikut:

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada al-birr (kebajikan yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. (QS. Ali Imran/3: 92)

dan rasa belas kasihan yang mendalam dari sisi Kami dan kesucian (dari dosa). Dan ia adalah seorang yang bertakwa, dan banyak berbakti (barra) kepada kedua orang tuanya, dan bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka. (QS. Maryam/19: 13-14)

Dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka. (QS. Maryam/19: 31-32)

Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Mumtahanah/60: 8)

Tentu, unsur-unsur kebajikan yang ada dalam gugusan term al-birr sebagaimana disebutkan, tidak bermaksud untuk membatasi makna term itu sendiri. Demikian juga, unsur-unsur itu tidak sedang mengatakan hal terdasar dalam berbuat kebajikan, tetapi hanya menyebutkan unsur kebajikan secara umum.
Kedua, berbuat kebajikan yang dirujuk dengan menggunakan term amal al-shalih dalam al-Qur’an disebutkan dengan menggunakan redaksi yang bervariatif. Term ini dalam banyak ayat sering digandengkan dengan term iman. Karena kedekatan term ini, maka keduanya hampir tidak dapat dipisahkan. Bahkan, antara term iman dan shalih ini laksana bayangan dengan bentuk bendanya. Di mana pun ada iman, maka di situ ada amal shalih. Untuk melihat kedekatan hubungan antara kedua term ini, kita baca misalnya, pernyataan Izutsu yang mengatakan sebagai berikut:

Bahwa ikatan yang paling kuat dari hubungan semantik yang mengikat salih dengan iman bersama-sama ke dalam satu unit yang hampir tidak dapat dipisahkan. Seperti bayang-bayang yang mengikuti bentuk bendanya, di mana pun ada iman maka terdapat salihat atau ‘perbuatan baik’, sedemikian banyaknya sehingga kita hampir dapat merasa dibenarkan untuk mendefinisikan salih dalam hubungan dengan iman, dan iman dalam kaitannya dengan salih. Secara singkat, salihat adalah ‘iman’ yang diungkapkan sepenuhnya dalam perbuatan luar.[9]

Namun demikian, term shalihat itu lebih banyak menyebut kategori umum, seperti “semoga kami dijadikan hamba yang berbuat baik”, “kumpulkanlah aku termasuk orang-orang yang berbuat baik”, “barang siapa berbuat baik, maka pahalanya untuk dirinya sendiri”, barang siapa beriman dan beramal shalih, dan lain-lain. Ayat al-Qur’an yang menggunakan term ini, tidak menjelaskan secara detail bagaimana “berbuat baik” (amal shalih) itu dalam bentuk praksis. Bahkan, ketika term amal shalih ini dipersandingkan dengan term iman, maka kelanjutan dari ayat-ayat itu lebih banyak berbicara tentang reward yang akan diterima bagi “mereka yang beriman dan berbuat kebajikan (amal shalih)”. Beberapa ayat berikut ini dapat dijadikan contoh:

Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu." Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 25)

Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 82)

Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS. al-Baqarah/2: 277)

Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, maka Allah akan memberikan kepada mereka dengan sempurna pahala amalan-amalan mereka; dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. (QS. Ali Imran/3: 57)

Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman. (QS. al-Nisa’/4: 57)

Ada satu ayat yang menggunakan redaksi amal shalih (yaitu dengan term ishlah) yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur bagaimana berbuat kebajikan itu dilakukan secara praksis. Ayat ini berbicara tentang menolong orang-orang lemah, terumata anak-anak yatim, yaitu:

Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak yatim, katakanlah: "Mengurus urusan mereka secara patut adalah baik, dan jika kamu menggauli mereka, maka mereka adalah saudaramu dan Allah mengetahui siapa yang membuat kerusakan (mufsid) dari yang mengadakan perbaikan (mushlih). Dan jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia dapat mendatangkan kesulitan kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah/2: 220)

Dalam ayat ini orang yang disebut mushlih adalah mereka yang tidak berbuat kerusakan (al-mufsid). Jadi, amal shalih dilawankan dengan al-fasadat. Sementara, orang yang berbuat kerusakan dikaitkan dengan mereka yang tidak mengurus anak-anak yatim, dalam konteks yang lebih luas adalah orang-orang lemah. Walhasil, beramal shalih dalam konteks ini adalah mereka yang mau menolong dan membebaskan orang-orang yang lemah, seperti anak yatim.
Ketiga, berbuat baik dengan menggunakan term al-ma’ruf. Term ini dalam al-Qur’an disebutkan 35 kali dan tersebar dalam 12 surat. Menurut Izutsu term ini secara harfiyah berarti ‘diketahui’, yaitu apa yang dipandang sebagai diketahui dan dikenal, dan dengan demikian secara sosial diterima. Antitesisnya, yaitu munkar, berarti apa yang tidak diterima dengan baik karena hal itu tidak diketahui dan asing.[10] Lebih lanjut ia menyatakan bahwa kata ini merupakan, dan didasarkan pada tipe moralitas suku yang asing bagi Jahiliyyah. Sebab, orang-orang Arab Jahiliyah dahulu memandang bahwa apa yang diketahui dan dikenal sebagai sesuatu yang baik, sedangkan hal yang asing dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Menurut Profesor Reuben Levy, penggunaan kata ini – lawannya munkar – dalam al-Qur’an untu baik (dan buruk), menunjukkan bahwa al-Qur’an mengadopsi terminologi moral kesukuan dan menjadikannya bagian yang integral dari sistem etika baru.[11]
Terlepas dari mana kata ini di adopsi, yang jelas dalam al-Qur’an term ini digunakan untuk makna ‘berbuat kebajikan’. Makna ini antara lain dapat dilihat dalam beberapa firman Allah berikut ini:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik (ma’ruf), dan hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara yang baik (pula). (QS. al-Baqarah/2: 178)

Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma`ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah/2: 228)

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. (QS. al-Baqarah/2: 29)

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma`ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma`ruf (pula). (QS. al-Baqarah/2: 231)

Ta`at dan mengucapkan perkataan yang baik (adalah lebih baik bagi mereka). Apabila telah tetap perintah perang (mereka tidak menyukainya). Tetapi jikalau mereka benar (imannya) terhadap Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka. (QS. Muhammad/47: 21)

Term al-ma’ruf yang terdapat dalam beberapa ayat di atas digunakan untuk menunjukkan sesuatu sikap dan perilaku yang baik atau mensikapi sebuah realitas dengan cara-cara yang baik. Cara-cara yang baik dikatakan sebagai al-ma’ruf, karena cara-cara itu diketahui dan dikenal sebagai sesuatu yang baik. Oleh karena itu, sebenarnya al-ma’ruf ini berkaitan pula dengan menciptakan sistem yang adil dan baik ketika memperlakukan orang lain. Orang yang melakukan penindasan, tentu saja sesuatu yang dianggap tidak baik, dan “sudah diketahui” bahwa cara-cara yang demikian adalah tidak baik.
Oleh karenanya pula, di beberapa ayat yang lain, term al-ma’ruf ini diperlawankan dengan al-munkar, seperti yang terdapat dalam beberapa ayat berikut ini:

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali Imran/3: 104)

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran/3: 110)

Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan mereka menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. (QS. Ali Imran/3: 114)

(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma`ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Qur'an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. al-A’raf/: 157)

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Taubah/9: 71)

Dari beberapa ayat yang saya kutip, secara eksplisit disebutkan bahwa term al-ma’ruf secara formal bertentangan dengan term al-munkar, yang secara harfiyah berarti ‘tidak diketahui’ atau ‘asing’. Dalam beberapa ayat yang dikutip itu, ada suatu penegasan bahwa Nabi dan orang-orang yang beriman diperintahkan untuk selalu mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang munkar. Dan dalam bentuk kombinasi ini, kedua istilah itu tampak mengandung ide yang umum dan komprehensif, yaitu ‘baik’ (secara religius) dan ‘buruk’ (secara religius), ma’ruf berarti tindakan apapun yang muncul dari dan sesuai dengan keyakinan yang sebenar-benarnya, dan munkar adalah perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah.[12]
Dalam QS. Ali Imran/3: 104, term al-ma’ruf yang diperlawankan dengan term al-munkar ada dalam konteks umat. Tentu, umat manusia terdiri dari banyak umat, dan bukan hanya satu. Di antara banyak umat itu, hendaknya ada di antara mereka satu umat (atau beberapa umat) yang dapat menyeru kepada kebajikan. Karena di sini ada dalam konteks umat, maka “berbuat kebajikan” yang dimaksud bukan dengan variabel yang komunal untuk khusus satu umat, misalnya shalat, puasa, atau percaya kepada Muhammad, dan seterusnya.
Jadi, memaknai term al-ma’ruf di sini harus dalam konteks membebaskan yang tertindas dan membela yang lemah, sementara al-munkar bukanlah orang yang tidak melakukan shalat, puasa atau mempercayai Muhammad, tetapi melakukan penindasan. Mengenai hal ini Khalik menulis sebagai berikut:

Variabel berbuat kebajikan dengan term al-ma’ruf karena disandingkan dengan konteks umat mestilah dimaknai dalam hal kesatuan respon ilahi, yang telah disebutkan sebagai upaya membebaskan yang tertindas dan membela yang lemah. Apa yang disebut al-munkar, akhirnya juga jelas, yaitu bukan orang yang tidak melakukan shalat, puasa atau mempercayai Muhammad, tetapi melakukan penindasan untuk menciptakan kejahatan yang tidak sensitif membela yang lemah.[13]

Dari kutipan di atas, jelas bahwa berbuat baik dengan term al-ma’ruf adalah upaya membela yang tertindas dengan menggunakan cara-cara yang baik agar tidak terjadi penindasan. Cara-cara yang baik inilah yang dikaitkan dengan sistem yang baik, dan orang yang melakukan hal itu dianggap telah berbuat baik karena telah menciptakan sistem yang adil dan tidak menindas.
Keempat, berbuat kebaikan dengan menggunakan term al-hasan atau ihsan.[14] Ayat al-Qur’an yang menggunakan term husn, al-ihsan, al-hasan, dan derivasinya sangat banyak sekali. Lagi-lagi, ayat al-Qur’an yang menggunakan term ini tidak menyebutkan secara jelas apa unsur-unsur ihsan atau husn itu. Hanya saja yang kita temukan adalah kebajikan dalam pengertian umum, seperti: “Kami tidak menghendaki kecuali kebaikan”, “demikianlah Kami membalas orang-orang muhsin”, “berlaku ihsan pada orang tua”, dan masih banyak lagi.
Menurut Izutsu, term ini digunakan dalam al-Qur’an untuk pengertian yang sangat luas. Bahkan, term ini dapat diterapkan pada hampir peristiwa apapun yang dianggap ‘menyenangkan’, ‘memuaskan’, ‘indah’, dan ‘terpuji’. Cakupan makna dari term ini, sebagaimana term al-khair, disamping berkaitan dengan kehidupan manusia yang bersifat religius juga bersifat duniawi.[15] Pemaknaan ini juga dikuatkan oleh Sayyed Husein Nasr yang menyatakan bahwa istilah ini disamping digunakan untuk makna keindahan dan kebaikan yang bersifat psikis juga keindahan secara moral atau religius.[16]
Memiliki sifat ihsan berarti memiliki sifat kedermawanan dan cinta serta hidup dalam keadaan damai di jiwa, tempat lokus Tuhan berada. Firman Allah: “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. al-Thin/95: 4) berarti dalam bentuk yang ‘seindah-indahnya’. Term yang digunakan untuk makna ‘yang sebaik-baiknya’ dalam ayat tersebut adalah ahsan yang berasal dari akar kata yang sama dengan ihsan yang maknanya adalah keindahan. Dengan demikian, lagi-lagi ayat tersebut dapat berarti “Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sindah-indahnya”.
Orang yang memiliki sifat ihsân ini, akan berpikir, berucap, dan bertingkah laku dengan ihsân pula. Secara ekspresif Nashr mengatakan sebagai berikut:

Tujuan kehidupan manusia adalah memperindah jiwa melalui kebaikan dan moral dan membuatnya sebagai persembahan yang berharga kepada Tuhan, Yang Mahaindah. Mereka yang memiliki ihsân berpikir melalui ihsan dan bertindak serta berbuat dengan ihsan. Pikiran mereka yang didasarkan pada kebenaran yang aura dan cahayanya adalah keindahan, tindakan mereka selalu didasarkan pada ihsan, yaitu kebaikan-kebaikan, dan apa yang mereka buat mencerminkan keindahan jiwa seseorang pemahat. Meiliki ihsan berarti terbuka untuk menerima Kasih Sayang dan Kemurahan Tuhan dan menjadi penyayang atau pengasih kepada orang lain. Ihsan adalah mencintai Tuhan dan mencintai makhluk-Nya karena Tuhan. Ihsan adalah kedamaian dalam jiwa seseorang, yaitu dalam kondisi keseimbangan dan harmonis dengan dunia, di dalam dan di luar. Dan ihsan adalah menyelam dalam keindahan pada semua level manifestasinya, keindahan yang membebaskan kita dari batasan-batasan eksistensi keduniawian dan yang akhirnya akan menenggalamkan kita ke dalam samudra Ketidakterbatasan Tuhan.[17]

Peryataan Nashr yang saya kutip di atas, nampaknya merujuk pada hadis Jibril tentang ihsan yang terjemahannya sebagai berikut: “Engkau menyembah Allah, seakan-akan engkau melihat-Nya, dan kalau engkau tidak melihatnya, maka sesungguhnya Dia melihat engkau”. Hadis ini tentu dapat dimaknai sebagai sikap dan perilaku seseorang yang dalam berkata dia benar dan jujur, dan dalam berbuat dia benar dan jujur pula. Oleh karena itu, ihsan dikaitkan dengan perbuatan di mana kita tidak boleh menindas, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Sebab dengan berperilaku seperti ini, sebenarnya ia telah menghadirkan Tuhan dalam dirinya sendiri. Tentu, menghadirkan Tuhan di sini dalam konteks “berbuat kebajikan” tadi. Dalam sistem religiusitas, perilaku ihsan ini merupakan puncak keberagamaan manusia.
Berdasarkan penelaahan terhadap term-term al-Qur’an yang mengulas tentang “kebajikan” ini, saya tidak ingin mendikotomikan antara satu term dengan term yang lain. Atau ingin mengambil satu atau dua term kunci untuk memaknai kebajikan secara umum. Dengan menelaah term-term itu, yang ingin saya pertegas di sini adalah bahwa sesungguhnya kebajikan itu tidak hanya mencakup persoalan yang terkait dengan kesalehan sosial, seperti upaya membebaskan orang-orang yang tertindas atau yang lemah saja, tetapi juga mencakup hal-hal yang bersifat kesalehan pribadi, seperti keimanan kepada Allah, malaikat, kitab, para nabi, shalat, puasa, dan bentuk-bentuk kebajikan ritua lainnya. Memang, bentuk-bentuk kebajikan ini jika dikaitkan dengan hadis muflis dan surat al-ma’un, bisa jadi bukanlah faktor terdasar dalam keselamatan beragama, tetapi saya tetap berkeyakinan bahwa kebajikan model ini juga mempunyai nilai yang tidak bisa diabaikan dalam konteks beragama. Sebab, jika persoalan ritual itu tidak dijadikan sebagai bagian penting dari berbuat kebajikan, lalu untuk apa umat beragama melakukan ritualnya masing-masing. Dengan demikian, berbuat baik dalam konteks ini bisa berupa tindakan pembebasan terhadap kaum tertindas, tidak mendustakan agama karena melupakan kewajiban sosial, serta kebajikan-kebajikan lain yang bersifat pribadi.
Hanya saja, yang menjadi persoalan sekarang adalah “kebajikan” yang merupakan faktor terdasar dalam keselamatan beragama ini, apakah berfungsi jika tidak dilandasi oleh iman? Artinya, apakah kebajikan yang tidak didasari oleh keimanan kepada Allah dan hari akhir juga akan menjadikan pelakunya memperoleh keselamatan sebagaimana ditegaskan dalam banyak ayat al-Qur’an? Pertanyaan ini diajukan lebih dimaksudkan untuk membedakan antara amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang “kafir” dengan orang-orang “mukmin”. Untuk memperoleh gambaran yangh jelas menganai hal ini, akan saya kutipkan beberapa firman Allah berikut:

Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. al-Baqarah/2: 217)

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi yang memang tidak dibenarkan dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka bahwa mereka akan menerima siksa yang pedih. Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong. (QS. Ali Imran/3: 21-22)

Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan mendustakan akan menemui akhirat, sia-sialah perbuatan mereka. Mereka tidak diberi balasan selain dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. al-A’raf/7: 147)

Berdasarkan ketiga ayat di atas dan ayat-ayat lain yang senada,[18] jelas bahwa amal kebajikan yang dilakukan oleh orang-orang kafir yang dengan sengaja mengingkari (kufr) terhadap Allah, hari akhir, ayat-ayat-Nya, nabi-nabi-Nya, maka semua amalan-amalan mereka akan gugur dan sia-sia belaka serta tidak akan diterima, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Amal kebajikan yang gugur itu disamping mencakup amal ibadah juga amal kebajikan lain yang bersifat sosial. Mengenai hal ini Cawidu menulis sebagai berikut:

Kalau yang dimaksud adalah orang-orang kafir murtad, maka amalan-amalan yang gugur itu meliputi amal-amal shaleh yang mereka lakukan ketika masih mukmin, baik yang menyangkut amal ibadah mahdhah maupun amal-amal kebajikan lainnya yang berhubungan dengan segi kemasyarakatan, atau kemanusiaan pada umumnya. Dan, bila yang dimaksud adalah orang-orang kafir secara mutlak, maka amal-amal yang dimaksud, tentunya, bukan menyangkut amal ibadah sebab, memang, mereka tidak memiliki amalan demikian. Jadi yang dimaksud adalah amal-amal yang mereka upayakan dalam mencari kesenangan dan kebahagiaan. Ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah amal-amal mereka yang, barangkali, bermanfaat untuk masyarakat dan kemanusiaan[19]

Pernyataan Cawidu yang saya kutip di atas, memperkuat argumentasi M. Asad yang menyatakan bahwa semua amalan baik orang-orang kafir tetap akan diperlihatkan di akhirat kelak. Akan tetapi, amal-amal itu menjadi sia-sia karena dikalahkan oleh pengingkaran (kekafiran) dan penolakan mereka terhadap adanya Allah dan hari kemudian. Dengan kata lain, kejahatan kufr mengalahkan semua amal kebajikan apa pun.[20] Pernyataan ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:

Mereka itu adalah orang-orang yang lenyap (pahala) amal-amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka sekali-kali tidak memperoleh penolong. (QS. Ali Imran/3: 22)

Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan? (QS. Hud/11: 16)

Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa tidak diterimanya amal kebajikan yang dilakuan oleh orang-orang kafir, lagi-lagi disebabkan oleh karena tidak adanya iman di dalam hatinya. Karena tidak ada iman, maka amal-amal kebajikan mereka, betapapun baiknya dan betapapun bermanfaatnya untuk masyarakt, tetap tidak akan diterima oleh Tuhan. Bahkan dalam QS. Ibrahim/14: 18, dijelaskan bahwa amalan orang-orang kafir itu bagaikan debu yang ditiuap angin kencang sehingga tidak ada yang tinggal sedikitpun. Sedangkan, dalam QS. al-Nur/24: 39, amalan mereka itu disamakan dengan fatamorgana yang tidak punya realitas sama sekali. Allah berfirman:

Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh. (QS. Ibrahim/14: 18).

Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. (QS. al-Nur/24: 39)

Oleh karena itu, amal kebajikan yang dilakukan di dunia ini haruslah didasarkan pada ‘iman’ yang benar agar dapat diterima oleh Tuhan.[21] Dan. amal kebajikan yang diterima oleh Tuhan ini, menurut Murtadha Muthahhari harus memenuhi dua syarat, yaitu al-husn al-fi’li dan al-husn al-fa’ili. Syarat yang disebutkan pertama berarti bahwa perbuatan itu sendiri baik secara obyektif dan bermanfaat untuk masyarakat serta sesuai, atau tidak bertentangan dengan perintah dan penggarisan Tuhan. Sedangkan yang disebutkan kedua, bahwa perbuatan itu timbul dari si pelaku dengan latar belakang niat yang ikhlas dan tujuan yang luhur untuk keridhaan Tuhan. Artinya, ia tetap menekankan keharusan iman kepada Allah sebagai wadah amal tetapi ditambahnya syarat niat yang ikhlas dan tujuan yang luhur. Syarat kedua ini yang akan menjadikan amal kebajikan, yang telah memenuhi syarat pertama, bisa naik ke langit dan diterima oleh Tuhan.[22]
Berdasarkan beberapa argumentasi yang saya sebutkan itu, sebenarnya yang ingin saya katakan adalah bahwa keselamatan dalam beragama, lagi-lagi tidak hanya ditentukan oleh, misalnya amal kebajikan semata, tetapi juga ditentukan oleh iman. Memang benar, bahwa “kebajikan” merupakan icon terdasar dalam keselamatan beragama, tetapi kebajikan yang tidak dilandasi oleh iman yang benar kepada Allah, maka amal kebajikan itu akan sia-sia dan tidak akan diterima oleh Allah SWT.
Walhasil, teologi keselamatan dalam beragama, lagi-lagi ditentukan oleh dua faktor terdasar, yaitu: pertama, islam yang termanifestasikan dalam bentuk “berbuat kebajikan”; dan kedua, iman yang bemuara pada keimanan kepada Allah SWT. Untuk mengakhiri tulisan ini dan sekaligus memperkuat argumentasi yang sudah saya sebutkan sebelumnya, di sini akan saya kutipkan perkatan Quraish Shihab sehubungan dengan teologi kesematan ini, yang mengatakan sebagai berikut: “Amal adalah segala hasil penggunaan daya manusia, yakni daya tubuh, daya pikir, daya kalbu, dan daya hidup. Daya-daya itu bila digunakan dalam bentuk yang shaleh, yakni bermanfaat dan disertai dengan iman yang benar dari pelakunya, maka pelakunya beramal shaleh. Merekalah yang akan memperoleh surga-surga”.[23][]
[1]Lihat, Muhammad Syahrur, Islam dan Iman: Aturan-aturan Pokok (Yogyakarta: Jendela, 2002), h. 6-7
[2]Lihat, Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran Agama: Mempopulerkan Agama Kebajikan, Menggagas Pluralisme-Pembebasan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2003), h. 127
[3]Ibid., h. 392
[4]Ibid., h. 160
[5]Lihat, Imam Muslim, Shahih Muslim…., II: 514, hadis no. 2552
[6]Lihat Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius…, op. cit., h. 150
[7]Ibid., h. 150
[8]Ibid., h. 151
[9]Ibid., h. 246
[10]Ibid., h. 257
[11]Ibid., h. 257
[12]Ibid., h. 259
[13]Nur Khalik Ridwan, Detik-detik Pembongkaran …, op. cit., h. 164-165
[14]Ibid., h. 166
[15]Lihat, Lihat Izutsu, Konsep-konsep Etika Religius…, op. cit., h. 266
[16]Lihat, Seyyed Hossein Nasr, The Heart of Islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk Kemanusiaan, terj. Nurasiah Fakih Sutan Harahap (Bandung: Mizan, 2003), h. 282
[17]Ibid., h. 283-284
[18]Lihat antara lain QS. al-Taubah/9: 17; QS. al-Kahfi/18: 104-105; QS. Muhammad/47: 1, 9; dan lain-lain.
[19]Dr. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr …, op. cit., h. 189
[20]Lihat, Muhammad Asad, The Massage of The Qur’an (Gibraltar: Dar al-Andalus, 1980), h. 314
[21]Lihat, misalnya QS. al-Nisa’/4: 124; QS. al-Nahl/16: 97; QS. al-Isra’/17: 19; QS. Taha/20: 112; QS. al-Anbiya/21: 94; QS. al-Mukmin/40: 40.
[22]Lihat, Dr. Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr …, op. cit., h. 190
[23]Lihat Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah…, I, op. cit., h. 127

Tidak ada komentar: