Selasa, 01 Juli 2008

Metode Tafsir al-Qur’an: Kerangka Metodologis-Aplikatif

Oleh Mohammad Nor Ichwan


Pada bab ini akan diperkenalkan secara global metode penafsiran al-Qur’an yang secara metodologis-praktis telah banyak dilakukan oleh para ulama terdahulu. Metode penafsiran al-Qur’an ini, sebagaimana yang pernah ditulis oleh para ulama, seperti Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi dalam al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhui dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tafsir tahlili, metode tafsir ijmali, metode tafsir muqarin, dan metode tafsir maudhu’i. Dalam tulisan ini, juga akan dibahas secara sederhana berkaitan dengan empat metode tafsir yang telah disebutkan, baik definisi, cara kerja, dan kekurangan maupun kelebihan dari masing-masing metode tersebut.

Penafsiran terhadap al-Qur’an telah tumbuh dan berkembang seirama dengan pertumbuhan dan perkembangan Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kenyataan adanya ayat-ayat tertentu yang maksud dan kandungannya tidak bisa dipahami sendiri oleh para sahabat, kecuali harus merujuk kepada Rosulullah saw. Hanya saja, kebutuhan terhadap penafsiran al-Qur’an ketika itu tidak sebesar masa-masa berikutnya.
Sejalan dengan kebutuhan umat Islam untuk mengetahui seluruh segi kandungan al-Qur’an serta intensitas perhatian para ulama’ terhadap tafsir al-Qur’an, maka bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya, baik pada masa ulama’ salaf maupun khalaf, sampai seperti sekarang ini. Keragaman itu ditunjang oleh al-Qur’an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh Abdullah Darraz dalam An-Naba’ al-Azhim:

“Apabila anda membaca al-Qur’an, maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi bila anda membacanya sekali lagi, akan anda temukan pula makna-makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Demikian seterusnya, sampai-sampai anda (dapat) menemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti bermacam-macam, semuanya benar atau mungkin benar. (ayat-ayat al-Qur’an)… bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilahkan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat”.[1]

Pendapat ini diperkokoh oleh Muhammad Arkoun, pemikir al-Jazair kontemporer, ia menulis:

“Al-Qur’an memberikan kemungkinan arti yang tidak terbatas… Kesan yang diberikannya mengenai pemikiran dan penjelasan berada pada tingkat wujud mutlak… Dengan demikian, ayat-ayatnya selalu terbuka (untuk interpretasi baru), tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal”.[2]

Kitab suci al-Qur’an bagaikan lautan yang amat luas, dalam dan tidak bertepi. Manakala para penyelam ingin menyelami kedalamannya, maka ia tidak akan sampai ke dasarnya dan tidak mengetahui hakikat isinya. Al-Qur’an senantiasa aktual sepanjang masa untuk ditafsirkan oleh para ahli tafsir dan di ta’wilkan oleh para ahli ta’wil. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam Q.S. Fushshilat/41: 53, Allah SWT berfirman:

سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي اْلأَفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ (فصلت/41: 53)

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga menjadi jelas bagi mereka bahawa Al-Quran itu adalah benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup (bagi kamu) bahwa sesungguhnya Dia menyaksikan segala sesuatu?” (Q.S. Fushshilat/41: 53)

Sejalan dengan perkembangan zaman, ilmu tafsir terus berkembang dan kitab-kitab tafsir bertambah banyak dengan berbagai macam metode dan corak tafsir, yang kesemuanya itu merupakan konsekuensi logis dari perkembangan ilmu tafsir tersebut. Berdasarkan banyaknya kitab-kitab tafsir seperti yang ada sekarang ini, kalau dipilah-pilah menurut metodologi penafsirannya, maka secara umum dapat dibagi menjadi empat macam metode penafsiran. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh ‘Abd Al-Hayy Al-Farmawy, yang mengutip pendapat Sayyid Qummi, dan juga dikutip oleh Mursi Ibrahim al-Fayumi, bahwa metode tafsir dapat dibagi menjadi empat macam, yaitu metode tahlili, metode ijmali, metode muqarin, dan metode maudlu’i.[3]

A. Metode Tahlili (Analitik)
Metode tahlili atau yang menurut Muhammad Baqir Sadr sebagai metode tajzi’i (al-ittijah al-tajzi’iy)[4] adalah suatu metode penafsiran yang berusaha menjelaskan al-Qur’an dengan menguraikan berbagai seginya dan menjelaskan apa yang dimaksudkan oleh al-Qur’an. Dimana seorang mufasir menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tertib susunan al-Qur’an mushaf Utsmani, ia menafsirkan ayat demi ayat kemudian surah demi surah dari awal surah al-Fatihah sampai akhir surah al-Nas.[5]
Di antara keempat metode tafsir al-Qur’an, metode tahlili merupakan yang paling tua, karena metode tafsir ini sudah ada sejak masa sahabat Nabi SAW. Pada awalnya para sahabat hanya menafsirkan beberapa ayat saja dari al-Qur’an, namun pada masa-masa berikutnya mereka merasakan perlunya sebuah tafsir yang mencakup keseluruhan isi al-Qur’an. Sehingga pada akhir abad ketiga dan awal abad keempat, ahli tafsir seperti Ibn Majjah, al-Thabari dan lain-lainnya mengkaji keseluruhan isi al-Qur’an.
Dalam metode ini seorang mufassir menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, ayat demi ayat dan surah demi surah, sesuai dengan urutan dalam mushaf. Ia menguraikan kosa kata dan lafadz, menjelaskan arti yang dikehendaki, sasaran yang dituju dan kandungan ayat, yaitu unsur-unsur i’jaz, balaghah dan keindahan susunan kalimat, menjelaskan apa yang dapat diistinbatkan dari ayat yaitu hukum fiqih, dalil syari’, arti secara bahasa, norma-norma akhlak, akidah atau tauhid, perintah, larangan, janji, ancaman haqiqat, majaz, kinayah, serta mengemukakan kaitan antara ayat-ayat dan relevansinya dengan surah sebelum dan sesudahnya. Untuk itu semua, ia merujuk pada sebab-sebab turun ayat (asbab al-nuzul), hadis-hadis Rusulullah SAW., dan riwayat dari para sahabat dan tabi’in.
Sudah barang tentu, ketika membicarakan pendekatan analitik dalam tafsir al-Qur’an, harus disajikan dalam bentuk yang paling lengkap dan komprehensif. Metode ini walaupun di nilai sangat luas, namun tidak menyelesaikan satu pokok masalah (bahasan), karena seringkali satu pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat lain.
Menurut Malik bin Nabi, seorang pemikir al-Jaza’ir kontemporer, bahwa para ulama menafsirkan al-Qur’an dengan metode tahlili (analitik) itu tidak lain kecuali dalam rangka upaya mereka meletakkan dasar-dasar rasional bagi pemahaman akan kemu’jizatan al-Qur’an.[6]
Kalau tujuan penggunaan metode tahlili seperti yang diungkapkan Malik bin Nabi di atas, maka terlepas dari keberhasilan atau kegagalan mereka, yang jelas untuk masyarakat muslim dewasa ini, paling tidak persoalan tersebut bukan lagi merupakan persoalan yang mendesak. Karenanya, untuk masa kini pengembangan metode untuk penafsiran menjadi amat dibutuhkan, apalagi jika kita sependapat dengan Muhammad Baqir Sadr yang menilai bahwa metode tersebut telah menghasilkan gagasan-gagasan dan konsepsi al-Qur’an yang beraneka ragam dan terpisah-pisah[7] serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Sehingga sangat sukar diidentifikasi untuk menemukan mata rantai pertautannya. Selanjutnya, akan sulit bagi kita memahami pandangan al-Qur’an terhadap lingkup aktifitas kehidupan manusia yang sangat majemuk ini.
Kelemahan lain yang dirasakan dalam tafsir-tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah bahwa bahasan-bahasannya dirasakan sebagai “mengikat” generasi berikut. Hal ini mungkin karena sifat penafsirannya amat teoritis, tidak sepenuhnya mengacu kepada persoalan-persoalan khusus yang mereka alami dalam masyarakat mereka, sehingga uraian yang bersifat teoritis dan umum itu mengesankan bahwa itulah pandangan al-Qur’an untuk setiap waktu dan tempat.[8] Dalam metode tafsir tahlili ini, menurut al-Farmawi mencakup beberapa aliran tafsir lainnya, yaitu:
1. Tafsir bi al-Ma’tsur,[9]
2. Tafsir bi al-Ra’y,[10]
3. Tafsir Sufi,[11]
4. Tafsir Fiqhi
Tafsir fiqh (fikih) adalah corak penafsiran al-Qur’an yang menitik beratkan bahasannya dan tinjauannya pada aspek hukum dari al-Qur’an. Corak tafsir jenis ini muncul bersamaan dengan munculnya tafsir bi al-ma’tsur,[12] dan keberadaanya pun sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW.[13] Semasa Nabi SAW masih hidup, para sahabat tidak merasa kesulitan dengan berbagai permasalahan yang mereka hadapi, khususnya masalah hukum, karena ketika ada kesulitan mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah dan beliau pun langsung menjawabnya. Jawaban Rasulullah ini disatu pihak merupakan tafsir bi al-ma’tsur, dan lain pihak merupakan tafsir al-fiqh. Namun setelah Rasulullah SAW wafat, ternyata banyak persoalan baru yang muncul yang sebelumnya tidak pernah terjadi pada masa Nabi SAW, maka al-Qur’an merupakan tempat kembali mereka untuk mengistinbatkan hukum-hukum syara’ bagi persoalan baru tersebut. Sementara itu, kalau mereka tidak menemukan jawaban dalam al-Qur’an atas persoalan-persoalan tersebut, mereka juga melakukan ijtihad sendiri untuk menetapkan hukum-hukum yang berkenaan dengan masalah tersebut. Dan hasil ijtihad ini kemudian disebut sebagai tafsir al-fiqh. Di antara mereka jarang terjadi perbedaan pendapat ketika menghadapi persoalan hukum yang sifatnya kontradiktif. Meskipun keadaan yang demikian merupakan awal dari perbedaan pendapat di bidang fiqh dalam memahami ayat al-Qur’an.[14] Sebagai contoh, ketika menghadapi perselisihan tentang masa ‘iddah bagi wanita hamil yang ditinggal mati suaminya, apakah ‘iddah tersebut berakhir sampai melahirkan anaknya ataukah empat bulan sepuluh hari ataukah waktu paling lama antara keduanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا (البقرة/2: 234)

“Dan mereka yang meninggal dunia di antara kamau dengan meninggalkan istri, (hendaklah istri itu) ber’iddah empat bulana sepuluh hari” (Q.S. al-Baqarah/2: 234)

وَأُوْلاَتُ اْلأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ (الطلق/65: 4)

Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan kandungan mereka” (Q.S. al-Thalaq/65: 4)

Hukum-hukum Islam yang mereka gali (stinbath) dari al-Qur’an itu akhirnya tersebar dan berkembang, serta dihafal oleh generasi berikutnya secara terus menerus, sampai datang era penghimpunan dan penyusunan. Pada era ini lahirlah orang-orang yang memperhatikan dan mengkaji produk-produk istinbath itu. Dari sini timbullah madzhab-madzhab yang berbeda-beda di kalangan umat Islam.[15] Di antara mereka membuat dasar-dasar istinbath hukum masing-masing dalam madzhabnya serta berbagai peristiwa semakin banyak dan persoalan-persoalan pun menjadi bercabang-cabang, maka semakin bertambah pula aspek-aspek perbedaan pendapat dalam memahami ayat, hal ini disebabkan perbedaan segi dalalahnya, bukan fanatisme terhadap suatu madzhab, melainkan karena setiap ahli fiqh berpegang pada apa yang dipandangnya benar. Karena itu ia tidak memandang dirinya hina untuk mengambil pendapat madzhab lain, kalau ternyata istinbath mereka terbukti kebenarannya.
Pada perkembangan selanjutnya, imam-imam madzhab itu mempunyai pengikut-pengikut yang di antara mereka ada yang fanatik terhadap madzhabnya. Mereka memahami al-Qur’an berangkat dari madzhab mereka dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan penafsiran yang sesuai dengan madzhab mereka. Dan di antara mereka ada yang tidak fanatik terhadap madzhabnya. Mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan pemikiran yang bersih dari kecenderungan dan hawa nafsu, mereka memahami dan menafsirkannya berdasarkan makna-makna yang mereka temukan dan diyakini benar.
Tafsir fiqh ini banyak ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karya imam-imam dari berbagai madzhab yang berbeda. Dari kalangan mu’tazilah lahir kitab tafsir yang fanatik terhadap madzhabnya, yaitu al-Kasyaf karya al-Zamakhsyary. Dari kalngan Hanafiyah lahir kitab tafsir yang mendukung madzhabnya, yaitu Ruh al-Ma’ani karya al-Alusy dan juga tafsir al-Nasafy. Dari kalangan Malikiyyah lahir kitab tafsir yang berorientasi kepada madzhabnya, yaitu al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthuby. Dari kalangan Syafi’iyyah lahir kitab tafsir yang cenderung kepada madzhabnya, yaitu al-Tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib) karya al-Fakh al-Razy.[16]
Di antara kitab-kitab tafsir dengan corak fiqh selain yang telah disebutkan di atas adalah karya beberapa ulama berikut ini:[17]
1. Ahkam al-Qur’an karya al-Jashshash;
2. Ahkam al-Qur’an karya al-Kaya al-Haras;
3. Ahkam al-Qur’an karya Ibn al-‘Araby;
4. Al-Iklil fi Istinbath al-Tanzil karya al-Suyuthi;
5. Al-Tafsirat al-Ahmadiyyah fi Bayani al-Ayat al-Syar’iyyah karya Mula Geon;
6. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syeikh Muhammad al-Sayis;
7. Tafsir Ayat al-Ahkam karya Syeikh Manna al-Qaththan;
8. Adhwa’ al-Bayan karya Syeikh Muhammad al-Syinqithi.

5. Tafsir Falsafi.
Yang dimaksud dengan corak tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan pendekatan-pendekatan filosofis, baik yang berusaha untuk mengadakan sintesis dan sinkretisasi antara teori-teori filsafat dengan ayat-ayat al-Qur’an maupun berusaha menolak teori-teori filasafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.[18] Corak tafsir ini muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam bidang ilmu pengetahun dan kebudayaan, dan adanya gerakan penterjemahan buku-buku asing ke dalam bahasa Arab pada masa khalifah Abbasiyyah, dimana buku-buku yang diterjemahkan tersebut kebanyakan adalah buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan juga Plato.[19] Kaum muslimin dalam menanggapi masalah ini terbagi menjadi dua kelompok:
Pertama, kelompok yang menolak terhadap ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan para filosof tersebut. Hal ini disebabkan karena di dalam buku-buku tersebut sebagiannya ada yang bertentangan dengan agama Dengan alasan itu mereka menolak buku-buku tersebut dan berusaha untuk membatalkan argumen yang digunakan di dalamnya. Di antara ulama yang gigih menolak para filosof dan filsafat adalah Hujjah al-Islam Imam Abu Hamid al-Ghazali yang mengarang kitab al-Isyarat dan kitab-kitab lain untuk menolak paham mereka. Tokoh lain yang juga menolak filsafat adalah Imam Fakhr al-Din al-Razi, yang menulis sebuah kitab tafsir untuk menolak paham mereka yang kemudian diberi judul Mafatih al-Ghaib.
Kedua, kelompok yang menerima filsafat bahkan mengaguminya. Menurut mereka, selama filsafat tidak bertentangan dengan agama Islam, maka tidak ada larangan untuk menerimanya. Mereka berusaha untuk memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan pertentangan yang terjadi antara mereka. Adapun ulama Islam yang membela pemikiran filsafat adalah Ibn Rusyd, seorang filosof terkenal berasal dari Spanyol. Dia menulis pembelaannya terhadap filsafat dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, sebagai sanggahan terhadap karya Imam al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah.[20]
Berkaitan dengan golongan yang disebutkan terakhir ini, Muhammad Husain adz-Dzahabi menanggapanya sebagai berikut:

Kami tidak pernah mendengan seorang filosof yang mengagung-agungkan filsafat mengarang sebuah kitab tafsir al-Qur’an yang lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya sebagian dari pemahaman-pemahaman mereka terhadap al-Qur’an yang berpencar-pencar dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka”.[21]

6. Tafsir Ilmiy
Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, didalamnya di dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakekat (kenyataan) ilmiyah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari, membahas dan menggalinya. Sejak zaman dahulu sebagian kaum Muslimin telah berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari ayat-ayat al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya. Mengenai hal ini Ar-Rafi’i berkata :

“Sebagian ulama kita telah nenggali dari al-Qur’an akan beberapa petunjuk yang mengarah kepada penemuan-penemuan ilmiyah, dan menyingkap dari sebagian ilmu alam yang belum banyak diketahui manusia. Mereka menguraikannya dengan uraian yang panjang lebar, tetapi bukan maksud kami untuk membicarakan masalah itu lebih jauh. Hanya saja semua itu, dalam al-Qur’an merupakan isyarat sepintas, dan kebenarannya selalu dapat di buktikan oleh ilmu pengetahuan modern….”.[22]

Usaha untuk membuktikan tentang hubungan antara ilmu al-Qur’an dan ilmu pengetahuan tidak saja dilakukan oleh ulama-ulama Muslim (intern umat Islam), tapi hal semacam ini telah dilakukan oleh para ilmuwan-ilmuwan non-Muslim atau para orientalis. Maurice Pucaille misalnya, seorang dokter bedah berkebangsaan Perancis, telah melakukan usaha yang sama. Ia tiba-tiba terkenal sebagai seorang ahli tafsir dengan bukunya “La Bible, La Coran Et La Science”, dimana buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk kedalam bahasa Indonesia.
Menurutnya al-Qur’an bukan saja dipandang dapat berbicara tentang surga dan neraka, tetapi juga tentang penemuan-penemuan ilmiyah mutakhir. Al-Qur’an seakan-akan mempunyai makna baru yang betul-betul sesuai dengan data ilmu pengetahuan modern.[23] Dan sangat tepatlah kesimpulan yang di kemukakannya bahwa dalam al-Qur’an tidak ada satu ayat pun yang bertentangan dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Sehingga popularitasnya dapat memudahkan mufasir ilmi seperti al-Baidawi, Fakhrur Razi, An-Naisaburi, danTantawi Jauhari.
Masalah penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an merupakan salah satu kemusykilan yang harus di selesaikan ketika kita membicarakan hubungan antara al-Qur’an dan ilmu pengetahuan. Tidak sedikit ulama yang pro terhadap keberadaan tafsir ilmi, begitu pula tidak sedikit ulama yang mengecamnya. Sebagian mereka berpendapat orang-orang yang terlalu bersemangat menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan adalah termasuk yang di ancam hadis Rasulullah saw, “Barang siapa memafsirkan al-Qur’an dengan ra’yunya, hendaknya mempersiapkan tempat duduknya di neraka”. Sering terjadi seorang mufasir ilmi, ketika mengetahui penemuan baru, lalu mereka cepat-cepat mencari ayat-ayat yang menunjang teori ilmu pengetahuan tersebut. Sehingga yang terjadi bukanlah ilmu pengetahuan menafsirkan al-Qur’an, tetapi justru sebaliknya, al-Qur’an yang menafsirkan ilmu pengetahuan.
Sebenarnya, membahas hubungan al-Qur;an dan ilmu pengetahuan bukan di nilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang tersimpul didalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiyah, tetapi pembahasan hendaknya di letakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai dengan logika ilmu pengetahuan itu sendiri,[24] yaitu dengan melihat adakah al-Qur’an atau jiwa-jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui hubungan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkan, tetapi juga pada sekumpulan syarat-ayarat psykologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh –baik positif maupun negatif – terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam kaitanya dengan pembahasan tafsir ilmi, dikalangan para ulama tafsir - baik ulama-ulama dahulu maupun sekarang - terdapat dua kubu yang saling kontroversial. Di satu pihak mengakui akan keberadaan tafsir ilmi dan di lain pihak menolaknya. Mereka yang mengakui tafsir ilmi berpendapat bahwa dalam al-Qur’an mencakup seluruh bentuk pengetahuan dan unsur-unsur dasar seluruh ilmu-ilmu kealaman. Sementara yang menolak tafsir ilmi berpendapat bahwa al-Qur’an adalah semata-mata kitab hidayah dan didalamnya tidak ada tempat bagi ilmu kealaman. Untuk lebih jauhnya di bawah ini akan dibahas argumen dari dari masing-masing kelompok.
1. Kelompok Yang Menerima Tafsir Ilmi
Corak tafsir ‘ilmy adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern, dimana seorang mufassir ingin menggali hubungan ayat-ayat kauniyah yang terdapat dalam al-Qur’an dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang ini. Sejauhmana paradigma-paradigma ilmiyah itu memberikan dukungan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an dan penggalian berbagai jenis ilmu pengetahuan, teori-teori baru dan hal-hal yang ditemukan setelah lewat masa turunnya al-Qur’an. Corak penafsiran ilmiyah atas ayat-ayat al-Qur’an bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Benihnya bermula pada Dinasti Abbasiyah,[25] khususnya pada masa pemerintahan kholifah al-Ma’mun.
Menurut Dr. Abd al-Majid Abd al-Salam al-Muhtasib, Imam al-Ghazali merupakan salah seorang yang paling gigih menyebarluaskan ide tafsir ilmi ditengah-tengah perkembangan ilmu pemgetahuan Islam.[26] Beliau menguraikan secara panjang lebar argumentasinya ini dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin dan Jawahir al-Qur’an. Dengan mengutip pendapat Ibnu Mas’ud ia mengatakan: “Siapa yang ingin mengetahui ilmu orang terdahulu dan kemudian renungkanlah al-Qur’an”. Menurutnya “Bagaimana mungkin kita memperolehnya dengan hanya tafsir zahirnya saja”. Lebih lanjut ia mengatakan :
“Seluruh ilmu tercakup dalam af’al Allah, dan sifat-sifat-Nya. Di dalam al-Qur’an terdapat penjelasan tentang Dzat-Nya, af’al-Nya, dan sifat-sifat-Nya. Ilmu ini tidak ada batasnya dan di dalam al-Qur;an terdapat petunjuk pada keseluruhannya. Upaya untuk mendalami perinciannya, juga kembali kepada pemahaman terhadap al-Qur’an. Semata-mata tafsir zahirnya saja, tidak menunjukkan hal itu. Bahkan tentang semua yang menyulitkan pengamat, dan yang menjadikan pertikaian dalam pandangan dan pemikiran, di dalam al-Qur’an terdapat tanda-tanda dan petunjuknya, yang hanya di fahami oleh orang yang mengerti… Ini semua menunjukkan bahwa dalam pemahaman terhadap makna al-Qur’an terdapat bidang yang luas dan lapangan yang lebar, dan bahwa membatasi al-Qur’an pada yang manqul dari tafsir zahir, bukanlah akhir pengetahuan”.[27]
Dalam kutipan di atas, dapat di pahami bahwa al-Ghazali berusaha menunjukkan kepada kita (baca: umat Islam), bahwa al-Qur’an merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak terbatas, karena di dalamnya diungkapkan af’al dan sifat-sifat-Nya, yang hanya dapat ditemukan oleh orang-orang yang memahaminya.
Lebih lanjut al-Ghazali membahas tentang pengertian menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu dalam kitab Ihya’ Ulumuddin. Menurutnya yang di maksud bukanlah membatasi tafsir al-Qur’an pada apa yang manqul dan masmu’, ia mengemukakan beberapa alasan mengenai hal ini; pertama, kalau yang manqul memang dari Rosulullah saw, kita harus menerimanya, tapi kalau hanya sekedar dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud misalnya, kita boleh saja menolak, karena tafsir mereka juga tafsir bi al-Ra’y; kedua, para sahabat mufasir juga sering berbeda pendapat dalam menafsirkan sebagian ayat-ayat al-Qur’an, semuanya tidaklah mungkin dari Nabi saw; ketiga, sesungguhnya Rosulullah saw berdo’a agar Ibnu Abbas r.a difakihkan dalam agama dan diajari ta’wil, kalau ta’wil harus selalu masmu’, apa perlunya Ibnu Abbas dikhususkan dengan do’a itu, keempat, Allah SWT berfirman : tentulah mengetahuinya, orang-orang yang menarik istinbath dari mereka (QS. 4 : 83), ini berarti bahwa ahli ilmu boleh menarik kesimpulan (istinbath), dan istinbath itu tidak mungkin masmu’; maka bolehlah orang melakukan penyimpulan al-Qur’an sesuai dengan kadar kemampuan pemahamannya dan batas akalnya.[28]
Dengan demikian apa yang dimaksudkan dengan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, menurut al-Ghazali adalah berlaku pada orang yang sudah mempunyai pikiran dan kecenderungan tertentu, kemudian mena’wilkan al-Qur’an sesuai dengan pikirannya dan keinginannya itu, supaya ada hujjah untuk membenarkan maksud-maksudnya. Penafsiran dengan ra’yu juga berlaku bagi orang yang terlalu cepat menafsirkan al-Qur’an, tanpa sama sekali memperhatikan hal-hal yang manqul, atau tanpa memahami hukum-hukum bahasa Arab, maka tidak mungkin orang memahami lebih dalam al-Qur’an tanpa memahami kandungan maknanya dalam bahasa Arab. Tak ubahnya seperti orang yang mengaku dapat memahami maksud pembicaraan orang-orang turki tetapi tidak memahami bahasa Turki.
Pendapat al-Ghazali tersebut di atas didukung oleh para mufasir ilmi lainnya, seperti Fahruddin ar-Razi dalam kitabnya Mafatih al-Gaib. Di dalamnya didapati pembahasan Ilmiyah yang menyangkut segala ilmu pengetahuan, seperti masalah filsafat, teologi, ilmu alam, astronomi, kedokteran dan lain sebagainya, sehingga sebagian ulama’ – seperti Abu Hayyan al-Andalusi – menilai kitab tafsirnya terlalu berlebih-lebihan yang mengandung sesuatu kecuali tafsir.[29]
Penilaian yang sama juga di berikan oleh Muhammad Rasyid Ridha dalam kitabnya al-Manar, dimana ia, menurut penilaian Ignaz Galziher, berusaha membuktikan bahwa al-Qur’an mencakup segala hakekat ilmiyah yang diungkapkan oleh pendapat-pendapat kontemporer pada masanya, khususnya di bidang filsafat dan sosiologi.[30] Di samping itu, hal semacam ini juga telah dilakukan oleh mufasir ilmi seperti Badr ad-Din Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi,[31] Jalaluddin as-Suyuthi,[32] Al-Baidawi,[33] dan mufasir-mufasir ilmi lainnya, baik yang tergolong dalam mufasir klasik maupun kontemporer.
Tantawi Jauhari misalnya, telah berusaha menafsirkan al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan tafsir ilmi. Di dalam menulis tafsirnya ia dimotivasi oleh karena melihat adanya keterbelakangan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Ia merasa mendapatkan panggilan Ilahi untuk menjadikan al-Qur’an sebagai petunjuk dan pendorong pengembangan ilmu. Mengenai hal ini ia menceritakan proses penulisan tafsirnya sebagai berikut :
“Hari ini aku memulai tafsirku dengan memohon pertolongan kepada Allah yang Maha Sayang dan Maha Mengetahui, mudah-mudahan Allah membukakan, dengan tafsir ini, hati manusia, memberikan petunjuk kepada umat-umat, mengangkat kabut yang menutupi mata kebanyakan kaum Muslimin, sehingga mereka mengetahui ilmu-ilmu kawniyah (alamiyah)… Mudah-mudahan kitab ini menjadi dorongan yang kuat untuk mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dan yang rendah, dan supaya muncul dari umat ini orang-orang yang melebihi orang Barat dalam bidang pertanian, kedokteran, pertambangan, matematika, geometri, ilmu falak, dan lain-lain, baik dalam bidang sains dan teknologi. Mengapa tidak, padahal dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat tentang ilmu lebih dari 750 ayat, sedangkan ayat-ayat yang jelas tentang fikih tidak lebih dari 150 ayat.
Sudah aku tuliskan dalam tafsir ini apa-apa yang dibutuhkan seorang Muslim, yaitu hukum-hukum, akhlak, dan keajaiban alam. Aku muat didalamnya keanehan sains dan keajaiban makhluk yang mendorong kaum Muslimin dan Muslimat untuk menangkap hakekat makna ayat-ayat yang jelas tentang fauna dan flora, tentang bumi dan langit….”.[34]
Usaha Tantawi Jauhari dalam menafsirkan ayat al-Qur’an dengan pendekatan tafsir ilmi ini mendapat sambutan yang baik dari berbagai kalangan ulama’ tafsir ilmi, sehingga pada masa-masa selanjutnya banyak bermunculan berbagai kitab yang mengulas secara ilmiyah, seperti halnya yang dilakukan oleh Hanafi Ahmad dengan kitabnya at-Tafsir al-Ilmi li al-Ayah al-Kawniyah, dan juga berbagai kitab lainnya yang terus bermunculan seperti sekarang ini.

2. Kelompok Yang Menolak Tafsir Ilmi
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa mereka yang menolak tafsir ilmi, oleh karena kitab suci al-Qur’an diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad saw yang selanjutkan untuk disampaikan kepada umatnya bukanlah untuk menerangkan tentang teori-teori ilmiyah, problem-problem seni serta aneka warna ilmu pengetahuan, tetapi al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia berfungsi sebagai kitab hidayah, ishlah, dan tasyri’.
Di antara salah seorang yang sangat gigih menetang terhadap keberadaan tafsir ilmi adalah Abu Ishak Ibrahim bin Musa as-Syatibi al-Andalusi dalam kitabnya al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Dia mengatakan bahwa “anna al-Qur’an lam Yasqud fih” (al-Qur’an tidak diturunkan dengan maksud tersebut).[35] Karena ulama’ salaf tentu lebih mengetahui tentang kandungan al-Qur’an, tetapi kenyataan tidak seorangpun di antara mereka yang berpendapat seperti tersebut di atas, kita –menurut as-Syatibi lebih lanjut- tidak boleh memahami al-Qur’an kecuali sebagaimana dipahami oleh para sahabat dan setingkat dengan pengetahuan mereka.
Asy-Syatibi berpendapat bahwa menggunakan ayat al-Qur’an “Tidak ada suatu ayat pun yang kami alpakan didalam al-Qur’an”, sebagai dalil untuk memperluas penafsiran ilmiyah, tidaklah dapat diterima, karena yang dimaksud dengan kata al-Kitab dalam ayat tersebut adalah Lauh Mahfuz. Lebih lanjut asy-Syatibi mengatakan mengenai hal ini :
“Menambahkan sesuatu yang tidak semestinya kedalam al-Qur’an adalah tidak boleh. Sebagaimana tidak diperbolehkan mengingkari apa yang semestinya menjadi pengertian al-Qur’an. Orang harus membatasi diri-dalam mencari referensi untuk dapat memahami al-Qur’an- pada apa yang diketahui orang-orang Arab pada masa dulu. Dengan demikian, akan sampai kepada pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at. Barang siapa yang menempuh cara selain itu, maka ia akan sesat dalam memahami al-Qur’an dan berbicara yang tidak semestinya mengenai Allah dan Rosul-Nya”.[36]
Usaha yang sama juga telah dilakukan oleh ulama’ tafsir seperti Abu Hayyan al-Andalusi,[37] yang telah mengkritik mufasir ilmi Fakhrur Razi, dimana ia menganggap tafsirnya telah menyimpang dari cakupan ilmu tafsir; juga Dr. Abd al-Majid Abdussalam al-Muhtasib, dalam kitabnya Ittijahat at-Tafsir fi al-Ashr al-Hadis, dimana setelah ia menguraikan panjang lebar tentang argumentasi yang dilontarkan oleh para ulama’ tafsir ilmi dan juga para ulama’ tafsir yang mengingkarinya, ia berkesimpulan sebagai berikut :
“Saya tidak mengakui (menginginkari) orientasi tafsir ilmi terhadap al-Qur’an. Tidak dibenarkan memaksakan ayat-ayat al-Qur’an terhadap ilmu-ilmu kealaman. Saya tidak setuju kepada orang-orang yang berusaha mengambil teori-teori ilmiyah dari ayat-ayat al-Qur’an. Sesungguhnya al-Qur’an al-Karim bukanlah kitab ilmu pengetahuan seperti kimia, ilmu atom, geometri, ilmu falak, ilmu fisika, dan lain sebagainya. Hanya saja, al-Qur’an diturunkan Allah kepada nabi Muhammad saw agar menjadi kitab hidayah, dan rahmat bagi manusia…”.[38]
Lebih lanjut al-Muhtasib menguraikan kritiknya terhadap tafsir ilmi dengan mengatakan :
“Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’an tidak bertentangan - dan tidak akan bertentangan - dengan hakekat ilmu pengetahuan yang diterima oleh akal. Cukuplah bagi kita bahwa al-Qur’anlah yang membuka pintu akal kaum Muslimin, mendorong mereka mentadabburi, menafakkuri, merenungkan, membahas, memikirkan,dan mendalami ilmu pengetahuan (sains). Cukuplah bagi kita bahwa orang-orang yang kitab sucinya al-Qur’an telah hidup bersama ilmu dalam suasana harmoni dan kasih sayang, sementara pengikut kitab agama lain telah menjadi tonggak keras yang menghadang ilmu dan para ilmuwan di abad pertengahan, yang menyebabkan salah seorang pemikir sesat berkata : “Agama adalah candu rakyat”.[39]
Barangkali kritik yang paling tajam yang dilontarkan kepada para mufasir ilmi adalah apa yang telah dilakukan oleh Dr. Mahmud Syaltut[40] dalam kitabnya Tafsir al-Qur’an al-Karim, pada bagian muqaddimahnya ia menulis bahwa ada dua segi yang harus di jauhi atau dibersihkan dalam menafsirkan al-Qur’an; pertama, menta’wilkan al-Qur’an menurut pendirian berbagai aliran mazhab; dan kedua, menafsirkan al-Qur’an atas dasar teori-teori ilmiyah. Hal ini – kata Mahmud Syaltut lebih lanjut – karena Allah SWT tidak menurunkan al-Qur’an kepada manusia dengan tujuan menyajikan teori-teori ilmiyah, teknologi, yang rumit-rumit dan bermacam-macam ilmu pengetahuan.[41]
3. Kelompok Yang Moderat Terhadap Tafsir Ilmi
Dari pembahasan di atas, tampak bahwa ulasan atau argumen yang di kemukakan oleh al-Ghazali tentang kandungan al-Qur’an yang mencakup segala ilmu pengetahuan, sangatlah berlebih-lebihan dan agaknya sukar untuk difahami, karena meskipun diyakini ilmu tuhan tidak terbatas, namun apakah seluruh ilmu-ilmu-Nya telah dituangkan dalam al-Qur’an?. Dan apakah setiap kata yang menyangkut disiplin ilmu telah merupakan bukti kecakupan pokok disiplin ilmu tersebut di dalamnya?. Hal ini tentulah berbeda antara ilmu dan kalam, karena tidak semua yang di ketahui itu diucapkan.
Demikian juga apa yang dikemukakan oleh as-Syatibi di atas, juga sukar untuk difahami, karena bagi kita yang hidup sekarang ini, tidak mungkin memahami al-Qur’an sebagaimana pemahaman para sahabat dan orang-orang dahulu kala. Kita berkewajiban memahami al-Qur’an sesuai dengan masa sekarang ini sebagaimana wajibnya orang-orang dahulu (Arab) yang hidup dimasa dakwah Muhammad saw. Di sisi lain, orang Muslim diperintahkan al-Qur’an untuk mempergunakan akal pikirannya serta mencemooh mereka yang hanya mengikuti orang-orang tua dan nenek moyangnya (taqlid buta).
Barangkali argumen yang dikemukakan oleh Abbas Mahmud al-Aqqad dapat dijadikan sebagai jalan tengah untuk mendudukkan dua pendapat yang saling kontroversial tersebut. Mengenai hal ini ia mengatakan :
“Al-Qur’an tidak membutuhkan pernyataan seperti itu, karena ia adalah kitab yang berbicara dengan perasaan manusia. Yang terbaik diminta dari kitab aqidah mengenai soal ilmu pengetahuan adalah bahwa kitab itu mendorong manusia untuk berfikir dan mengandung ketentuan hukum yang melumpuhkan aktifitas akal, serta tidak merintanginya dalam usaha memperoleh tambahan ilmu pengetahuan sebatas kesanggupannya. Adalah keliru kalau kita memandang teori-teori ilmiyah sebagai kebenaran permanen yang terkandung didalam makna ayat-ayat al-Qur’an karena teori-teori ilmiyah tidak selamanya tetap mantap sepanjang penggantian generasi”.[42]
Dalam kaitannya dengan ini, al-Aqqad memberikan contoh ayat 30 surat al-Anbiya’, yang ilmuwan Muslim dipahami sebagai berbicara tentang kejadian alam raya. Menurutnya, setiap orang bebas memahami kapan dan bagaimana terjadinya pemisahan itu, tetapi ia tidak dibenarkan mengatasnamakan al-Qur’an menyangkut pendapatnya, karena al-Qur’an tidak menguraikannya.
Pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Sheh Mustafa al-Maraghi dalam pengantar kitab “Al-Islam wa At-Tib al-Hadis” karya Abd al-Azis Ismail Pasya, ia mengatakan:
“Bukanlah maksud saya untuk mengatakan bahwa kitab suci ini mencakup seluruh ilmu pengetahuan (sains) baik secara rinci atau ringkas, dengan gaya buku teks-teks. Hanya saja saya mengatakan bahwa al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip ilmu, dalam artian seorang dapat menurunkan seluruh pengetahuan tentang perkembangan fisik dan spiritual manusia yang ingin diketahuinya dengan bantuan-bantuan prinsip-prinsip terserbut, adalah kewajiban para ilmuwan yang terlibat dalam berbagai sains itu untuk menjelaskan rincian yang diketahui pada masanya kepada masyarakatnya… Adalah penting untuk tidak memperluas makna ayat sejauh itu agar kita dapat menafsirkannya dalam sorotan sains, juga seorang tidak boleh melebih-lebihkan penafsiran fakta-fakta ilmiyah, sehingga dapat cocok dengan ayat al-Qur’an. Bagaimanapun, jika makna lahiriyah ayat itu konsisten dengan sebuah fakta ilmiyah yang telah mantap, kita menafsirkannya dengan bantuan fakta itu”.[43]
Tidak ada salahnya bagi kita untuk mengakui cahaya-cahaya ilmu yang mengungkapkan kepada kita tentang hikmah-hikmah dan rahasia yang dikandung oleh ayat-ayat kawniyah, mengingat ayat-ayat itu tidak hanya dapat dipahami seperti pemahaman bangsa Arab, karena al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia kapan dan dimanapun dia berada. Masing-masing orang dapat menggali sesuatu dari al-Qur’an, sebatas kemampuan dan kebutuhannya, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan tujuan pokok al-Qur’an, yaitu sebagai tuntunan. Banyak hikmah didalamnya yang jika dikaji akan jelaslah rahasia-rahasianya, tampaklah cahayanya dan mampu menjelaskan rahasia kemu’jizatannya.

7. Tafsir Adabi al-Ijtima’i
Corak tafsir al-adabi al-ijtima’i (sosial kemasyarakatan) adalah suatu cabang dari tafsir yang muncul pada masa modern ini, yaitu corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur’an dengan cara pertama dan utama mengemukakan ungkapan ungkapan al-Qur’an secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh al-Qur’an tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian seorang mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur’an yang dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada.[44] Sementara itu menurut adz-Dzahabi, yang dimaksud den gan tafsir al-adabi al-ijtima’i adalah corak penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan ketelitian ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan menekankan tujuan pokok diturunkannya al-Qur’an, lalu mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan perkembangan masyarakat.[45]
Jenis tafsir ini muncul sebagai akibat dari ketidak puasan para mufassir yang memandang bahwa selama ini penafsiran al-Qur’an hanya didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada nahwu, bahasa, dan perbedaan-perbedaan madzhab, baik dalam bidang ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, sufi, dan lain sebagainya, dan jarang sekali dijumpai tafsir al-Qur’an yang secara khusus menyentuh inti al-Qur’an, sasaran dan tujuan akhirnya.
Secara operasional, seorang mufassir jenis ini dalam pembahasannya tidak mau terjebak pada kajian pengertian bahasa yang rumit, istilah-istilah ilmu dan teknologi, kecuali jika dirasakan sangat dibutuhkan. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana dapat menyajikan misi al-Qur’an kepada pembacanya. Dalam tafsirnya mereka berusaha mengaitkan nash-nash al-Qur’an dengan realitas kehidupam masyarakat, tradisi sosial dan sistem peradaban, yang secara fungsional dapat memecahkan persoalan umat.
Menurut Muhammad Husain adz-Dzahabi, bahwa corak penafsiran al-adabi al-ijtima’i -- terlepas dari kekurangannya -- berusaha mengemukakan segi keindahan (balaghah) bahasa dan kemukjizatan al-Qur’an, menjelaskan maakna-makna dan sasaran-sasaran yang dituju oleh al-Qur’an, mengungkapkan hukum-hukum alam yang agung dan tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, membantu memecahkan segala problem yang dihadapi umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya melalui petunjuk dan ajaran al-Qur’an yang karenanya dapat diperoleh kebaikan dunia dan akhirat, serta berusaha mempertemukan antara al-Qur’an dengan teori-teori ilmiah yang benar. Di dalamnya juga berusaha menjelaskan kepada umat manusia bahwa al-Qur’an itu adalah Kitab Suci yang kekal, yang mampu bertahan sepanjang perkembangan zaman dan kebudayaan manusia sampai akhir masa, juga berusaha melenyapkan kebohongan dan keraguan yang dilontarkan terhadap al-Qur’an dengan argumen yang kuat yang mampu menangkis segala kebathilan, sehingga jelas bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar.[46]
Adapun penggagas corak tafsir jenis ini adalah Muhammad Abduh, tokoh pembaharu terkenal asal Mesir, dengan kitab tafsirnya al-Manar yang disusun dengan muridnya Muhammad Rasyid Ridha. Di antara kitab tafsir yang ditulis dengan corak al-adabi al-ijtima’i selain tafsir al-Manar adalah: Tafsir al-Qur’an karya Syeikh Ahmad al-Maraghi; Tafsir al-Qur’an al-karim karya Syeikh Mahmud Syaltut; Tafsir al-Wadhih karya Syeikh Muhammad Mahmud Hijazy.

B. Metode Ijmali (global)
Metode tafsir ijmali adalah menafsirkan makna-makna ayat-ayat al-Qur’an dengan secara singkat dan global, dengan menjelaskan makna yang dimaksud pada setiap kalimat dengan bahasa yang ringkas sehingga mudah difahami. Sebenarnya dalam metode ini mempunyai kesamaan dengan metode tahlili, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urut-urutan ayat, sebagaimana urutan dalam mushaf.
Perbedaannya dengan metode tahlili adalah dalam tafsir ijmali makna ayat yang diungkapkan secara global dan ringkas, sedang dalam tafsir tahlili, makna ayat diuraikan secara terinci dengan tinjauan dari berbagai segi dan aspek yang di ulas secara panjang lebar. Dalam tafsir ijmali dapat digunakan ilmu-ilmu bantu seperti menggunakan hadis-hadis Nabi SAW., pendapat kaum salaf, peristiwa sejarah, asbab al-nuzul, dan kaedah-kaedah bahasa.[47]
Kelemahan dari jenis tafsir ini adalah uraiannya yang terlalu singkat dan ringkas, sehingga tidak dapat menguak makna-makna ayat secara luas dan tidak dapat menyelesaikan masalah dengan tuntas. Sedang keistimewaan dari tafsir jenis ini adalah dapat dikonsumsi oleh lapisan dan tingkatan kaum muslimin secara merata.
Di antara kitab-kitab tafsir dengan metode ini adalah:
1. Tafsir al-Jalalain karya Jalal al-Din al-Suyuthi dan Jalal al-Din al-mahally;
2. Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Muhammad Farid wajdy;
3. Shafwah al-Bayan li Ma’aniy al-Qur’an karya Husanain Muhammad Makhlut;
4. Tafsir al-Qur’an karya Ibn Abbas, yang dihimpun oleh al-Fairuz Abady;
5. Al-Tafsir al-Washith karya Commite Ulama (Produk Lembaga Pengkajian Universitas Al-Azhar);
6. Al-Tafsir al-Muyassar karya Abd al-Jalil Isa;
7. Al-Tafsir al-Mukhtashar karya Commite Ulama (produk Majlis Tinggi Urusan Ummat Islam).

C. Metode Muqarin (perbandingan)
Yang dimaksud dengan metode tafsir jenis ini adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an atau surah tertentu dengan cara membandingkan ayat dengan ayat, atau antara ayat dengan hadis, atau antara pendapat-pendapat para ulama’ tafsir dengan menonjolkan segi-segi perbedaan tertentu dan obyek yang dibandingkan itu.[48]
Dalam menggunakan metode ini, seorang mufasir dapat menempuh langkah-langkah sebagai berikut: pertama, seorang mufasir mengambil sejumlah ayat-ayat al-Qur’an; kedua, mengemukakan penafsiran para ulama tafsir terhadap ayat-ayat tertentu, baik mereka itu termasuk ulama salaf maupun ulama khalaf, baik penafsiran mereka berdasarkan riwayat yang bersumber dari Rosulullah SAW., para sahabat dan tabi’in, (tafsir bi al-ma’tsur) atau berdasarkan rasio (tafsir bi al-ra’y); ketiga, mengungkapkan pendapat mereka serta membandingkan segi-segi dan kecende-rungan-kecenderungan masing-masing yang berbeda dalam menafsirkan al-Qur’an, kemudian menjelaskan siapa diantara mereka yang penafsirannya dipengaruhi oleh perbedaan madhab, siapa diantara mereka yang penafsirannya ditujukan untuk melegitimasi suatu golongan tertentu atau mendukung aliran tertentu dalam Islam, dan yang terakhir, memberi komentar berdasarkan apa yang ditulisnya, apakah termasuk tafsir makbul ataukah tafsir yang tidak makbul.[49]
Dalam hal ini seorang mufasir dituntut mampu menganalisis pendapat-pendapat para ulama tafsir yang dikemukakan untuk kemudian mengambil sikap menerima penafsiran yang dinilai benar dan menolak penafsiran yang tidak dapat diterima oleh rasio, serta menjelaskan kepada pembaca alasan dari sikap yang diambilnya.

D. Metode Maudhu’i (Tematik)
Metode tafsir maudhu’i atau yang menurut Muhammad Baqir Shadr sebagai metode al-Taukhidiy[50] adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-Qur’an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur’an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat yang lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.[51]
Dari pengertian tersebut di atas dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir jenis ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat al-Qur’an yang mengenai sesuatu judul/ tema tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai dengan sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari segala seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan yang benar yang membahas topik/tema yang sama, sehingga lebih mempermudah dan memperjelas masalah, karena al-Qur’an banyak mengandung berbagai macam tema pembahasan yang perlu dibahas secara maudhu’i, agar supaya pembahasannya bisa lebih tuntas dan lebih sempurna.
Mursyi Ibrahim al-Fayumi, membagi metode ini menjadi dua,[52] yaitu pertama, tafsir surah, yaitu menjelaskan suatu surah secara keseluruhan dengan menjelaskan isi kandungan surah tersebut, baik yang bersifat umum atau khusus dan menjelaskan keterkaitan antara tema yang satu dengan yang lainnya, sehingga surah itu nampak merupakan suatu pembahasan yang sangat kokoh dan cermat, kedua, tafsir tematik, yaitu menghimpun sejumlah ayat al-Qur’an yang mempunyai kesamaan tema kemudian membahasnya secara mendetail.
Menurut Dr. Al-Farmawy, pencetus dari metode tafsir ini adalah Syeh Muhammad Abduh, kemudian ide-ide pokoknya diberikan oleh Syeh Mahmud Syaltut, lalu diintroduksikan secara kongrit oleh Prof. Dr. Sayyid Ahmad Kamal al-Kumi. Al-Kumi mengintroduksikan metode tafsir jenis ini dalam bukunya yang berjudul Al-Tafsir al-Maudhu’i. Mengenai tafsir ini al-Kumi, yang selanjutnya dikutip oleh Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, mengatakan:

“Era dimana kita hidup adalah era ilmu dan kebudayaan; era yang membutuhkan kepada metode maudu’I yang dapat mengantarkan kita untuk sampai kepada suatu maksud dan hakekat suatu persoalan dengan cara yang paling mudah. Terlebih-lebih pada masa kita sekarang ini telah banyak bertaburan “debu-debu” terhadap hakekat agama-agama, sehingga tersebar-lah doktrin-doktrin komunisme, atheisme dan lain-lain, serta “langit” kehidupan manusia telah dipenuhi oleh awan kesesatan dan kesamaran. Untuk menghadapi kondisi yang demikian ini, tidak ada lain kecuali harus dipergunakan suatu “senjata” yang kuat, jelas dan mudah, yang memungkinkan bagi tokoh-tokoh agama untuk membela “telaga-telaga” agama dan mempertahankan tiang-tiang agama. Persoalan itu tidak mungkin bisa diatasi kecuali dengan metode tafsir maudhu’i yang dapat diterapkan untuk bermacam-macam tema dalam al-Qur’an dan meliputi segala seginya”.[53]

Kemudian pada 1977, Prof. Dr. ‘Abd al-Hayy al-Farmawy yang menjabat sebagai guru besar pada Fakultas Ushuluddin al-Azhar, menerbitkan buku dengan judul “al-Bidayah Fi Tafsir al-Maudh’i”, didalam bukunya ia mengemukakan secara terperinci tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menerapkan metode maudh’i ini, langkah-langkah tersebut adalah:
1. Menetapkan masalah yang akan di bahas (topik);
2. Menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji, baik surah makiyyah maupun madaniyah;
3. Menentukan urutan ayat-ayat yang dihimpum itu sesuai dengan masa turunnya, disertai dengan pengetahuan tentang asbab al- nuzulnya;
4. Menjelaskan munasabah atau kolerasi antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratnya dan kaitannya ayat-ayat itu dengan ayat-ayat sesudahnya;
5. Membuat sistematika kajian dalam kerangka yang sistimatis dan lengkap dengan out linenya yang mencakup semua segi dari tema kajian;
6. Mengemukakan hadis-hadis Rosulullah SAW., yang berbicara tentang tema kajian;
7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am dan yang khas, mutlak dan muqayyad atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan;
8. Menyusun kesimpulan-kesimpulan yang menggambarkan jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.[54]
Adapun keistimewaan dari metode tafsir jenis ini adalah: pertama, merupakan cara terpendek dan termudah menggali hidayah al-Qur’an dibandingkan metode tafsir lainnya; kedua, menafsirkan ayat dengan ayat sebagai cara terbaik dalam tafsir ternyata diutamakan oleh metode maudhu’i; ketiga, dapat menjawab persoalan-persoalan hidup manusia secara praktis dan konsepsional berdasarkan petunjuk al-Qur’an; keempat, dengan menghimpun berbagai ayat dalam masalah tertentu dapat dihayati ketinggian fashahahnya dan balaghah; kelima, dengan studi maudhu’i ayat-ayat yang kelihatan bertentangan dapat dipertemukan dan didamaikan dalam satu kesatuan yang harmonis.
Dari uraian diatas, yaitu dengan adanya beraneka jenis metode tafsir al-Qur’an merupakan suatu konsekuensi logis dari upaya untuk memahami dan mendalami ayat-ayat al-Qur’an. Ini akan berlangsung sampai sekarang ini, bahkan yang akan datang.

Catatan Akhir:

[1]Dikutip dari Dr. M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1993, hlm. 16
[2]Ibid.
[3]Lihat Abd al-Hayy al-Farmawiy, Al-Bidayah fi Tafsir al-Maudhu’i, Maktabah Jumhuriyah, Mesir, 1977, hlm. 23; juga Dr. Mursyi Ibrahim al-Fayumi, Dirasah fi Tafsir al-Maudhu’i, Dar al-Taufiqiyah, Cairo, 1980, hlm. 9; juga Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, terj. Ahmad Akrom, Rajawali Pers, Jakarta, 1994, hlm. 40
[4]Tafsir tazi’i secara harfiyah dapat diartikan sebagai tafsir yang menguraikan secara bagian perbagian, atau tafsir secara parsial. (Lihat Muhammad Baqir Sadr, Al-Madrasah al-Qur’aniyah, Dar al-Ta’aruf wa al-Mathbu’at, Libanon-Beirut, 1399 H, hlm. 9)
[5]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit, 24; Dr. Mursy Ibrahim, op. cit., hlm. 9
[6]Dikutip dari Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 86
[7]Muhammad Baqir al-Sadr, op. cit., hlm. 13
[8] Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 87
[9]Uraian tentang tafsir bi al-ma’tsur secara komprehensif dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya pada bab tentang tafsir dan ta’wil.
[10]Uraian tentang tafsir bi al-ra’y juga dapat dilihat selengkapnya pada bab tafsir dan ta’wil
[11]Uraian tentang corak tafsir sufi dapat dilihat pada pembahasan tentang tafsir al-isyari pada bab sebelumnya, yaitu tafsir dan ta’wil.
[12]Lihat lebih lanjut Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 18; juga Dr. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 59
[13]Lihat Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., hlm. 17
[14]Lihat lebih lanjut Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’aan, Manshurat al-‘Ashr al-Hadits, t.th., hlm. 376
[15]Lihat Dr. ‘Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 59
[16]Ibid., hlm. 60
[17]Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 377
[18]Harifuddin Cawidu, Metode dan Aliran Dalam tafsir, Pesantren No. I/Vol. VIII/1991, hlm. 9
[19]Lihat Dr. Ali Hasan al-Aridl, op. cit., hlm. 61; juga Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., 19
[20]Lihat ibid.
[21]Lihat Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit. Hlm. 19
[22]Ahmad as-Syirbasyi, Qishah al-Tafsir, Dar al-Qalam, Beirut, 1962, hlm. 122
[23]Lihat Dr. Maurice Bucaille, Bible, Qur’an, dan Sains Modern, terj. HM. Rosyidi, Bulan Bintang, Jakarta, 1979, hlm. 251
[24]Lihat Dr. M. Quraish Shihab, op. cit., hlm. 41
[25]Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib, Ittijahat al-tafsir fi ‘Ashr al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut, 1393 H, hlm. 245
[26]Ibid., hlm. 247
[27]Abu Hamid Muhammad al-Gazali, Ihya’ Ulum al-Din, Jilid I, Dar al-Fikr, Beirut, 1989, hlm. 341
[28]Ibid., hlm. 342-343
[29]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 251-252
[30]Ignaz Golziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamiy, as-Sunnah al-Muhammadiyah, Cairo, 1995, hlm. 375
[31]Imam Badr al-Din Muhammad Bin Abd Allah al-Zarkasyi, Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, Jilid. II, Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyyah, Cairo, 1957, hlm. 153-155
[32]Jalal al-Din al-Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Qur’an, Dar al-Fikr, Damaskus, 1979, hlm. 125-126
[33]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 252-253
[34]Tanthawi al-Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Mathbaah Musthafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1350 H, hlm. 3
[35]Lihat al-Muhtasib, op. cit., hlm. 300
[36]Ibid., hlm. 301
[37]Ibid., hlm. 295-296
[38]Ibid., hlm. 314
[39]Ibid., hlm. 323
[40]Prof. Dr. Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’an al-Karim, terj. Hussein Bahreisiy dan Drs. Herry Nor Ali, Diponegoro, 1989, hlm. 27
[41]Ibid., hlm. 34
[42]Abbas Mahmud al-Aqqad, Falsafah al-Qur’aniyah, Al-Lajnah li Ta’lim wa al-Tarjamah wa al-Nashr, Cairo, 1947, hlm. 183-184
[43]Dr. Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains Menurut al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1991, hlm. 143
[44]Lihat Dr. Mursyi Ibrahim al-Fayumi, op. cit., hlm. 21-22; juga Dr. Abd al-Hayy al-farmawi, op. cit., hlm. 28
[45]Dikutip dari Prof. Dr. Quraish Shihab, et. al, Sejarah dan Ulum al-Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1999, hlm. 184
[46]Lihat Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 28; juga Dr. Ali Hasan al-Aridl, op. cit., hlm. 71-72
[47]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 22-23
[48]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 45
[49]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 24
[50]Muhammad Baqir al-Sard, op. cit., hlm. 12
[51]Dr. Abd al-Hayy al-Farmawi, op. cit., hlm. 52
[52]Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 25
[53]Dr. Ali Hasan al-‘Aridl, op. cit., hlm. 91
[54]Dr. Abd al-Hayy al-Faramawi, op. cit., hlm. 62; juga Dr. Mursyi Ibrahim, op. cit., hlm. 43-44

Tidak ada komentar: