Senin, 23 Juni 2008

Kesetaraan Gender Dalam Tafsir Indonesia

KESETARAAN GENDER DALAM TAFSIR INDONESIA MODERN
Oleh Mohammad Nor Ichwan

A. Kesetaraan Dalam Penciptaan
Secara umum, diktum al-Qur’an menyebutkan bahwa penciptaan manusia dapat dibedakan menjadi empat macam kategori, yaitu (1) manusia diciptakan dari tanah (kasus Adam); (2) diciptakan dari tulang rusuk Adam (kasus Hawa). (3); diciptakan melalui kehamilan tanpa ayah (kasus Isa); (4) diciptakan melalui proses reproduksi lewat hubungan biologis antara suami-istri (manusia pada umumnya.
Ketiga bentuk penciptaan yang disebutkan pada poin 1, 3 dan 4, tidak ada perbedaan pendapat yang serius, baik dikalangan ahli tafsir maupun para feminis. Namun, untuk yang disebutkan kedua, yakni penciptaan melalui tulang rusuk Adam, yang dalam kasus ini adalah Hawa, sampai sekarang masih diperdebatkan, khususnya bagi para praktisi gender atau kaum feminis dan juga orang-orang yang sensitif gender. Sebab, konsep yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam ini tidak saja berimplikasi pada sebuah pemahaman yang bias gender, tetapi juga berimplikasi secara psikologis, sosial, budaya, ekonomis dan bahkan politik. Artinya, secara kualitas Adam (laki-laki) lebih unggul dibandingkan dengan Hawa (perempuan).
Beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan masalah ini tidak menyebutkan secara jelas dan terperinci tentang proses penciptaan Hawa. Diktum al-Qur’an hanya menyebutkan bahwa “daripadanya (nafs wahidah), Dia menciptakan istrinya” (wa khalaqa minha zaujaha). Untuk lebih memperjelas masalah ini akan saya kutipkan beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan masalah ini, sebagai berikut:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. Al-Nisa’/4: 1).[1]

Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah dalam hal ini tidak menyebutkan secara kronologis tentang proses penciptaan perempuan pertama itu. Diktum al-Qur’an, lagi-lagi hanya menyebutkan bahwa “daripadanya, Dia menciptakan pasangannya”. Setidaknya, dalam konteks ini ada tiga hal penting yang memicu polemik di antara para mufassir ketika memahami beberapa ayat di atas, yaitu term nafs wahidah (diri yang satu); objek yang ditunjuk dengan kata minha (darinya); dan term zaujaha (pasangan).
Kontroversi disekitar penciptaan perempuan pertama ini setidaknya telah melahirkan dua pola pemahaman yang berbeda secara diametral. Pertama, bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Pengusung pendapat ini antara lain Imam al-Thabari. Menurutnya, yang dimaksud dengan term nafs wahidah yang terdapat dalam QS. Al-Nisa’/4: 1, adalah Nabi Adam, sementara term zaujaha diartikan sebagai Hawa. Pendapatnya itu didasarkan pada sebuah riwayat yang berasal dari Qatadah, al-Sadi dan Ibn Ishaq yang menyatakan bahwa Hawa diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam sebelah kiri ketika dia sedang tidur.[2]
Pendapat al-Thabari di atas diamini mufassir lain seperti al-Alusi dan Ibn Katsir, al-Zamakhsyari, al-Qurtubi, dan juga al-Maraghi. Argumen mereka itu antara lain didasarkan pada sebuh hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah sebagai berikut:

“Saling berpesanlah kalian untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk. Sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atasnya. Kalau engkau luruskan tulang yang bengkok itu, engkau akan mematahkannya, tetapi kalau engkau biarkan, dia akan tetap bengkok. Maka sekali olagi saling berpesanlah kalin untuk berbuat baik kepada perempuan” (HR. Bukhari dan Muslim).[3]

Kedua, bahwa Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan sebagai makhluk yang diciptakan dari jenis (jins) yang sama dengan Adam. Artinya, Hawa juga diciptakan dari tanah yang merupakan unsur utama dalam penciptaan Adam. Pendapat ini, antara lain dikemukakan oleh Abu Muslim al-Isfahani yang menyatakan bahwa maksud kalimat “wa khalaqa minha zaujaha” pada ayat tersebut adalah bahwa Allah menciptakan Hawa dari jenis yang sama dengan Adam.[4] Pendapat senada juga dikemukakan oleh al-Razi. Dengan mengutip pendapat Isfahani, dia menyatakan bahwa dhamir (kata ganti) ha pada kata minha (dari padanya) pada ayat di atas, bukan merujuk pada Adam, melainkan “dari jenis” Adam, yaitu tanah.[5]
Pendapat senada juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rashid Ridha. Sedikitnya ada dua alasan mendasar yang dikemukakan Abduh untuk menolak pemahaman yang menyatakan bahwa maksud nafs wahidah dalam ayat tersebut berarti Adam.[6] Pertama, ayat itu diawali dengan kalimat ya ayyuha al-nas (wahai sekalian manusia). Artinya, ayat ini ditujukan kepada seluruh umat manusia. Dengan demikian bersifat universal. Sementara itu, Adam tidak diakui secara universal sebagai manusia pertama. Oleh karenanya, pengertian min nafs wdhidah dalam ayat ini, seharusnya juga diakui secara universal.
Kedua, jika yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Adam (sebagai kata ma’rifah), mengapa lanjutan ayat itu menggunakan bentuk nakirah pada kata rijal dan nisa’ pada kalimat wa bassa minhuma rijalan katsira wa nisa’an? Oleh karena itu, jika memang yang dimaksud dengan nafs wahidah adalah Adam, maka kedua kata itu seharusnya juga diungkapakan dengan bentuk ma’rifah.
Gagasan tentang asal-usul perempuan dari jenis yang sama dengan Adam ini juga diikuti oleh para feminis Indonesia. Dengan mengutip Riffat Hassan dan Fatima Mernissi, Zaitunah dalam bukunya, Tafsir Kebencian, mengklaim bahwa pen­dapat kedualah yang lebih rasional. Menurutnya, kata Adam dalam istilah bahasa Ibrani berarti ‘tanah’ – berasal dari kata Adamah – sebagian besar berfungsi sebagai istilah generik untuk manusia, bukan menyangkut jenis kelamin. Untuk memperkuat pendapatnya ini, dia lalu mengutip QS. Al-Isra’/17: 70 dan QS. Al-Tin/ 95: 4.2.
Nasaruddin Umar dalam Argumen Kesetaraan Jender juga berpandangan yang sama. Bahkan ia secara kritis memberikan analisis tentang term nafs dalam al-Qur’an dengan pendekatan linguistik. Menurutnya, term nafs yang terulang 295 kali dalam Al-Quran, dengan pelbagai bentuknya, tidak satu pun yang dengan tegas menunjuk kepada pengertian Adam. Kata nafs, dalam Al-Quran kadang berarti jiwa (QS Al-Ma'idah/5: 32), nafsu (QS. Al-Fajr/89: 27), nyawa/roh (QS. Al-‘Ankabut/29: 57), dan asal-usul binatang (QS. Syura/42: 11).[7]
Nasruddin Baidan dalam bukunya Tafsir bi Al-Ra'y juga berpandangan yang sama. Bahkan, dengan menggunakan analisis linguistik terhadap term nafs dalam al-Qur’an, dengan tegas dia menyimpulkan bahwa “wanita menurut Al-Quran bukan diciptakan dari tulang rusuk Adam, melainkan dari unsur yang sama dengan Adam, yaitu tanah”.[8]

1. Perspektif Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Menanggapi masalah ini, Hamka lebih memaknai term “nafs wahidah” yang terdapat dalam QS. al-Nisan’/4: 1, dengan “satu diri” dan bukan sebagai jenis manusia. Pemaknaan yang demikian berdampak pada makna term zauj, yang secara leksikon bisa berarti suami atau istri. Artinya, dengan memaknai “nafs wahidah” sebagai satu diri dan berjenis kelamin laki-laki, maka Hamka memaknai zauj sebagai istri. Untuk lebih jelasnya, berikut ini saya kutipkan terjemah Hamka terhadap QS. al-Nisa’/4: 1, sebagai berikut:

“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu, yang telah menjadikan kamu dari satu diri, dan daripadanya dijadikan isterinya; serta dari keduanya Dia memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah, yang kamu telah tanya-bertanya tentang (nama)-Nya, dan (peliharalah) kekeluargaan. Sesungguhnya Allah Pengawas atas kamu” (QS. Al-Nisa’/4: 1).[9]

Sekalipun Hamka memaknai nafs wahidah sebagai satu diri, dan darinya istrinya diciptakan, namun beliau tidak secara tegas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan satu diri itu adalah Adam, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan mufassir pendahulunya. Artinya, meskipun Hamka dalam hal ini mengakui pandangan umum yang menyatakan bahwa makna nafs wahidah yang terdapat dalam ayat tersebut adalah Adam, namun Hamka tidak pernah menyatakan spendapat dan atau menolaknya. Sebab, tidak ada keterangan dalam ayat yang ditafsirkan itu yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan satu diri itu adalah Adam. Demikian pula istrinya, Hawa, juga tidak terdapat keterangan yang jelas. Berikut komentar Hamka mengenai persoalan ini:

“Baik juga kita ketahui, bahwasannya tafsir yang umum sejak dahulu, ialah bahwa yang dimaksud dengan diri yang satu itu ialah Adam, yang daripadanya dijadikan jodohnya. Menurut tafsiran sebagain besar ahli tafsir ialah istri Adam yang bernama Hawa itu. Ibn Abi Syaibah dan Abd bin Humaid, Ibn Jarir, Ibnul Mundir dan Ibn Abi Hatim menjelaskan, bahwa Mujahid memang menafsirkan bahwa jodohnya dijadikan daripadanya itu adalah Hawa, yaitu dari tulang rusuk Adam. Ibnul Mundzir dan Abd bin Humaid menjelaskan lagi, bahwa tulang rusuk Adam itu ialah tulang rusuk kiri yang di bawah sekali.
Menurut riwayat Abu Syaikh dari Ibnu Abbas, bahwa beliau (Ibn Abbas) menafsirkan begitu pula. Oleh sebab itu. Ahli-ahli tafsir yang datang di belakang pun menurutlah akan jejak langkah ahli-ahli tafsir yang dahulu itu. Belum ada ahli tafsir lama yang menafsirkan lain dari itu. Padahal dalam ayat yang ditafsirkan itu sendiri tidaklah ada tersebut, bahwa diri yang satu ini adalah Adam dan isteri atau jodoh yang dijadikan daripadanya itu adalah Hawa. Dan tidak tersebut sama sekali tentang tulang rusuk itu”.[10]
Dari kutipan yang panjang di atas, dapat dipahami bahwa bagi Hamka manusia pertama bukanlah Adam, seperti yang dipahami oleh kebanyakan mufassir pada umumnya. Pendapatnya ini didasarkan pada pendapat Muhammad al-bakir dan juga Ibn ‘Arabi dalam Futuhatnya, yang menyatakan bahwa 40.000 tahun sebelum Adam, sudah ada Adam yang lainnya.[11]
Bahkan, Hamka ketika memaknai tentang asal kejadian perempuan pertama, Hawa, yang dalam banyak hadis dijelaskan bahwa dia terlahir dari tulang rusuk Adam, dia menolak pendapat umum itu. Menurutnya, hadis semacam itu tidak dapat dipahami secara tekstual, tetapi harus dipahami secara metaforis atau majazi. Dalam memaknai asal kejadian perempuan pertama itu, Hamka menulis sebagai berikut:

“Sumber pertama ialah sabda Nabi yang dirawikan Bukhari dan Muslim, yang dahulupun ketika menafsirkan Adam dengan isterinya dalam syurga, di dalam surat al-Baqarah telah kita salinkan. Nabi mengingatkan benar-benar, supaya perempuan dipelihara baik-baik, sebab dia dijadikan dari tulang rusuk, yang kalau tidak hati-hati memeliharanya, terlampau keras dia patah dan jika dibiarkan saja dia tetap bengkok.
Ahli-ahli ijtihad itu sekali-kali tidak membantah hadis yang shahih ini, tetapi belum dapat menumpangi faham, bahwa hadis ini dapat dijadikan alasan yang tepat untuk mengatakan, bahwa Hawa terjadi dari tulang rusuk sebelah bawah, sebelah kiri Nabi Adam. Setinggi-tinggi yang dapat diambil dari hadis ini hanyalah bahwa tabi’at, kelakuan perempuan itu menyerupai tulang rusuk, yang kalau dikerasi akan patah dan kalau dibiarkan saja, tetap bengkok. Jadi bukan dirinya yang dibuat dari tulang rusuk, melainkan perangainya menyerupai tulang rusuk”.[12]

Berdasarkan kutipan di atas, jelas bahwa bagi Hamka Hawa tidak diciptakan dari tulang rusuk Adam. Artinya, konteks penciptaan itu tidak secara langsung berhubungan dengan Hawa sebagai perempuan, tetapi lebih kepada perumpamaan tentanag jiwa perempuan. Kesimpulan ini diambil berdasarkan beberapa hadis yang berbicara tentang tulang rusuk yang pemaknaannya harus secara netaforis dan bukan secara literer berdasarkan bunyi teks.

2. Perspektif Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah
Menanggapi persoalan ini, Quraish Shihab, nampaknya memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan sebelumnya. Mungkin, Quraish dalam hal ini tidak ingin berpolemik sebagaimana mufassir-mufassir lainnya. Quraish bisa jadi ingin memposisikan dirinya sebagai mufassir yang lebih bersikap moderat ketimbang harus menguatkan pendapat yang satu dan melemahkan pendapat yang lainnya. Dalam Tafsir al-Mishbah, ketika menjelaskan ayat pertama surah al-Nisa’ ini, dia menulis sebagai berikut:

“Ayat Al-Hujurat memang berbicara tentang asal kejadian manusia yang sama dari seorang ayah dan ibu, yakni sperma ayah dan ovum/indung telur ibu. Tetapi, tekanannya pada persamaan hakikat kemanusiaan orang perorang, karena setiap orang walau berbeda-beda ayah dan ibunya, tetapi unsur dan proses kejadian mereka sama .... Adapun ayat al-Nisa’ ini, maka walaupun ia men­jelaskan kesatuan dan kesamaan orang-perorang dari segi hakikat kemanusiaan, tetapi konteksnya untuk menjelaskan banyak dan berkembangbiakannya mereka dari seorang ayah, yakni Adam, dan seorang Ibu, yakni Hawa. Ini dipahami dari pernyataan: Allah memperkembang-biakkan laki-laki yang banyak dan perempuan. Ini tentunya baru sesuai jika kata nafs wdhidah dipahami dalam arti ayah manusia seluruhnya (Adam AS) dan pasangannya (Hawa) lahir darinya laki-laki dan perempuan yang banyak.[13]

Dari kutipan di atas, jelas bahwa Quraish Shihab memiliki pandangannya sendiri tentang asal-usul kejadian perempuan. Quraish memaknai kata nafs wahidah dalam pengertian “ayah manusia seluruhnya”, yakni Adam dan pasangannya, Hawa. Sebab, dari situlah dimulainya perkembangbiakkan manusia, baik laki-laki dan perempuan. Pemak­naannya itu dia dasarkan pada kesesuaian makna dalam konteks wacana yang dibicarakan di dalam ayat tersebut. Bahkan, ia memandang paham soal asal-usul kejadian perempuan dari tulang rusuk Adam ini bukan sebagai sebab yang sering melahirkan bias gender. Ketika mengutip kritik Rasyid Ridla atas ide keterciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam yang diklaim sebagai pengaruh dari Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22), lebih lanjut Quraish menulis:

“Perlu dicatat sekali lagi bahwa pasangan Adam itu diciptakan dari tulang rusuk Adam, maka itu bukan berarti bahwa kedudukan wanita-wanita selain Hawa demikian juga, atau lebih rendah dibanding dengan laki-laki. Ini karena semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita, sebagai­ mana bunyi surat Al-Hujurat di atas, dan sebagaimana penegasan­Nya, "Sebagian kamu dari sebagian yang lain" (QS. Ali ‘Imran/3:195. Laki-laki lahir dari pasangan pria dan wanita, begitu juga wanita. Karena itu tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya. Kekuatan laki-laki dibutuhkan oleh wanita dan kelemah­lembutan wanita didambakan oleh pria. Jarum harus lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit. Dengan berpasangan, akan tercipta pakaian indah, serasi dan nyaman.[14]

Masih terkait dengan penciptaan perempuan pertama dari tulang rusuk Adam itu, Quraish menegaskan bahwa hadis itu harus dipahami secara majazi (kiasan). Sebab, jika tidak, lagi-lagi akan memunculkan pemahaman yang keliru, yang kemudian mengesankan bahwa derajat perempuan lebih rendah jika dibandingkan dengan laki-laki. Untuk meluruskan pemahaman terhadap hadis itu, Quraish menulis sebagai berikut:

“Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majazi (kiasan), dalam arti bahwa hadis tersebut memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan bijaksana. Karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, hal mana bila tidak disadari akan dapat mengantar kaum lelaki untuk bersikap tidak wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat bawaan perempuan. Kalaupun mereka berusaha akibatnya akan fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang bengkok”.[15]

Meskipun Quraish dalam pandangan-pandangannya sangat mengakui kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan, karena dia bukan seorang feminis, maka dia juga tidak menolak model pemahaman yang pertama, yang menyatakan bahwa nafs wahidah dalam QS. al-Nisa’/4: 1, dimaknai sebagai Adam. Bahkan, Quraish dalam Tafsir al-Misbah, nampaknya lebih cenderung dengan pendapat yang pertama ini. Meskipun demikian, dia tetap berusaha untuk memaknainya secara proporsional tanpa harus merendahkan yang satu dan meninggikan yang lain. Ini dapat dilihat dari pendapat-pendapatnya sebagaimana di atas.
Hal yang demikian dapat dimaklumi, sebab Quraish bukanlah seorang feminis atau praktisi jender. Ini akan sangat berbeda sekali dengan para feminis yang sejak awal ingin mengusung ide-ide kesetaraan dan bahkan keadilan jender. Sehingga, pemahamannya tentang masalah ini akan berbeda jauh dengan, misalnya Nasaruddin Umar, Zaitunah, Nasruddin Baidan, dan yang sependapat dengannya.
Bahkan Islah, ketika membahas pandangan Quraish tentang hal penciptaan perempuan pertama ini menyimpulkan bahwa “Quraish lebih suka berlindung di balik pendapat ulama yang dirujuknya, dan tidak memperlihatkan pendapatnya sendiri secara tegas”.
Menurut Islah, kecenderungan Quraish pada pendapat pertama yang dibarengi dengan pencitraan, setidaknya ada dua alasan pokok.[16] Pertama, pasangan Adam yang diciptakan dari tulang rusuknya, bagi Quraish bukan berarti bahwa kedudukan wanita selain Hawa; lebih rendah ketimbang laki-laki. Semua pria dan wanita anak cucu Adam lahir dari gabungan antara pria dan wanita. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan antara keduanya.
Kedua, kekuatan laki-laki menurut Quraish dibutuhkan oleh wanita dan kelemahlembutan wanita didambakan oleh pria. Dengan metafor antara jarum dan kain, ia menjelaskan bahwa jarum harus lebih kuat dari kain, dan kain harus lebih lembut dari jarum. Kalau tidak, jarum tidak akan berfungsi, dan kain pun tidak akan terjahit.
Lebih lanjut Islam menyatakan[17] bahwa Quraish dalam hal ini lebih menyembunyikan problem-problem pokok dari relasi laki-laki-perempuan. Pada alasan pertama, Quraish tidak melihat aspek psikologis dari konstruksi nalar tentang kisah keterciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam. Memang, seperti logika yang dia pakai, kita akan mengakui bahwa generasi anak cucu Adam (baik laki-laki maupun perempuan) lahir dari hasil perkawinan dua jenis manusia: laki-laki dan perempuan. Namun, pokok persoalan­nya tidaklah berhenti pada kesadaran semacam ini. Sebab, kisah keterciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam, secara psikologis telah mengonstruksi nalar dan bahkan menjadikan suatu pandangan dunia, bahwa perempuan adalah jenis manusia kelas dua, karena asal-usul keterciptaan Hawa tersebut.
Pada alasan kedua, Quraish telah memberikan pencitraan bias gender. Kelembutan perempuan yang dia gambarkan seperti kain, dan kekuatan laki-laki yang dia gambarkan seperti jarum, yang saling membutuhkan, jelas merupakan soal gender. Sebab, kekuatan dan kelembutan bukanlah dua hal yang bersifat kodrati, tetapi lebih sebagai suatu potensi dari hasil konstruksi pencitraan dalam wilayah sosial-budaya. Oleh karena itu, secara seksual, jarum tidaklah identik dengan jenis kelamin laki-laki, dan kain pun juga tidak identik dengan jenis kelamin perempuan.

B. Kesetaraan dalam Perkawinan
Dari sekian problem kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, nampaknya masalah kesetaraan dalam perkawinan ini merupakan problem yang paling komplek dan banyak mendapatkan perhatian serta mengundang perdebatan, tidak saja dilakalangan akademisi tapi juga dikalangan masyarakat awam. Apalagi menyangkut masalah poligami, yang merupakan masalah paling sensitif dalam persoalan perkawinan. Selain poligami ada problem-problem lain yang dalam pemahamannya juga menimbulkan bias jender, seperti masalah perwalian, perceraian, perkawinan beda agama, sampai pada persoalan kepemimpinan dalam keluarga. Untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang masalah ini berikut akan dibahas masing-masing peroblem dimaksud, mulai dari perdebatan di kalangan ulama’ fiqh, mufasir, hingga pendapat Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbahnya.
1. Perwalian
Perwalian dalam proses perkawinan merupakan hal yang sangat penting, khususnya bagi seorang perempuan. Artinya, seorang perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan harus dinikahkan oleh walinya. Jika dia menikah tanpa ada wali, maka perkawinannya dianggap batal dan tidak sah.
Secara normatif, larangan bagi perempuan yang menikah tanpa wali ini didasarkan pada; pertama, al-Qur’an. Dalam QS. al-Nur/24: 32 dan al-Baqarah/2: 221, Allah berfirman:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Nur/24: 32)

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran”. (QS. Al-Baqarah/2: 221)

Menurut jumhur ulama, bahwa khithab dalam dua ayat di atas secara khusus diperuntukkan bagi laki-laki dan bukannya perempuan. Ayat di atas seakan-akan berbunyi: “Janganlah kamu menikahkan – wahai para wali – perempuan-perempuan yang berada di bawah perwalian kamu dengan laki-laki musrik”.[18]
Kedua, hadis Nabi saw. Dalam hadis Nabi disebutkan secara eksplisit bahwa pernikahan seorang perempuan yang tidak ada walinya, maka pernikahannya tidak sah atau batal. Nabi bersabda: “la nikaha illa bi waliyyin”, tidak ada nikah tanpa wali. Bahkan dalam sebuah hadis yang lain, Nabi bersabda:

“Siapapun perempuan yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal. Jika hubungan seksual telah terjadi (setelah pernikahan itu) maka perempuan itu berhak mendapatkan maharnya karena ia telah menghalalkan kehormatannya. Jika pihak wali enggan menikahkannya, maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seorang yang tidak ada walinya” (HR. Abu dawud, Ibn Majah, al-darimi dan al-Turmudzi dari ‘Aisyah).

Beberapa argumen normatif, sebagaimana yang saya sebutkan di atas, dalam pandangan feminis sangat berpeluang untuk dipahami secara bias, bahkan terkesan sangat diskriminatif dan tidak mencerminkan adanya keadilan jender. Dalam persoalan ini, perempuan nampaknya tidak memiliki hak untuk menentukan sendiri perkawinannya dibandingkan dengan laki-laki. Mengapa seorang perempuan yang ingin menikah harus menta ijin dulu dengan wali, sementara laki-laki tidak? Oleh karena itu, ayat-ayat yang bias gender tersebut menurut kaum feminis harus didekonstruksi dan ditafsirkan ulang. Sehingga akan didapatkan pemaknaan yang berkeadilan jender.
Mengingat yang dijadikan landasan normatif dalam persoalan perwalian ini adalah al-Qur’an, khususnya QS. Al-Nur/24: 32 dan al-Baqarah/2: 221, maka untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai masalah ini, pendekatan tafsir merupakan yang paling tepat. Oleh karena itu, dua ayat yang telah saya sebutkan tadi, lagi-lagi akan saya lihat dari perspektif tafsir.
Menurut al-Razi bahwa perintah yang terdapat dalam QS. al-Nur/24: 32 di atas ditujukan bagi para wali. Menurutnya, wajib bagi para wali untuk menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya. Bahkan, seorang perempuan tidak boleh menikah tanpa wali.[19] Pendapat senada juga dikemukanan oleh al-Maraghi.[20] Meskipun demikian, al-Maraghi tidak seketat al-Razi. Artinya, bagi al-Maraghi keberadaan wali menjadi wajib jika perempuan yang berada dalam perwaliannya jika tidak dinikahkan dikhawatirkan akan terjadi perzinaan.
Berbeda dengan pendapat dua mufassir sebelumnya, adalah Imam al-Thabari. Ketika menafsirkan ayat 32 dari surah al-Nur di atas, dia menyatakan bahwa kalimat “wankihu” tidak secara khusus diperuntukkan bagi para wali, tetapi lebih ditujukan kepada semua orang yang beriman. Menurutnya, ayat ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan persoalan perwalian. Khitab ayat ini lebih mengarah pada suatu pemaknaan bahwa setiap orang yang beriman dianjurkan untuk membantu, baik laki-laki yang belum beristri maupun perempuan yang belum bersuami, agar dapat melangsungkan perkawinan.
Imam al-Zamakhsyari nampaknya juga tidak mengaitkan khithab dalam QS. al-Nur/24: 32, dengan persoalan perwalian. Namun demikian, apakah status perintah yang terdapat dalam kalimat “wankihu” itu wajib atau sunnah, dia juga menyinggungnya sebagai persoalan perwalian. Artinya, jika ada seorang perempuan yang belum menikah, kemudian meminta untuk menikahkannya, maka walinya wajib menikahkannya.[21] Pendapat al-Zamakhsyari di atas senada dengan pandangan Ibn Katsir,[22] yang juga melihat ayat itu dari perspektif status perintah mengawinkan. Artinya, khithab ayat itu berkaitan dengan perintah untuk mengawinkan perempuan, bukan secara langsung berbicara tentang persoalan perwalian.
Sementara itu, ketika memahami khithab “wa la tankihu” yang terdapat dalam QS. al-Baqarah/2: 221, di kalangan para mufassir juga terjadi perbedaan pendapat. Menurut al-Thabari, bahwa khithab ayat ini berkenaan dengan wali. Artinya, al-Thabari tetap berkeyakinan bahwa seorang perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dengan seizin dan persetujuan walinya. Pendapat al-Thabari ini didasarkan pada pendapat Abu Ja’far Muhammad ibn ‘Ali yang menyatakan bahwa para wali memiliki hak untuk menikahkan perempuan daripada dirinya sendiri.[23]
Muhammad Abduh nampaknya juga sependapat dengan al-Thabari. Menurutnya, susunan redaksi yang terdapat pada ayat tersebut – satu sisi menggunakan fathah, wa la tankihu dan di sisi lain menggunakan dhammah, wa la tunkihu, menunjukkan bahwa seorang laki-laki dapat menikahkan dirinya sendiri dan juga perempuan yang berada dalam perwaliannya, sementara perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dinikahkan oleh wali dengan meminta persetujuan perempuan yang akan dinikahkan.[24]
Sementara itu al-Zamakhsyari melihat ayat ini tidak dalam konteks perwalian.[25] Pendapat al-Razi senada dengan al-Zamakhsyari. Menurutnya, ayat ini tidak membahas perwalian secara khusus, namun dia tetap memahami bahwa perempuan tidak dapat menikahkan dirinya sendiri, tetapi harus dinikahkan.[26]

a. Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Sebelum masuk pada pendapat Hamka tentang persoalan ini, akan saya kutipkan dulu terjemah Hamka terhadap QS. al-Nur/24: 32. Ini dimaksudkan sebagai titik tolak untuk mengetahui gagasan Hamka tentang perwalian ini. Ketika menerjemahkan ayat tersebut Hamka menulis sebagai berikut:

“Dan kawinkanlah laki-laki dan perempuan yang janda di antara kamu, dan budak-budak laki-laki dan perempuan yang patut buat berkawin. Walaupun mereka miskin, namun Allah akan memampukan dengan karunia-Nya karena Tuan Allah itu adalah Maha luas pemberian-Nya, lagi Maha Mengetahui (akan nasib dan kehendak hamba-Nya)”. (QS. al-Nur/24: 32)

Ketika memaknai ayat ini, Hamka menjelaskan bahwa ayat ini secara khusus tidak berhubungan dengan persoalan perwalian. Artinya, khithab ayat ini secara khusus tidak ditujukan kepada wali, tetapi kepada umat Islam secara umum. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang pendapatnya itu, berikut saya kutipkan perkataan Hamka, sebagai berikut:

“Apabila kita renungkan ayat ini baik-baik jelaslah bahwa soal mengawinkan yang belum beristri atau bersuami bukanlah lagi semata-mata urusan pribadi dari yang bersangkutan, atau urusan rumah tangga dari orang tua kedua orang yang bersangkutan saja, tetapi menjadi urusan pula dari jamaah Islamiyah, tegasnya masyarakat islam yang mengelilingi orang itu… Dalam ayat tersebut: Wa ankihu, hendaklah kawinkan oleh kamu, hai orang banyak. Terbayanglah di sisi bahwa masyarakat Islam mesti ada dan mesti dibentuk. Supaya ada yang bertanggungjawab memikul tugas yang diberikan Tuhan itu”.[27]

Berdasarkan kutipan di atas, semakin jelas gagasan Hamka terkait dengan ayat yang sedang dibicarakan ini, yaitu bahwa Hamka tidak mengaitkan ayat ini dengan persoalan perwalian bagi anak perempuan secara khusus. Dengan demikian, lagi-lagi Hamka sama sekali tidak menjadikan ayat ini sebagai legitimasi atas perwalian seorang perempuan.
Sehubungan dengan QS. al-Baqarah/2: 221, yang oleh kebanyakan mufassir dipahami sebagai dalil atas wajibnya seorang perempuan menikah dengan wali, maka Hamka juga memiliki pandangan yang berbeda dengan kebanyakan pendapat umum itu. Artinya, Hamka juga tidak menafsirkan ayat di atas dalam kaitannya dengan perwalian. Ayat ini lebih berbicara soal larangan menikah dengan orang musyrik, baik laki-laki maupun perempuan.
Sakalipun Hamka tidak menafsirkan ayat-ayat tadi dalam kaitannya dengan perwalian, nampaknya Hamka juga mengakui bahwa hukum perwalian bagi seorang perempuan dalam pernikahan adalah penting. Hal ini dapat dilihat pada pernyataannya sebagai berikut:

“Di sinilah perlunya pertimbangan matang dan pengertian yang baik di antara wali dengan perempuan bersangkutan, Perempuan, baik janda apatah lagi gadis perawan, tidak lagi dapat dihalangi mencari jodohnya sendiri di zaman modern ini. Tetapi untuk maslahatnya (kebaikan dan kesejahteraannya) di zaman depan, dia tidak boleh mengabaikan pertimbangan manfaat dan madharat dengan walinya”.[28]

b. Perspektif Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah
Lalu bagaimana pandangan dan penafsiran Quraish Shihab tentang dua ayat yang diperselisihkan tersebut? Ketika menerjemahkan QS. al-Nur/24: 32, dia menulis sebagai berikut:

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Nur/24: 32)

Menurut Quraish, khithab ayat ini disamping diperuntukkan bagi para pemilik budak dan para wali, juga diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin. Mereka semua diperintahkan untuk membantu budak-budak mereka bahkan semua yang tidak memiliki pasangan hidup agar mereka juga memelihara diri dan kesucian mereka. Sehubungan dengan masalah ini dia menulis sebagai berikut:

“Hai para wali, para penanggung jawab bahkan seluruh kaum muslimin: Perhatikanlah siapa yang berada di sekeliling kamu dan kawinkanlah yakni bantulah agar dapat kawin orang-orang yang sendirian di antara kamu, agar mereka dapat hidup tenang dan terhindar dari perbuatan zina dan yang haram lainnya dan demikian juga orang-orang yang layak membina rumah tangga dari hamba-­hamba sahaya kamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kamu yang perempuan. Mereka juga manusia yang perlu menyalurkan kebutuhan seksualnya. Allah menyediakan buat mereka kemudahan hidup terhormat, karena Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahu luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui segala sesuatu”. [29]

Dari kutipan di atas, dapat dipahami bahwa khithab ayat di atas selain diperuntukkan bagi para pemilik hamba sahaya, para wali juga kepada seluruh orang muslim. Artinya, bagi seorang perempuan yang masih sendiri dan sudah waktunya untuk menikah, maka bagi para wali dianjurkan untuk menikahkannya. Namun, jika yang masih sendiri itu seorang laki-laki, maka sebagai seorang muslim dianjurkan untuk menikahkannya pula. Anjuran ini juga diperuntukkan bagi para pemilik hamba sahaya (budak), supaya menikahkan mereka, baik hamba sahaya perempuan maupun hamba sahaya laki-laki.
Pemahaman di atas didasarkan pada sebuah kenyataan bahwa yang menjadi objek (maf’ul) dari kalimat wankihu adalah al-ayama (bentuk jamak dari ayyim) yang meskipun pada awalnya bermakna perempuan yang tidak memiliki pasangan (para janda), tetapi pemaknaan term itu sudah meluas sehingga mencakup para gadis, pria yang masih hidup membujang, baik jejaka maupun duda, bahkan sampai pada wanita tuna susila. Tentang perluasan makna term al-ayama ini sebagaimana diungkapkan oleh Quraish Shihab sebagai berikut:

“Kata al-ayama adalah bentuk jamak dari ayyim yang pada mulanya berarti perempuan yang tidak memiliki pasangan. Tadinya kata ini hanya digunakan untuk para janda, tetapi kemudian meluas sehingga masuk juga gadis-gadis, bahkan meluas sehingga mencakup juga pria yang hidup membujang, baik jejaka maupun duda. Kata tersebut bersifat umum, sehingga termasuk juga, bahkan lebih-lebih wanita tuna susila, apalagi ayat ini bertujuan menciptakan lingkungan yang sehat dan religius, sehingga dengan mengawinkan para tuna susila, maka masyarakat secara umum dapat terhindar dari prostitusi serta dapat hidup dalam suasana bersih”.[30]

Dengan demikian, jelas bahwa anjuran untuk menikahkan tersebut bukan terbatas pada perempuan yang sendirian saja, tetapi juga mencakup pada orang-orang yang layak kawin, baik perempuan maupun laki-laki. Lagi-lagi dapat dikatakan di sini bahwa menurut Quraish Shihab, khithab ayat ini bersifat umum, tidak saja ditujukan bagi para wali, pemilik hamba sahaya, tetapi juga kaum muslimin secara keseluruhan.
Lalu bagaimana dengan penafsiran Quraish terhadap QS. al-Baqarah/2: 221, yang oleh jumhur ulama juga dikaitkan dengan persoalan perwalian? Sebelum melihat lebih jauh penafsiran Quraish mengenai persoalan ini, berikut terjemahan Quraish atas ayat dimaksud.

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. al-Baqarah/2: 221)

Menurut Quraish, ayat ini merupakan pesan bagi mereka yang ingin melangsungkan pernikahan, khususnya bagi laki-laki dan perempuan yang beriman untuk tidak menjalin hubungan atau menikah dengan laki-laki dan perempuan musyrik. Ini penting, sebab pondasi yang paling kokoh dalam suatu pernikahan bukan berdasarkan pada kecantikan dan ketampanan, harta, status soaial, tetapi didasarkan pada iman kepada Yang Maha Esa, Maha Kaya, Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.[31]
Masih menurut Quraish, bahwa jika penggalan ayat pertama ditujukan kepada pria muslim, maka penggalan ayat kedua ditujukan kepada para wali.[32] Artinya, khithab ayat ini secara khusus diperuntukkan bagi para wali untuk tidak menikahkan wanita-wanita muslimah dengan orang-orang musrik. Lebih lanjut Quraish menegaskan bahwa dalam persoalan ini sedikitnya ada dua hal yang perlu digarisbawahi, yaitu:[33]
Pertama, ditujukannya penggalan kedua tersebut kepada wali, memberi isyarat bahwa wali mempunyai peranan yang tidak kecil dalam perkawinan putri-putrinya atau wanita-wanita yang berada di bawah perwaliannya. Bahwa perkawinan yang dikehendaki Islam, adalah perkawinan yang menjalin hubungan harmonis antar suami istri, sekaligus antar keluarga, bukan saja keluarga masing­masing, tetapi juga antar keluarga kedua mempelai. Dari sini, peranan orang tua dalam perkawinan menjadi sangat penting, baik dengan memberi kepada orang tua wewenang yang besar, maupun sekadar restu tanpa mengurangi hak anak. Karena itu, walau Rasul saw memerintahkan orang tua untuk meminta persetujuan anak gadisnya, namun karena tolok ukur anak tidak jarang berbeda dengan tolok ukur orang tua, maka tolok ukur anak, ibu dan bapak, harus dapat menyatu dalam mengambil keputusan perkawinan.
Kedua, larangan mengawinkan wanita-wanita muslimah dengan orang-­orang musyrik. Walaupun pandangan mayoritas ulama tidak memasukkan Ahl al-hitab dalam kelompok yang dinamai musyrik, tetapi ini bukan berarti ada izin untuk pria Ahl al-Kitab mengawini wanita muslimah. Larangan tersebut, menurut ayat di atas, berlanjut hingga mereka beriman, sedang Ahl al-Kitab, tidak dinilai beriman, dengan iman yang dibenarkan Islam. Bukankah mereka - walau tidak dinamai musyrik - tetapi dimasukkan dalam kelompok kafir? Apalagi dari ayat lain dipahami bahwa wanita-wanita muslimah tidak diperkenankan juga mengawini atau dikawinkan dengan pria Ahl al-Kitab, sebagaimana yang secara tegas dinyatakan oleh QS. al­-Mumtahanah [60]: 10, Mereka, wanita-wanita muslimah, tiada halal bagi orang­-orang kafir, dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, jelas bahwa menurut Quraish kedudukan wali mutlak adanya bagi seorang perempuan yang akan melangsugkan pernikahan, sementara bagi calon suami tidak diperlukan. Artinya, Quraish Shihab tetap mengakui keberadaan wali. Dengan demikian, tidak sah suatu pernikahan jika tidak ada wali. Pendapatnya ini diperkuat oleh sebuah hadis yang menyatakan bahwa “la nikaha illa bi waliyyin, tidak sah nikah kecuali dengan (izin) wali”. Sehubungan dengan pentingnya wali ini, Quraish menulis sebagai berikut:

“Hemat penulis adalah amat bijaksana untuk tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena “seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan”, maka ada sandaran yang dapat dijadikan rujukan. Ini sejalan dengan jiwa perintah al-Qur’an yang menyatakan, “Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan) mereka” (QS. al-Nisa’/4: 25). Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak wanita yang boleh dikawini”.[34]

Sementara itu, ketika menanggapi QS. al-Baqarah/2: 234, yang oleh sebagian ulama dijadikan landasan bahwa wanita memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri, Quraish menyatakan bahwa ayat itu – dan juga ayat lain yang senada – lebih merujuk pada pernikahan para janda dan bukannya bagi para gadis. Sebab, bagi para janda memiliki hak untuk menikahkan dirinya sendiri. Artinya, janda boleh menikah tanpa harus minta izin kepada walinya. Sehubungan dengan masalah ini Quraish menulis sebagai berikut:

“Perlu digarisbawahi bahwa ayat-ayat di atas (pen: QS. al-Baqarah/2: 234 dan 30) yang dijadikan alasan oleh mereka yang tidak mensyaratkan adanya wali, berbicara tentang para janda, sehingga kalaupun pendapat mereka dapat diterima, maka ketiadaan wali itu terbatas kepada para janda, bukan gadis-gadis. Pandangan ini dapat merupakan jalan tengah antara kedua pendapat yang bertolak belakang di atas”.[35]

2. Poligami
Poligami, sejak dahulu hingga sekarang masih menjadi persoalan yang hangat dan kontroversial, khususnya menyangkut status kebolehannya dalam perspektif Islam. Secara garis besar pandangan para ahli dan pemikir tentang masalah ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) mereka yang membolehkan poligami secara mutlak; (2) mereka yang membolehkan poligami dengan syarat-syarat dan dalam kondisi-kondisi tertentu; dan (3) mereka yang melarangnya secara mutlak.
Ketiga kelompok ini sama-sama menjadikan al-Nisa’/4: 3 sebagai dasar untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hal ini karena, pada dasarnya, ayat yang secara langsung berbicara tentang poligami adalah al-Nisa’/4: 3. Berikut akan dipaparkan pandangan ketiga kelompok tersebut.
Pertama, Poligami boleh secara mutlak. Pendukung kelompok ini adalah mayoritas pemikir (ulama) klasik dan pertengahan. Mereka pada umumnya membolehkan suami beristeri maksimal empat secara mutlak, dengan syarat: mampu mencukupi nafkah keluarga, dan mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya.[36]
Menurut al-Sarakhsi dari madzhab Hanafi, dalam kitabnya al-mabshud menjelaskan bahwa suami yang berpoligami harus berlaku adil di antara para isterinya. Pendapatnya didasarkan pada al-Nisa’: 3; dan hadis dari Aisyah yang menceritakan perlakuan adil dari Nabi kepada para isterinya serta hadis tentang ancaman bagi suami yang berpoligami tetapi tidak berlaku adil kepada para isterinya.[37]
Al-Syafi’i dalam kitab Al-Umm juga berpandangan yang sama. Menurutnya, Islam membolehkan seorang muslim mempunyai isteri maksimal empat berdasarkan al-Nisa’: 3, al-Ahzab: 50, dan al-Mu’minun: 5-6. Hadis juga dikutip al-Syafi’i untuk mendukung pendapatnya itu, yakni hadis tentang seorang pria bangsa Tsaqif yang masuk Islam dan memiliki sepuluh isteri, dan Nabi memerintahkannya untuk mempertahankan empat dan menceraikan lainnya.[38]
Kedua, Poligami boleh dengan syarat dan kondisi tertentu. Pendukung pendapat ini adalah mayoritas pemikir kontemporer dan perundang-undangan modern. Di antara tokoh-tokohnya adalah Asghar Ali Engineer, Amina Wadud, Riffat Hasan, dan lain-lainnya.
Menurut Asghar, untuk memahami QS. al-Nisa’/4: 3, perlu dihubungkan dengan ayat yang mendahului dan konteksnya. Al-Nisa’/4: 1, berbicara tentang penciptaan laki-laki dan perempuan dari sumber yang sama, yang berarti menggambarkan kesetaraan kedua jenis kelamin. Al-Nisa’: 2 menekankan muslim memberikan harta anak yatim yang menjadi perwaliannya dan tidak mengganggunya untuk kepentingan wali. Sementara al-Nisa’: 3 berkaitan dengan poligami. Penekanan ketiga ayat ini bukan mengawini lebih dari seorang perempuan, tetapi berbuat adil kepada anak-anak yatim.[39] Jadi ayat ini bukan merujuk pada satu hal yang umum, tetapi terhadap satu konteks, bahwa keadilan terhadap anak yatim lebih sentral dari pada masalah poligami.
Berkaitan dengan ayat poligami, al-Nisa’/4: 3, Amina Wadud menyatakan, pertama ayat ini berkaitan dengan perlakuan terhadap anak yatim, yakni wali pria yang bertanggungjawab untuk mengurus kekayaan anak perempuan harus berlaku adil dalam mengelola kekayaan tersebut. Salah satu jalan pemecahan untuk mencegah kesalahan tersebut adalah dengan menikahi wanita yatim. Kedua, ayat tersebut menekankan keadilan; yakni dalam perjanjian, mengelola harta, terhadap anak yatim, dan terhadap para isteri.[40]
Sedangkan menurut Riffat Hasan, poligami merupakan satu pengecualian dengan syarat-syarat tertentu. Senada dengan Asghar, menurut Riffat, konteks ayat tentang poligami, yakni al-Nisa’: 3 adalah berkaitan dengan banyaknya janda dan anak yatim yang butuh pertolongan akibat ditinggal wafat oleh para suami dan bapak pada perang Uhud. Hal ini juga diperkuat oleh ayat sebelumnya yang berbicara tentang harta anak yatim yang harus dipelihara. Karenanya, tujuan bolehnya poligami adalah untuk tujuan kemanusiaan, yakni untuk menjaga dan memelihar anak yatim dan janda. Berdasarkan ini, setiap orang yang akan melakukan poligami harus sesuai dengan tujuan dasar ini.[41]
Sementara itu, menurut Fazlur Rahman, asas ideal perkawinan dalam Islam adalah monogami. Pengakuan terhadap poligami seperti yang disebut dalam al-Nisa’/4: 3 adalah bersifat kasuistik dan spesifik untuk menyelesaikan masalah yang ada ketika itu, tindakan para wali yang tidak rela mengembalikan harta anak yatim setelah anak yang ada di bawah perwaliannya cukup umur. Untuk memahami al-Nisa’: 3 sebagai nash kasuistik, menurutnya harus dihubungkan dengan al-Nisa’: 127-129 dan al-Nisa’: 2. Kedua kelompok ayat ini berbicara tentang kasus sejumlah wali yang enggan mengembalikan harta anak yatim yang ada di bawah perwaliannya setelah anak cukup umur. Harusnya begitu anak tersebut sampai umur (dewasa), para wali langsung mngembalikan harta anak yang ada di bawah perwaliannya tersebut. Nyatanya para wali enggan melakukannya. Sebagai jalan keluarnya dibolehkan poligami dengan anak yatim tersebut daripada si wali menggunakan harta tersebut secara tidak benar.[42]
Dengan melihat keterkaitannya dengan ayat-ayat tersebut (al-Nisa’: 127-129 dan 2), jelas bahwa al-Qur’an, melalui al-Nisa’: 3, berbicara poligami dalam hubungannya dengan konteks pengasuhan anak yatim wanita yang sudah cukup umur, sementara walinya enggan mengembalikan harta itu kepada para anak yatim tersebut.
Ketiga, Poligami dilarang. Pendukung pendapat yang ketiga ini, di antaranya adalah al-Haddad[43] dan Habib Bu Ruqayba.[44] Menurut al-Haddad, al-Nisa’: 3 berhubungan dengan al-Nisa’: 129. Dengan turunnya al-Nisa’: 129 poligami mestinya harus dicegah.[45] Al-Haddad juga menggunakan al-Rum: 21 sebagai dasar pelarangan poligami. Berdasar ayat ini tujuan perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Sementara dalam kenyataan poligami mengakibatkan sulit sekali melahirkan kehidupan yang harmonis dan tenteram antara suami, isteri-isteri dan anak-anak, apalagi kalau harta peninggalan si suami ketika meninggal sangat terbatas.[46]
Sementara itu, Habib Bu Ruqayba mengatakan bahwa larangan poligami adalah satu pembaharuan yang sudah lama menjadi tuntutan. Poligami adalah hal yang tidak mungkin diijinkan pada abad ke-20 dan tidak mungkin dilakukan seseorang yang mempunyai pikiran benar. Lanjutnya, keluarga adalah tonggak masyarakat, dan keluarga dapat berhasil dengan baik hanya dengan dasar saling menghormati dan menghargai antara pasangan. Salah satu upaya untuk saling menghormati dan menghargai adalah dengan nikah monogami. Karena itu, monogami bukan hanya ingin mengangkat harkat dan martabat wanita, tetapi lebih dari itu untuk menciptakan saling menghargai dan menghormati antara pasangan sebagai usaha maksimal untuk melahirkan anak-anak yang baik.[47]

a. Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Sebagaimana pandangan pada umumnya, Hamka juga menjadikan QS. al-Nisa’/4: 3, sebagai dasar atau argumentasi tentang persoalan poligami. Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah ini, ada baiknya saya kutipkan terjemahan Hamka atas ayat di maksud, yaitu:

"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil (bila menikahi) anak­anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan bisa berlaku adil, maka seorang sajalah, atau hamba sahaya yang kamu miliki. Yang demikian inilah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku sewenang-wenang". (Q.S. An-Nisa'/4:3)

Menurut Hamka, yang dimaksud dengan tidak berlaku adil terhadap anak-anak yatim adalah tidak berlaku adil bila menikahinya. Dalam menjelaskan persoalan ini, Hamka mengutip keterangan dari `Aisyah ketika menjawab pertanyaan dari Urwah ibn Zubair. Pertanyaan dimaksud adalah: “bagaimana asal mula orang dibolehkan beristeri lebih dari satu, sampai dengan empat dengan alasan memelihara harta anak yatim?”. Dengan mengutip jawaban dari 'Aisyah hamka menulis sebagai berikut:

"Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan walinya, yang telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik kepada hartanya dan kepada kecantikan anak ini. Maka bermaksudlah dia hendak menikahi anak asuhannya itu, tetapi dengan tidak hendak membayar mas-nikahnya secara adil, sebagaimana pembayaran mas-nikahnya dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, dilaranglah dia melangsungkan pernikahan dengan anak itu, kecuali jika dibayarkan mas-nikah ini secara adil dan dicapaikannya kepada mas-nikah yang layak menurut patutnya (sebagai kepada perempuan lain). Dan daripada berbuat sebagai niatnya yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah saja dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat."[48]

Menurut Hamka, bila seorang laki-laki menikahi perempuan yatim yang berada di bawah pengasuhannya, dia dapat tergoda untuk menguasai harta anak yatim itu dengan cara tidak sah karena sudah menjadi isterinya. Kalaupun tidak mengambil hartanya, paling kurang kejahatan yang dia lakukan adalah tidak membayar mahar pernikahannya dengan patut sebagaimana kalau dia membayarnya kepada perempuan lain. Untuk menghindari hal itu lebih baik laki-laki itu menikahi perempuan lain walaupun sampai dengan empat.[49]
Dengan demikian, dalam pandangan Hamka beristeri lebih dari satu diizinkan, tetapi dengan syarat yang sangat ketat. Namun demikian, baginya beristeri satu akan lebih terpuji. Pendapatnya ini didasarkan pada pemahaman dari ujung ayat 3 Surat An-Nisa', yaitu "Yang demikian itulah yang lebih memungkinkan kamu terhindar dari berlaku sewenang-wenang". Mengenai hal ini, Hamka menulis sebagai berikut:

"Dengan ujung ayat ini kita mendapat kejelasan, bahwasanya yang lebih aman dan terlepas dari ketakutan tidak akan adil hanyalah beristri satu. Kalau kita beristeri satu saja, lebih hampirlah kita kepada ketenteraman. Tidak akan bising dan pusing oleh mempertanggungkan beberapa perempuan yang membawa kehendak mereka sendiri-sendiri. Padahal masing-masing meminta supaya dia diladeni, minta supaya dia diperhatikan. Dan minta pula disamakan. Soal itu sajalah yang akan memusingkan kepala setiap hari. Lebih-lebih kalau masing-masing diberi pula anugerah banyak anak oleh Allah. Kalau diri kaya mungkin semua anak itu dapat diasuh dengan baik, tetapi kalau awak miskin, takut kalau-kalau semua anak itu tidak akan sempurna pendidikannya. Lebih memusingkan lagi kalau tiap-tiap anak menurut yang ditanamkan oleh ibunya. Sehingga anak yang datang dari satu ayah menjadi bermusuhan karena berlainan ibu mereka, karena ibu mereka memang bermusuhan. Kita artikan an la ta'ulu, dengan "agar kamu terhindar dari kesewenang-wenangan." Sewenang-wenang, artinya sudah bertindak menurut kehendak sendiri saja, tidak peduli lagi, masa bodoh. Ini lebih celaka”.[50]

Menurut Hamka, meskipun untuk berlaku adil terhadap istri-istri itu dirasa sangat berat, namun nampaknya Hamka juga tidak menafikan sama sekali kemungkinan untuk dapat berlaku adil terhadap mereka. Artinya, suami yang memiliki istri lebih dari satu itu kemungkinan untuk berlaku adil sangatlah mungkin, khususnya dalam persoalan material. Oleh karena itu, ketika al-Qur’an menyatakan bahwa mereka tidak akan dapat berlaku adil terhadap istri-istri mereka, seperti yang disinyalir dalam Surat An-Nisa' ayat 129, ayat ini dipahami Hamka lebih berhubungan dengan keadilan yang menyangkut perkara hati. Dalam hal ini Hamka menulis:

"Yang tidak sanggup mengadilkannya itu ialah hati. Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya. Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh... Kecenderung­an kepada yang seorang dan kurang cenderung kepada yang lain, adalah urusan hati belaka. Siapakah yang dapat memaksa hati manusia?”.[51]

Menanggapi pertanyaan yang mengatakan bahwa “kalau poligami itu sangat berat, mengapa Islam tidak melarangnya?”, Hamka menjawabnya dengan memberikan dua alasan mendasar, yaitu:
Pertama, untuk menyalurkan secara sah dan sehat gelora seksual yang dimiliki oleh laki-laki. Jika poligami dilarang, bagi yang tidak sanggup menahan nafsunya dan tidak dapat memenuhinya dengan satu orang isteri, maka dia akan mudah terjatuh pada perzinaan. Hamka mengakui betapa beratnya perjuangan batin tiap-tiap laki-laki yang beristeri satu orang, terutama pada zaman mudanya, sebab dia terjadi dari darah dan daging. Hanya kekhawatiran tidak dapat berlaku adil serta memikirkan tanggung jawab yang berat mendidik anak-­anak dengan segala resikonya yang menghalanginya menikah lagi.
Kedua, untuk mengatasi problem yang muncul di masyarakat tatkala jumlah perempuan lebih banyak dari laki-laki karena berbagai macam sebab, misalnya akibat peperangan, karena laki-lakilah yang lebih banyak mati dalam peperangan, bukan perempuan. Untuk mengatasi problem ini hanya ada tiga alternatif: (a) Perempuan yang lebih itu tidak diberi keinginannya, biar sampai mati tetap tidak mendapatkan suami; (b) laki-laki diberi kebebasan, di samping satu orang isteri yang sah, dibolehkan memelihara gundik atau perempuan piaraan. Dalam ungkapan lain pintu perzinaan dibuka seluas-luasnya; (c) laki-laki dibolehkan beristeri lebih dari satu. Masing­masing isteri mememiliki hak dan kewajiban yang sama, dan anak-anak yang dilahirkan menjadi anak yang sah dan menjadi tanggung jawab bapaknya. Menurut Hamka, dari tiga alternatif itu yang ketigalah yang realistis dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dari beberapa argumen di atas, jelas bahwa bagi Hamka poligami tetap diizinkan tetapi dengan syarat yang sangat ketat. Bagi Hamka, poligami tidak dianggap sebagai sesuatu yang diskriminatif terhadap perempuan. Namun demikian, perkawinan yang ideal, menurtnya adalah monogami. Poligami diizinkan hanya sebatas sebagai solusi problem seksual dan sosial, baik yang dialami laki-laki maupun perempuan. Dengan poligami perempuan tetap mendapatkan hak-hak mereka secara sah dan adil.

b. Perspektif Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah
Quraish Shihab dalam hal ini juga membahas QS. al-Nisa’/4: 3 dalam konteks poligami, di samping persoalan-persoalan lain seperti keharusan berbuat adil kepada para anak yatim dan juga perbudakan. Ketika menerjemahkan ayat tersebut Quraish menulis sebagai berikut:

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan (yatim) maka nikahilah yang kamu senangi dari wanita-wanita (lain): dua, tiga atau empat. Lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka seorang saja, atau hamba sahaya wanita yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS. al-Nisa’/4: 3).[52]

Menurut Quraish, ayat ini pada dasarnya merupakan larangan bagi para wali untuk berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim perempuan. Artinya, ayat ini menyangkut anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali, dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang yatim, maka dia hendak menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai. Sementera, terhadap anak-anak yatim perempuan yang lemah, yang sedikit harta dan kecantikannya, mereka enggan untuk menikahinya.
Dalam kesempatan yang lain, Quraish juga menulis bahwa ayat di atas juga dijadikan Nabi saw. sebagai larangan untuk menghimpun dalam saat sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Semenjak ayat ini turun, maka Nabi saw. memerintahkan semua yang memiliki lebih dari empat orang istri agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistri empat orang wanita. Atas dasar ayat ini pulalah, Nabi saw. kemudian memerintahkan kepada Sailan bin Umayyah yang memiliki sepuluh istri untuk memilih di antara mereka empat orang istri dan menceriakan yang lainnya.[53]
Oleh karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman dalam memahami ayat di atas, menurut Quraish, kita harus kembali pada penafsiran yang tepat tentang ayat ini. Menurut Quraish bahwa keterangan dan penjelasan istri Nabi saw., ‘Aisyah, merupakan penafsiran yang terbaik. Mengenai hal ini Quraish menulis sebagai berikut:

“Penafsiran yang terbaik menyangkut ayat di atas, adalah penafsiran ­yang berdasarkan keterangan istri Nabi saw, `Aisyah ra. …bahwa ­Urwah Ibn Zubair pernah bertanya kepada istri Nabi; `Aisyah ra. tentang ayat ini. Beliau menjawab bahwa ini berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, di mana hartanya bergabung dengan harta wali, dan sang wali senang akan kecantikan dan harta sang yatim, maka dia hendak menikahinya tanpa memberinya mahar yang sesuai. Sayyidah 'Aisyah r.a. lebih lanjut menjelaskan bahwa setelah turunnya ayat ini para sahabat ­bertanya lagi kepada Nabi saw tentang perempuan, maka turunlah firman-­Nya: “Mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlab: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Qur’an (juga memfatwakata) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu enggan menikahi mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus asaak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui” (QS. an-Nisa'/41: 127). 'Aisyah ra. kemudian melanjutkan keterangannya bahwa firman-Nya: sedang kamu enggan naenikahi mereka, bahwa itu adalah keengganan para wali untuk menikahi anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya. Maka sebaliknya dalam ayat 3 surah an-Nisa' ini, dilarang menikahi anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikannya tetapi enggan berlaku adil terhadap mereka.[54]

Dalam konteks poligami, ayat di atas – sebagaimana dikatakan Quraish – tidak bertujuan untuk membuat peraturan tentang poligami.[55] Sebab, poligami pada dasarnya telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama, serta adat istiadat masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Dengan demikian, ayat ini tidak boleh dipahami sebagai sebuah anjuran, apalagi sebagai sebuah kewajiban berpoligami. Lebih lanjut, Quraish menyatakan bahwa ayat ini hanya berbicara tentang bolehnya poligami dengan syarat yang tidak ringan.[56]

“Perlu diingat bahwa ini (pen: poligami) bukan berarti anjuran, apalagi berarti kewajiban. Seandainya ia merupakan ­anjuran, pastilah Allah menciptakan wanita lebih banyak empat kali dari jumlah lelaki, karena tidak ada arti Anda – apalagi Allah – menganjurkan sesuatu, kalau apa yang dianjurkan itu tidak tersedia. Ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya, ketika menghadapi kondisi atau kasus tertentu, seperti yang dikemukakan contohnya di atas. Tentu masih banyak kondisi atau kasus selain yang disebut itu, yang juga merupakan alasan logis untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak ringan itu.[57]

Oleh karena itu, pembahasan tentang poligami hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruk, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum. Sehubungan dengan hal ini Quraish menulis sebagai berikut:

“Dengan demikian, pembahasan tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi.
Adalah wajar bagi satu perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk setiap waktu dan tempat untuk mempersiapkan keketapan hukum yang boleh jadi terjadi pada satu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan “kemungkinan”.[58]

Dengan demikian, masih menurut Quraish bahwa seorang laki-laki diperbolehkan berpoligami, jika dia sedang menghadapi suatu kasus atau kondisi yang sangat serius, dan lagi-lagi mengharuskannya untuk berpoligami. Tentu, yang demikian tetap memperhatikan beberapa persyaratan yang tidak ringan tadi. Menurut Quraish, sedikitnya ada empat alasan mendasar yang menjadikan seorang laki-laki diperbolehkan berpoligami, di antaranya:
Pertama, jumlah perempuan lebih banyak di banding dengan laki-laki.[59] Kalau dilihat secara kuantitas, memang jumlah laki-laki atau jantan binatang lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah wanita atau betinanya. Ini diperkuat dengan suatu kenyataan bahwa secara umum usia wanita lebih panjang dari usia laki-laki, sementara potensi membuahi bagi laki-laki lebih lama di bandingkan dengan potensi perempuan. Ini disebabkan karena wanita di samping mengalami masa haid, juga mengalami menopouse, sementara laki-laki tidak mengalami kedua-duanya. Di sisi lain, peperangan lebih banyak merenggut nyawa laki-laki dibandingkan dengan perempuan.
Kedua, istri mandul dan maraknya penyakit kelamin.[60] Menghadapi kasus dan kondisi yang demikian, maka poligami merupakan jalan keluar alternatif yang paling tepat ketika itu. Namun demikian, lagi-lagi harus diingat bahwa hal ini tidak boleh dianggap sebagai sebuah anjuran, apalagi kewajiban. Beberapa kasus di atas dan juga yang sejenis, hanyalah salah satu alasan logis untuk tidak menutuip rapat atau mengunci mati pintu poligami.
Ketiga, bertujuan untuk mensukseskan dakwah Islamiyah.[61] Hal ini tercermin pada tindakan Rasulullah saw. yang telah menikahi para janda, kecuali ‘Aisyah. Lagi-lagi, tujuan utama Rasulullah menikahi mereka adalah untuk kesuksesan dakwah Islamiyahnya, di samping untuk menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami. Kalau diperhatikan, para janda yang dinikahi Rasulullah itu, pada umumnya bukanlah wanita yang memiliki daya tarik yang memikat. Mereka dinikahi Rasulullah setelah beliau bermonogami hingga usia 50 tahun lebih.
Keempat, bahwa fithah pria cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonogami.[62] Hal ini oleh Quraish dijadikan sebagai jawaban atas pertanyaan: mengapa Islam membenarkan pria menghimpun dalam saat yang sama empat orang wanita, sedang wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan seorang pria? Menanggapi persoalan ini, Quraish mengajak kepada penanya untuk melihat realitas dan menjawab beberapa pertanyaan, seperti: "Mengapa negara-negara yang membolehkan prostitusi, melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berperilaku seks bebas, dan tidak melakukannya bagi pasangan sah? Hal ini disebabkan karena wanita pada dasarnya hanya diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang bersih, yakni sperma seorang – sekali lagi seorang – pria. Namun, ketika seorang wanita menjalin hubungan seksual dengan dua orang atau lebih pria, maka ketika itu pula cairan yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan hal ini sangat ­dikhawatirkan akan menjangkitkan penyakit.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka poligami hanya diperbolehkan jika dalam keadaan “darurat” dan harus memenuhi syarat-syarat yang tidak ringan. Syarat itu di antaranya adalah harus mampu berbuat adil.[63] Dalam konteks ini, Quraish menyatakan bahwa yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah dalam hal harta dan perlakuan lahiriah dan bukan pada persoalan cinta (immaterial),[64] sebab keadilan dalam hal immaterial (cinta) tidak akan dapat dilakukan oleh seseorang, bahkan Nabi sekalipun. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nisa’/4: 129, sebagai berikut:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’/4: 129)
Berdasarkan ayat di atas, jelas bahwa keadilan yang dimaksud dalam ayat ini lebih berhubungan dengan keadilan dalam hal immaterial atau cinta dan bukannya keadilan yang bersifat material, sebagaimana yang selama ini disalahpahami kebanyakan orang. Sehingga, ayat ini sering dijadikan – oleh orang yang menolak poligami – sebagai alasan bahwa Islam pada dasarnya tidak membolehkan poligami, sebab berbuat adil terhadap istri-istri itu tidak akan mungkin terwujudkan. Menanggapi ayat di atas Quraish menulis sebagai berikut:

“Keadilan yang dimaksud ayat ini (pen: QS. al-Nisa’/4: 129), adalah keadilan di bidang imaterial (cinta). Itu sebabnya hati yang berpoligami dilarang memperturutkan hatinya dan berkelebihan dalam kecenderungan kepada yang dicintai. Dengan demikian tidaklah tepat menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup pintu poligami serapat-rapatnya”.[65]

Dalam kesempatan yang lain, Quraish menjelaskan bahwa ayat di atas justru memperkuat ayat sebelumnya tentang kebolehan poligami. Penggalan ayat yang berbunyi: “karena itu janganlah kamu terlalu cenderung” kepada yang kamu cintai, menunjukkan bahwa poligami itu diperbolehkan, meskipun keadilan secara mutlak itu tidak dapat diwujudkan.[66] Bahkan ketika menafsirkan tentang makna “keadilan” dalam QS. al-Nisa’/4: 129, lagi-lagi Quraish menegaskan bahwa keadilan dimaksud bukan dalam hal yang bersifat material, tetapi dalam hal imateial atau cinta. Untuk menegaskan persoalan ini Quraish menulis sebagai berikut:

“Keadilan yang tidak dapat diwujudkan itu adalah dalam hal cinta. Bahkan cinta atau suka pun dapat dibagi. Suka yang lahir atas dorongan perasaan dan suka yang atas dorongan akal. Obat yang pahit, tidak disukai oleh siapa pun, ini berdasarkan perasaan setiap orang, tetapi obat yang sama, akan disukai dicari dan diminum karena akal si sakit mendorongnya menyukai obat itu walau ia pahit. Demikian suka atau cinta dapat berbeda. Yang tidak mungkin dapat diwujudkan di sini adalah keadilan dalam cinta atau suka berdasarkan perasaan, sedang suka yang berdasarkan akal, dapat diusahakan manusia, yakni memperlakukan istri dengan baik, membiasakan diri dengan kekurangan-kekurangannya, memandang semua aspek yang padanya, bukan hanya aspek keburukannya. Inilah yang dimaksud dengan janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) dan jangan juga terlalu cenderung mengabaikan yang kamu kurang cintai”.[67]

Berdasarkan data-data di atas, maka yang perlu digarisbawahi adalah bahwa poligami itu diperbolehkan, tetapi hanya sebagai pintu “darurat” saja. Artinya, seorang pria diperbolehkan poligami selama dia menghadapi persoalan-persoalan dan kondisi-kondisi yang mengharuskannya untuk berpoligami. Oleh karena itu, lagi-lagi tidak dibenarkan jika ada yang menyatakan bahwa poligami sebagai sebuah anjuran, apalagi sebagai suatu kewajiban.



3. Kepemimpinan dalam Rumah Tangga
Kepemimpinan dalam rumah tangga ini nampaknya juga menjadi persoalan yang banyak menyedot perhatian para pemikir Islam. Landasan normatif yang sering dijadikan sebagai titik tolak ketika membicarakan persoalan ini adalah QS. al-Nisa’/4: 34. Ayat ini sering dipahami bahwa hak kepemimpinan dalam keluarga hanya ada pada pihak laki-laki (suami). Artinya, perempuan (istri) tidak berhak untuk menjadi pimpinan. Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah ini, berikut akan saya kutipkan terjemahan dari ayat dimaksud, sebagai berikut:

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta`atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. al-Nisa’/4: 34)

Term “qawwamun” yang terdapat pada ayat di atas sering dimaknai sebagai pemimpin. Konsekuansinya, frase “al-rijalu qawwamun ‘ala al-nisa’, sering dipahami bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan. Makna yang demikian inilah yang pada akhirnya banyak menimbulkan kritik, khususnya bagi praktisi gender. Bahkan, menurut mereka ayat ini dirasakan sangat diskriminatif sekali terhadap perempuan. Dan karenanya, model pemahaman yang demikian ini harus didekonstruksi dan dipahami ulang, sehingga akan didapatkan pemaknaan yang berkeadilan gender.
Bagi al-Thabari, frase al-rijal qawwamun ‘ala al-nisa’, lebih dimaknai sebagai “kaum laki-laki berfungsi mendidik dan membimbing istrei-istrei mereka dalam melaksanakan kewajiban terhadap Allah dan para suami”.[68] Sedangkan Al-Zamakhsyari memahami frase tersebut lebih kepada “kaum laki-laki berfungsi sebagai yang memerintah dan melarang kaum perempuan sebagaimana pemimpin berfungsi terhadap rakyatnya”.[69] Sementara itu, Al-Razi lebih memahami ayat itu sebagai “kaum laki-laki berkuasa untuk mendidik dan membimbing isteri-isteri mereka, seolah-olah Dia Yang Maha Tingi menjadikan suami sebagai ‘amir dan pelaksana hukum yang menyangkut hak isteri”.[70] Pemaknaan yang hampir sama juga dikemukkan oleh Ibn Katsir, Al-Alusi, dan juga Muhammad Abduh.
Dari beberapa penafsiran di atas, terlihat dengan jelas bahwa para mufassir pada umumnya memaknai term “qawwamun” lebih kepada “kepemimpinan”. Dalam konteks ini, dapat dipahami bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi istri-istrinya.
Setidaknya ada dua alasan mendasar, kenapa harus laki-laki yang menjadi pemimpin. Pertama, karena Allah telah melebihkan sebagai mereka (laki-laki) atas seabagian yang lain (perempuan), dan kedua, karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka.

a. Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Pandangan Hamka nampaknya juga tidak jauh berbeda dengan para mufasir klasik sebelumnya. Artinya, Hamka juga menjadikan ayat ini sebagai legitimasi atas kepemimpinan lak-laki terhadap perempun. Bahkan, menurut Hamka, ayat ini sebagai jawaban atas beberapa pertanyaan seperti: kenapa dalam pembahagian harta pusaka laki-laki mendapat dua kali bahagian perempuan; mengapa laki-laki yang membayar mahar; mengapa kepada laki-laki jatuh perintah supaya menggauli isterinya dengan baik, dan juga mengapa laki-laki diizinkan beristeri sampai empat orang asal sanggup berlaku adil. Sedangkan perempuan tidak. Menurutnya, laki-laki itulah yang memimpin perempuan, bukan perempuan yang memimpin laki-laki, dan bukan pula sama kedudukannya.
Masih menurut Hamka bahwa laki-laki menjadi pemimpin atas perempuan adalah kenyataan. Bahkan, kenyataan itu tidak hanya terjadi pada umat manusia, tetapi juga pada binatang. Secara ekspresif Hamka menulis sebagai berikut:

"Di dalam ayat ini tidak langsung datang perintah mengatakan wahai laki-laki, wajiblah kamu jadi pemimpin. Atau wahai perempuan, hamu mesti menerima pimpinan. Yang diterangkan lebih dahulu ialah kenyataan. Tidak pun ada perintah, namun kenyataannya memang laki-lakilah yang memimpin perempuan. Sehingga kalau datanglah misalnya perintah, perempuan memimpin laki-laki, tidaklah bisa perintah itu berjalan, sebab tidak sesuai dengan kenyataan hidup manusia. Laki-­laki memimpin perempuan, bukan saja pada manusia bahkan pada binatang pun. Para rombongan itik, itik jantan jugalah yang memimpin berpuluh-puluh itik yang mcngiringkannya. Kera dan beruk di hutan pun mengangkat pemimpin, beruk tua jantan”.[71]

Lebib lanjut Hamka menjelaskan bahwa kenyataan itu bukanlah hanya sekadar realitas sosial, tetapi sudah merupakan naluri atau instink. Laki-laki punya naluri memimpin, sementara perempuan punya naluri dipimpin. Tentang hal ini Hamka menulis:
"Hal ini boleh kita katakan naluri atau instink dari orang permpuan sendiri. Walaupun dalam rumah tangga orang yang masih belum beradab, primitif, atau orang kampung, atau orang modern sekalipun. tinggal di kota, siang-malam membicarakan hak-­hak kaum perempuan. Sedang bertengkar-tengkar di dalam rumah memerkatakan hak dan kewajiban, tiba-tiba datang orang jahat hendak merampok rumah itu. Dengan tidak ada perintah terlebih dahulu yang bersiap menghadapi musuh itu ialah laki-laki, dan yang disuruh oleh laki-laki tadi bersembunyi ialah isteri dan anak-anaknya. Dan kalau ada anak laki-laki yang besar-besar, diperintah mereka, oleh ayahnya sama bertahan dengan dia”.[72]

Karena kepemimpinan laki-laki itu adalah realitas yang tidak dapat dipungkiri, baik ditinjau dari segi jasmani maupun rohani, maka menurut Hamka. kepemimpinan laki-laki itu tidak lagi hanya sekadar kabar dan berita kenyataan, tetapi telah bersifat menjadi perintah, sebab demikianlah irama hidup. Bertambah kecerdasan fikiran manusia, bertambah dia menyetujui hal ini.[73]
Tentang kelebihan laki-laki atas perempuan yang menjadi sebab pertama dari dua sebab kenapa laki-laki yang menjadi pemimpin, Hamka tidak menguraikan panjang lebar. Hamka hanya menyatakan laki-laki punya kelebihan dalam tenaga dan kecerdasan. Karena kelebihan tenaga dan kecerdasan itulah, laki-laki diberi tanggung jawab.
Menanggapi tentang kemungkinan perempuan memiliki nilai lebih dibandingkan laki-laki, Hamka menjelaskan bahwa yang demikian ini jarang sekali terjadi. Karenanya, sesuatu yang jarang terjadi tidak dapat dijadikan sebagai landasan hukum. Dan karenanya, bagi Hamka sesuatu yang jarang terjadi itu di anggap tidak ada.

b. Perspektif Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah
Firman Allah dalam QS. al-Nisa’/4: 34 ini bagi Quraish Shihab adalah lebih berbicara tentang persoalan pembagian kerja antara suami istri. Sebelum membahas pandangan Quraish mengenai hal ini, ada baiknya saya kutipkan terjemahan Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbahnya, sebagai berikut:

“Para lelaki adalah qawwamun atas para wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta`at, memelihara diri ketika tidak di tempat, oleh karena Allah telah memelihara mereka. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan tinggalkanlah mereka di tempat-tempat pembaringan dan pukullah mereka. Lalu jika mereka telah menaati kamu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. al-Nisa’/4: 34)

Menurut Quraish – sebagaimana ulama yang lainnya – bahwa ayat ini merupakan salah satu rujukan untuk memahami tentang pembagian kerja antara suami-istri. Setidaknya ada dua alasan mendasar yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum membahas tentang hak dan kewajiban suami istri sebagaimana pesan yang dapat dipahami dalam ayat ini, yaitu:[74]
1. Adanya perbedaan antara pria dan wanita, bukan saja pada bentuk fisik, tetapi juga dalam bentuk psikis. Ini sebagaimana dikatakan oleh Dr. Alexis Carrel, bahwa perbedaan tersebut berkaitan dengan kelenjar dan darah masing-masing kelamin. Perbedaan-perbedaan ini jugalah yang menjadi landasan pembagian kerja tersebut.
2. Pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak menjadikan salah satu pihak bebas dari tuntutan – minimal dari segi moral – untuk membantu pasangannya. Ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Baqarah/2: 228, yang menyatakan bahwa “bagi laki-laki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat lebih tinggi”.
Bahwa lelaki memiliki “derajat yang lebih tinggi” seperti yang terdapat pada ayat tersebut kemudian dijelaskan dalam surah yang lain yang menyatakan bahwa “para lelaki adalah qawwamun atas para wanita”, al-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’, (QS. al-Nisa’/4: 34).
Quraish Shihab dalam bukunya Wawasan al-Qur’an, memaknai term al-rijal pada ayat al-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ sebagai “suami”. Ini disebabkan karena konsideran perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Di sisi lain, jika yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, menurutnya, konsiderannya tidak berbunyi demikian. Apalagi, ayat ini berbicara dalam konteks kehidupan rumah tangga. Untuk lebih jelasnya saya kutipkan perkataan Quraish mengenai hal ini, sebagai berikut:

“Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat ar-rijalu qauwwamuna ‘alan nisa’, bukan berarti lelaki secara umum, tetapi adalah “suami” karena konsiderans perintah tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata “lelaki” adalah kaum pria secara umum, tentu konsideransnya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tantang para istri dan kehidupan rumah tangga.”[75]

Pendapat dan atau pernyataan Quraish di atas, dalam Tafsir al-Misbah, ternyata diralatnya. Artinya, term al-rijal pada ayat tersebut oleh Quraish tidak lagi dimaknai sebagai “suami”. Sebab, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Thahir Ibn Asyur dalam tafsirnya, ternyata dalam bahasa Arab dan bahkan al-Qur’an pun tidak pernah mengartikan term al-rijal dengan makna suami. Ini sangat berbeda dengan kata al-nisa atau imro’ah yang digunakan untuk makna istri.[76]
Sementara itu, untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang makna qawwamun, yang sering diartikan sebagai “pemimpin”, maka Quraish dalam hal ini melihatnya terlebih dahulu dari perspektif linguistik atau aspek kebahasaan. Menurutnya, bahwa term qawwamun merupakan bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. Term ini sama dengan term yang ada pada perintah mendirikan shalat, yaitu aqimu al-shalah. Meskipun demikian, term tersebut tidak diartikian sebagai “mendirikan shalat”, tetapi lebih kepada melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Dalam konteks ayat ini, meskipun term qawwamun sering diartikan sebagai pemimpin, tetapi makna tersebut belum mampu menggambarkan seluruh makna yang dikehendakinya. Oleh karena itu, Quraish memaknai term tersebut lebih kepada “kepemimpinan” yang mencakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan dan pembinaan. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang masalah ini berikut saya kutipkan perkataan Quraish, sebagai berikut:

“Kata qawwamun adalah bentuk jamak dari kata qawwam, yang terambil dari kata qama. Kata ini berkaitan dengannya. Perintah shalat – misalnya – juga menggunakan akar kata itu. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunah-sunahnya. Seorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai qa'im. Kalau dia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka dia dinamai qawwamun. Ayat di atas menggunakan bentuk jamak, yakni qawwamun sejalan dengan makna kata ar-rijal yang berarti banyak lelaki. Seringkali kata ini diterjemahkan dengan pemimpin. Tetapi – seperti terbaca dari maknanya di atas – agaknya terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Atau dengan kata lain dalam pengertian “kepemimpinan” tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.”[77]

Lalu siapa yang harus menjadi pemimpin? Menurut Quraish, bahwa hak kepemimpinan sebagaimana yang terdapat dalam ayat tersebut, dibebankan kepada lelaki. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sedikitnya ada dua alasan pokok kenapa lelaki layak menjadi pemimpin, yaitu pertama, adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tengga jika dibandingkan dengan istri.[78] Sementara keistimewaan perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Untuk memperkuat pendapatnya ini, Quraish mengutip pendapat Murtadha Muthahhari dalam buku Nizham Huquq al-Mar’ah yang diterjemahkan oleh Abu az-Zahra an-Najafi, sebagai berikut:

“Lelaki secara umum lebih besar dan lebih tinggi dari perempuan; suara lelaki dan telapak tangannya kasar, berbeda dengan suara dan telapak tangan perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari lelaki, tetapi perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki, dan lebih cepat berbicara, bahkan dewasa dari lelaki. Rata-rata bentuk kepala lelaki lebih besar dari perempuan, tetapi jika dibandingkan dari segi bentuk tubuhnya, maka sebenarnya perempuan lebih besar. Kemampuan paru-paru lelalu menghirup udara lebih besar/banyak dari perempuan, dan denyut jantung perempuan lebih cepat dari denyut lelaki.”[79]

Sementara itu, untuk melihat kelebihan laki-laki atas perempuan dari aspek psikis atau kejiwaan, dalam hal ini Quraish mengutip penelitian yang dilakukan oleh seorang psikolog Amerika, Prof. Reek, sebagai berikut:
1. Lelaki biasanya merasa jemu untuk tinggal berlama-lama di samping kekasihnya. Berbeda dengan wanita, ia merasa nikmat berada sepanjang saat bersama kekasihnva.
2. Pria senang tampil dalam wajah yang sama setiap hari. Berbeda dengan wanita yang setiap hari ingin bangkit dari pembaringannya dengan wajah yang baru. Itu sebabnya mode rambut dan pakaian wanita sering berubah, berbeda dengan lelaki.
3. Sukses di mata pria adalah kedudukan sosial terhormat, serta penghormatan dari lapisan masyarakat, sedangkan bagi wanita adalah menguasai jiwa raga kekasihnya dan memilikinya sepanjang hayat. Karena itu pria – di saat tuanya – merasa sedih, karena sumber kekuatan mereka telah tiada, yakni kemampuan untuk bekerja, sedang perempuan merasa senang dan rela karena kesenangannya adalah di rumah bersama suami dan anak cucu.
4. Kalimat yang paling indah didengar oleh wanita dari pria, menurut Prof. Reek, adalah, "Kekasihku, sungguh aku cinta padamu," sedang kalimat yang indah diucapkan oleh wanita kepada pria yang dicintainya adalah, "Aku bangga padamu.”[80]
Dalam kesempatan yang sama, Quraish juga mengutip pendapat seorang psikolog wanita, Cleo Dalon, yang telah menemukan dua hal penting pada diri wanita, yaitu (1) wanita lebih suka bekerja di bawah pengawasan orang lain; dan (2) wanita ingin merasakan bahwa ekspresi mereka mempunyai pengaruhi terhadap orang lain serta menjadi kebutuhan orang lain. Dari dua hal tersebut, kemudian Dalaon merumuskan sebagai berikut:

“Menurut hematku, kedua kebutuhan psikis ini bersumber dari kenyataan bahwa perempuan berjalan di bawar pimpinan perasaan sedang lelaki di bawah pertimbangan akal. Walaupun kita sering mengamati bahwa perempuan bukan saja menyamai lelaki dalam hal kecerdasan, bahkan terkadang melebihinya. Kelemahan utama wanita adalah pada perasaannya yang sangat halus. Lelaki berpikir secara praktis, menetapkan, mengatur, dan mengarahkan. Wanita harus menerima kenyataan bahwa mereka membutuhkan kepemunpinan lelaki atasnya.”[81]

Menurut Quraish, secara umum beberapa pendapat di atas sejalan dengan petunjuk ayat yang sedang dibahas ini. Namun demikian, tidak sewajarnya menilai perasaan wanita yang sangat halus itu sebagai kelemahan. Bahkan, itulah salah satu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh pria. Dalam konteks ayat yang sedang dibahas ini, keistimewaan itu amat dibutuhkan oleh keluarga, khususnya dalam rangka memelihara dan membimbing anak-anak.[82]
Kedua, adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota keluarganya.[83] Pemahaman ini, dapat dilihat dari kata anfaqu yang menggunakan bentuk kata kerja past tense/masa lampau, yang berarti “telah menafkahkan”. Ini artinya bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi suatu kelaziman bagi lelaki, serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Penyebutan konsideran itu oleh ayat ini menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini.
Masih menurut Quraish, bahwa dalam konteks kepemimpinan dalam keluarga, alasan kedua ini dirasa cukup logis. Bukankah dibalik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi pada hakikatnya ketetapan ini bukan hanya di atas pertimbangan materi.
Atas dasar ini, – yakni keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan dan anak-anak – maka hak-hak suami harus dipenuhi oleh seorang istri. Demikian juga, suami harus dita’ati oleh istri dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai Rasulullah saw. bersabda, “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepeda seseorang, niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya”. Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri seksualnya.
Meskipun demikian, pembagian kerja yang ditetapkan oleh agama ini – bahwa lelaki memiliki derajat lebih tinggi atas perempuan – tidak secara otomatis membebaskan masing-masing pasangan untuk membantu pasangannya. Bahkan kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada suami ini, tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan.
Lalu bagaimana dengan adanya kenyataan bahwa terdapat istri-istri yang memiliki kemampuan berpikir dan meteri melebihi kemampuan suami? Menanggapai persoalan ini, Quraish menyatakan bahwa hal ini merupakan suatu kasus yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.[84] Artinya, jika ditemukan keadaan yang demikian, – istri memeiliki kelebihan di banding suami – maka tidak secara otomatis perempuan kemudian dapat memproklamirkan diri sebagai pemimpin atau kepala rumah tangga.
Berdasarkan kenyataan di atas, dapat dipahami bahwa menurut Quraish Shihab, kepemimpinan dalam rumah tangga tetap menjadi tanggungjawab seorang lelaki atau suami. Ini lebih disebabkan kerena suami di samping memiliki kelebihan-kelebihan yang bersifat fisik maupun psikis, tetapi juga karena suami dibebani oleh agama untuk menafkahi semua anggota keluarganya. Jikalau kemudian ditemukan yang sebaliknya, yakni perempuan memiliki kelebihan di banding suami, maka yang demikian hanya bersifat kasuistik, yang tidak dapat dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat umum.

C. Kesetaraan dalam Kewarisan


Lalu bagaimana pandangan Quraish Shihab tentang persoalan kewarisan ini? Apakah laki-laki tetap akan mendapatkan bagian harta warisan dua kali lipat dari bagian perempuan, sebagiamana bunyi teks ayat? Atau akan mendekonstruksi dan menafsirkan ulang atas ketentuan Allah itu, sehingga tidak terkesan diskriminatif dan juga berkeadilan jender? Lagi-lagi, sebelum membahas lebih jauh tentang masalah ini, berikut saya kutipkan terjemahan Quraish tentang teks ayat tersebut, sebagai berikut:

“Allah mewasiatkan kamu untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh setengah. Dan untuk dua orang ibu-bapaknya, bagi masing-masing dari keduanya seperenam dari yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika ia tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut) sesudah (dipenuhi) wasiat atau utangnya. Orang tua kamu dan anak-anak kamu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat manfa`atnya bagi kamu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Nisa’/: 11)

Menurut Quraish, ayat ini merupakan perincian atas bagian waris, baik lelaki maupun perempuan yang telah ditingal mati oleh bapak-ibu dan kerabatnya, yang telah ditsebutkan pada ayat sebelumnya. Ayat tersebut menegaskan bahwa baik anak lelaki maupun perempuan, kesemuanya mendapat hak yang sama, yaitu sama-sama menerima harta warisan atas kekayaan yang ditinggalkan oleh bapak-ibunya dan kerabatnya yang meninggal dunia. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, berikut saya kutipkan ayat dimaksud, sebagai berikut:

“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan.” (QS. al-Nisa’/4: 7)

Sekalipun pada ayat ini, baik anak laki-laki maupun perempuan sama-sama menerima hak waris, lagi-lagi, pada ayat 11 surat al-Nisa’ di atas, Allah swt, telah menetapkan dan memerinci bagiannya masing-masing. Di sebutkan pada ayat tersebut bahwa bagian anak laki-laki yang ditinggal mati oleh bapak-ibunya, mendapatkan dua kali lipat dari anak perempuan (lidzdzakari mitslu hazhzhi al-untsayain).
Menurut Quraish, jika redaksi ayat tersebut berbunyi demikian, bukan berarti ayat tersebut sebagai bentuk penindasan dan atau sikap ketidak adilan terhadap anak perempuan tentang soal harta warisan, tetapi, justru ayat ini ingin menegaskan bahwa anak perempuan sebenarnya juga memiliki hak yang sama dengan anak laki-laki. Yakni, mereka sama-sama berhak menerima harta warisan. Sebab, pada masa Jahiliyyah, anak-anak perempuan tidak pernah memiliki hak sama sekali atas harta warisan ini. Jangankan mendapatkan bagian warisan, perempuan justru menjadi objek yang diwariskan. Ketika menjelaskan tentang soal perbandingan pembagian harta waris tersebut, Quraish menulis sebagai berikut:

“Firman-Nya: lidzdzakari mitslu hazhzhi al-untsayain/bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; mengandung penekanan pada bagian anak perempuan. Karena dengan dijadikannya bagian anak perempuan sebagai ukuran buat bagian anak lelaki, maka itu berarti, sejak semula – seakan-akan sebelum ditetapkannya hak anak lelaki – hak anak perempuan telah terlebih dahulu ada. Bukankah jika Anda akan mengukur sesuatu, terlebih dahulu Anda harus memiliki alat ukur, baru kemudian menetapkan kadar ukuran sesuatu itu? Penggunaan redaksi ini, adalah untuk menjelaskan hak perempuan memperoleh warisan, bukan seperti yang diberlakukan pada masa Jahiliah.”[85]

Dalam konteks keadilan gender, mungkin akan muncul pertanyaan yang lebih bersifat substatntif ketimbang sekadar penjelasan di atas, seperti: mengapa perbandingannya yang ditetapkan Allah sedemikian itu? Yakni, satu banding dua? Apakah yang demikian ini, lagi-lagi, tidak diskriminatif? Dengan demikian, ayat ini tidak berkeadilan jender?
Menanggapi beberapa kritik tentang persoalan ini, baik yang dilontarkan oleh non-muslim amupun kaum muslimin sendiri, Quraish Shihab berusaha untuk menjelaskannya berdasarkan konteks ayat kewarisan ini diturunkan. Artinya, ketika menjelaskan ayat tentang kewarisan ini, kita tidak boleh hanya berhenti pada persoalan yang bersifat parsial dan mengabaikan pandangan dasar dan menyeluruh tentang ajaran Islam itu sendiri. Sebab, melepaskan masalah juz’i dari induknya pasti akan menimbulkan kekeliruan. Mengenai hal ini Quraish mengatakan sebagai berikut:

“Dapat dipastikan bahwa kritik-kritik itu, diakibatkan oleh titik tolak yang keliru antara lain karena memandang ketentuan­-ketentuan tersebut secara parsial, dengan mengabaikan pandangan dasar dan menyeluruh ajaran Islam. Memang memandang masalah juz’i terlepas ­dari induknya pasti menimbulkan kekeliruan, seperti juga kekeliruan memahami satu teks atau ucapaan terlepas dari konteksnya. Bahkan pemahaman demikian bukan saja mengundang kesalahpahaman ata­u kesalahan, tetapi juga dapat menggugurkan sekian banyak prinsip. …Karena itu, merupakan kekeliruan besar memisahkan antara satu hukum syara' yang bersifat juz'i dengan pandangan dasarnya yang menyeluruh. Siapa yang menafsirkan satu teks keagamaan atau memahami ketentuan hukum agama terpisah dari pandangan menyeluruh agama itu tentang Tuhan, alam, dan manusia – pria dan wanita – pasti akan terjerumus dalam kesalahpahaman penilaian, dan ketetapan hukum parsial yang keliru. Termasuk dalam hal ini pandangan Islam tentang waris, khususnya menyangkut hak pria dan wanita.”[86]

Oleh karena itu, menurut Quraish lebih lanjut, dalam persoalan ini tidak mungkin untuk mempersamakan antara laki-laki dan perempuan, baik dari perspektif ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara keduanya, mau tidak mau harus diakui keberadannya. Bahkan mempersamakannya akan menciptakan manusia baru, yaitu bukan laki-laki dan bukan pula perempuan. Secara tegas Quraish menjelaskan sebagai berikut:

“Sangat sulit untuk menyatakan bahwa perempuan sama dengan lelaki, baik atas nama ilmu pengetahuan maupun agama. Adanya perbedaan antara kedua jenis manusia itu harus diakui, suka atau tidak. Mempersamakannya hanya akan menciptakan jenis manusia baru, bukan lelaki bukan pula perempuan. Kaidah yang menyatakan fungsi/peranan utama yang diharapkan menciptakan alat, masih tetap relevan untuk dipertahankan. Tajamnya pisau dan halusnya bibir gelas, karena fungsi dan peranan yang diharapkan darinya berbeda! Kalau merujuk kepada teks keagamaan – baik al-Qur'an maupun Sunnah – ditemukan tuntunan dan ketentuan hukum yang disesuaikan dengan kodrat, fungsi dan tugas yang dibebankan kepada mereka.”[87]

Dalam perspektif ini, pembagian kewarisan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah – seperti yang tercermin dalam ayat di atas – dengan dua banding satu, tidak perlu lagi dimodifikasi. Menurut Quraish, laki-laki berhak mendapatkan dua kali lipat dari bagian perempuan disebabkan oleh karena laki-laki dibebani oleh agama untuk membayar mahar, membelanjai istri dan anak-anaknya, sementara perempuan tidak demikian. Bahkan, menurutnya lebih lanjut, dalam konteks pembagian waris ini, justru perempuan yang lebih diuntungkan ketimbang laki-laki. Atau dengan kata lain, Allah dalam konteks ini lebih berpihak kepada perempuan ketimbang kepada laki-laki. Secara ekspresif Quraish mengatakan sebagai berikut:

“Pria dibebankan oleh agama membayar mahar, membelanjai istri dan anak-anaknya, sedang perempuan tidak demikian. Maka bagaimana mungkin, al-Qur’an dan Sunnah akan mempersamakan bagian mereka? Bahkan, boleh jadi tidak keliru pendapat asy-Sya’rawi yang menyatakan bahwa jika berbicara tentang kepemihakan, maka sebenarnya al-Qur'an lebih berpihak kepada perempuan yang lemah itu daripada lelaki. Lelaki membutuhkan istri tetapi dia yang harus membelanjainya. Wanita juga membutuhkan suami tetapi dia tidak wajib membelanjainya, bahkan dia yang harus dicukupi kebutuhannya. Kalau kita berkata bahwa lelaki harus membelanjai wanita, maka bagiannya yang dua kali lebih banyak dari wanita sebenarnya ditetapkan Allah untuk dirinya dan istrinya. Seandainya dia tidak wajib membelanjainya, maka setengah dari yang seharusnya dia terima itu dapat mencukupinya. Di sisi lain, bagian wanita yang satu itu, sebenarnya cukup untuk dirinya – sebagaimana kecukupan satu bagian buat pria seandainya dia tidak nikah. Tetapi jika wanita nikah, maka keperluan hidupnya ditanggung oleh suami, sedang bagiannya yang satu dia dapat simpan tanpa dia belanjakan. Nah, siapakah yang habis dan siapa pula yang utuh bagiannya jika dia nikah? Jelas lelaki, karena dua bagian yang dimilikinya harus dibagi dua, sedang apa yang dimiliki oleh wanita tidak digunakannya sama sekali. Jika demikian, dalam soal waris mewarisi ini, keberpihakan Allah kepada perempuan lebih berat daripada keberpihakan­-Nya kepada lelaki.”[88]

Masih soal pembagian waris ini, Quraish nampaknya sependapat dengan Thabathaba'i yang mengatakan bahwa pemberian untuk lelaki dua kali lipat pemberian untuk perempuan, bukan saja di samping mereka mempunyai kewajiban memberi nafkah kepada istri dan keluarganya, tetapi juga karena lelaki memiliki keistimewaan dalam bidang pengendalian emosi yang lebih tinggi dari wanita. Ini menunjukkan bahwa pengendalian harta atas dasar pertimbangan akal harus didahulukan daripada pengendaliannya atas dasar emosi. Selanjutnya, perintah berbuat adil dalam memperlakukan keluarga, mengantar lelaki untuk menafkahkan sebagian dari dua bagian yang dimilikinya itu untuk istri dan keluarganya. Dengan keistimewaan wanita dalam bidang kehalusan perasaan, rahmat dan kasih sayang, serta kemampuan lelaki dalam pengendalian emosi, maka tercipta kerjasama yang baik antara keduanya, dan dari sanalah bermula kehadiran masyarakat sejahtera.[89]
Untuk memperkuat argumentasinya tentang persoalan ini, Quraish mengutip pendapat ulama dalam kitab tafsir al-Muntakhab yang disusun oleh sekelompok ulama terkemuka dan pakar Mesir. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa sistem pembagian harta warisan yang dijelaskan al-Qur'an, merupakan aturan yang paling adil dalam semua perundangan yang dikenal selama ini. Secara garis besar keadilan sistem tersebut terangkum dalam hal-hal berikut:[90]
Pertama, hukum waris ditetapkan oleh syariat bukan oleh pemilik harta, tetapi itu tanpa mengabaikan keinginan pemilik, karena ia masih berhak menentukan sepertiga dari harta yang ditinggalkannya itu sebagai wasiat kepada siapa yang dinilainya membutuhkan atau wajar diberi selain dari yang berhak menerima bagian warisan. Tetapi wasiat itu tidak boleh dilaksanakan bila bermotifkan maksiat atau mendorong berlanjutni-a kemaksiatan.
Kedua, harta waris yang ditetapkan Allah pembagiannya itu, diberikan kepada kerabat yang terdekat, tanpa membedakan antara yang kecil dan yang besar. Anak-anak mendapat bagian yang lebih banyak dari lainnya karena mereka merupakan pelanjut dari orang tuanya yang meninggal yang pada galibnya masih lemah. Meskipun demikian, selain mereka masih ada ­yang berhak menerima seperti ibu, nenek, bapak, kakek, walau dalam jumlal yang lebih kecil.
Ketiga, dalam pembagian diperhatikan juga sisi kebutuhan. Atas dasar ini, bagian anak menjadi lebih besar. Sebab kebutuhan mereka lebih banyak dan mereka diduga masih akan menghadapi masa hidup yang lebih panjang. Pertimbangan kebutuhan ini pula yang menjadikan bagian perempuan separuh dari bagian lelaki sebab kebutuhan lelaki terhadap harta lebih besar, seperti tuntutan memberi nafkah kepada anak dan istri. Hal ini sesuai dengan ­fitrah manusia di mana wanita bertanggung jawab mengatur rumah dan mengasuh anak, sedangkan lelaki bekerja mencari nafkah diluar rumah da menyediakan anggaran kebutuhan rumah tangga. Demikian keadilan diukur dengan kebutuhan, karena bukanlah keadilan apabila keduanya diperlakukan sama sementara tuntutan kebutuhan dan kewajiban masing­-masing berbeda.
Keempat, ketentuan pembagian warisan ini, adalah distribusi, bukan monopoli. Sehingga harta warisan tidak hanya dibagikan kepada anak sulung saja, atau laki-laki saja atau anak-anak yang meninggal saja. Kerabat yang lain, seperti orang tua, saudara, paman, juga berhak. Bahkan hak waris juga bisa merata dalam satu suku, meskipun dalam prakteknya diutamakan dari yang terdekat. Hampir tidak pernah terjadi, harta warisan diterima oleh satu orang saja.
Kelima, wanita tidak dihalangi menerima warisan, seperti yang terjadi dalam masyarakat Arab dahulu. Dengan demikian, Islam menghargai wanita dan memberikan hak-haknya secara penuh. Bahkan hukum waris ini memberi juga bagian warisan kepada kerabat pihak perempuan, seperti saudara lelaki dan perempuan dari ibu. Hal ini merupakan penghargaan terhadap wanita, yang sebelumnya belum pernah terjadi.
Berdasarkan data-data di atas, jelas dalam konteks pembagian warisan ini Quraish Shihab tetap berpegang pada bunyi teks yang menyatakan bahwa laki-laki mendapatkan harta warisan dua kali lipat daripada perempaun. Aturan dan ketentuan Allah yang demikian ini harus diindahkan oleh semua umat Islam, tanpa terkecuali. Artinya, tidak seorang pun boleh merubah ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah ini, seperti alasan keadilan jender, misalnya. Sebab, ketentuan-ketentuan itu, sebenarnya telah memenuhi rasa keadilan, baik dari sisi laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, siapa yang tidak mengindahkan hal ini, lagi-lagi Allah memberikan dua sanksi sekaligus, yaitu memasukkannya ke dalam neraka dalam keadaan kekal, dan siksa yang pedih. Allah berfirman sebagai berikut:

“Itu adalah batas-batas Allah. Barangsiapa yang ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah keberuntungan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. al-Nisa’/4: 13-14).


D. Kesetaraan dalam Kenabian
Dalam banyak ayat, diktum al-Qur’an sering menyebutkan bahwa Nabi atau Rasul adalah seorang laki-laki, dan tidak ada yang berjenis kelamin perempuan. Sehingga, banyak para ulama yang kemudian mendefinisikan Nabi sebagai manusia biasa, laki-laki, yang dipilih oleh Allah untuk menerima wahyu.[91] Sebagai manusia, Nabi dan Rasul juga hidup seperti manusia pada umumnya. Hal ini sebagaimana firman Allah:

“Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. al-Kahfi/18: 110)

Bahkan, diktum al-Qur’an sangat eksplisit sekali menyebut bahwa Nabi atau Rasul adalah seorang laki-laki. Untuk mendapatkan gambaran tentang masalah ini berikut saya kutipkan beberapa ayat al-Qur’an yang menegaskan masalah ini, sebagai berikut:

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf/12: 109)

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” (QS. al-Nahl/16: 43)

‘Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. al-Anbiya/21: 7)

Beberapa ayat al-Qur’an, sebagaimana saya kutip di atas nampaknya sangat bias gender. Artinya, al-Qur’an selalu menegaskan bahwa Nabi atau Rasul itu haruslah seorang laki-laki. Dan tidak ada, Nabi atau Rasul yang berjenis kelamin perempuan? Persoalannya adalah, apakah ayat-ayat tadi harus dipahami demikian, atau ada makna lain yang ingin diusung al-Qur’an sehubungan dengan masalah ini?. Problem inilah yang akan dijadikan sebagai titik tolak untuk mengetahui penafsiran, baik oleh Hamka maupun Quraish Shihab.

1. Perspektif Hamka Dalam Tafsir Al-Azhar
Menurut Hamka, yang dimaksud dengan term rijalan, baik yang terdapat dalam QS. al-Anbiya' ayat 7, QS. Yusuf/12: 109, maupun QS. Al-Nahl/16: 143 adalah laki-laki. Pemahaman seperti itu langsung terlihat pada terjemahan terhadap ketiga ayat tersebut. Penulis kutip terjemahan salah satu di antaranya:

"Dan tidaklah Kami utus sebelum engkau melainkan orang-orang laki­-laki yang Kami wahyukan kepada mereka, dari ahli negeri-negeri itu (sendiri). Apakah mereka lidak berjalan di bumi, supaya mereka pandangi betapa akibat orang-orang yang sebelum mereka? Dan sesungguhnya negeri akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Apakah tidak kamu fikirkan? (Q.S. Yusuf /12:109)`

Dalam menafsirkan ayat di atas, Hamka menyatakan Rasul-rasul yang diutus oleh Allah SWT itu semuanya tidak hanya laki-laki, tetapi laki-laki sejati, yaitu laki-laki yang mempunyai keberanian bertanggungjawab dan kesanggupan menderita. Sebagai penegak kehendak Ilahi di muka bumi, mereka menghadapi kewajiban dengan tabah dan kuat. Sayangnya, Hamka sama sekali tidak menyinggung dalam konteks apa Allah perlu menegaskan bahwa semua Rasul yang diutus sebelum Nabi Muhammad itu laki­-laki, bukan perempuan.
Dengan demikian, jelas bahwa menurut Hamka tidak ada seorang Nabi atau Rasul yang berjenis kelamin perempuan. Baginya, Nabi atau rasul adalah harus seorang laki-laki. Sebab, tugas yang begitu berat ini nampaknya hanya bisa dibebankan hanya kepada laki-laki yang secara fisik memiliki kelebihan dibandingkan perempuan. Tentu, laki-laki di sini adalah tidak sembarang laki-laki, tetapi harus lelaki yang sejati.

2. Perspektif Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah
Sebelum membahas pandangan dan penafsiran Quraish Shihab tentang konsep kenabian, akan saya kutipkan terlebih dahulu terjemahan Quraish Shihab dari masing-masing ayat yang dijadikan pijakan – bagi para feminis – dalam hal kesetaraan kenabian ini, sebagai berikut:

“Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?” (QS. Yusuf/12: 109)

“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. al-nahl/16: 43)

“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui”. (QS. al-Anbiya’/21: 7)

Dari ketiga ayat di atas, tampak bahwa Quraish menterjemahkan term rijal dengan “laki-laki”. Namun demikian, Quraish sama sekali tidak memaknainya sebagaimana bunyi teks ayat. Artinya, ketika menafsirkan ketiga ayat tersebut Quraish lebih memahaminya sebagai “manusia pilihan yang istimewa, atau manusia-manusia biasa namun mereka adalah manusia pilihan”.[92] Ayat ini pada dasarnya menegaskan dan sekaligus sebagai bantahan atas penolakan atas orang-orang musyrik yang menghendaki bahwa seorang nabi atau rasul haruslah malaikat. Menurut mereka manusia tidaklah pantas menjadi seorang utusan atau rasul, atau setidaknya seorang rasul haruslah disertai oleh malaikat. Lagi-lagi, ayat di atas merupakan bantahan al-Qur’an terhadap penolakan mereka dan menegaskan bahwa Allah tidak mengutus sebelum kamu kecuali orang-orang laki-laki. Ketika menafsirkan QS. al-Nahl/16: 43, Quraish menulis sebagai berikut:

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu kepada umat manusia kapan dan di mana pun, kecuali orang-orang lelaki, yakni jenis menusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada mereka antara lain melalui malaikat jibril; maka wahai orang-orang yang ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahl al-Dzikr, yakni orang-orang yang berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.[93]

Beberapa ayat di atas, pada dasarnya juga dapat dijadikan sebagai landasan untuk mematahkan penolakan kaum musyrikin terhadap kerasulan Muhammad. Menurut Quraish, sedikitnya ada dua alasan mendasar yang dapat digunakan untuk mematahkan anggapan kaum musyrikin terhadap kerasulan Muhammad, yaitu:[94] pertama, kenabian dan kerasulan tidaklah bertentangan dengan kemanusiaan. Ini terbukti bahwa manusia terdahulu pun banyak yang juga diutus sebagai nabi-nabi dan rasul-rasul Allah. Kedua, perbedaan antara nabi dan manusia bukanlah pada tidak adanya sifat-sifat kemanusiaan pada diri seorang nabi atau rasul, tetapi perbedaannya adalah penerimaan wahyu Ilahi, sedang penerimaan wahyu bukanlah sesuatu yang dapat diusahakan oleh manusia, tetapi semata-mata anugerah Allah swt. bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Dalam konteks kenabian, apakah nabi harus seorang laki-laki atau juga perempuan, maka ketika menjelaskan term rijal yang terdapat dalam beberapa ayat yang telah disebutkan, Quraish menyatakan bahwa term rijal tidak selalu diartikan sebagai jenis kelamin lelaki, meskipun pada umumnya term tersebut memang berarti demikian. Menurutnya, term itu digunakan juga untuk menunjuk manusia yang memiliki keistimewaan atau ketokohan, atau ciri tertentu yang membedakan mereka dari yang lain.[95] Untuk membuktikan kebenaran tesisnya ini, Quraish mengutip ayat lain yang juga menggunakan term rijal, seperti berikut:

“Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki (rijalun) di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan” (QS. al-Jin/72: 6)

“Dan orang-orang yang di atas A`raf memanggil beberapa orang laki-laki (rijalan) yang mereka mengenalnya dengan tanda-tandanya dengan mengatakan: "Harta yang kamu kumpulkan dan apa yang selalu kamu sombongkan itu, tidaklah memberi manfa`at kepadamu". (QS. al-A’raf/7: 48)

Menurut Quraish, term rijal yang terdapat pada dua ayat di atas, meskipun bermakna laki-laki, tentu yang dimaksud pada ayat itu tidak hanya terbatas pada laki-laki semata, tetapi juga perempuan.[96] Pada kesempatan yang lain, ketika menafsirkan QS. al-Anbiya’/21: 7-8, Quraish menjelaskan sebagai berikut:

“Pendapat banyak ulama itu (pen: semua nabi dan rasul adalah laki-laki), tentu saja dapat dibenarkan jika yang dimaksud dengan kata rijal pada ayat ini adalah jenis kelamin lelaki. Tetapi perlu dicatat bahwa al-Qur'an tidak selalu menggunakan kata rijal dalam arti jenis kelamin lelaki. Kata itu bisa juga digunakan untuk menunjuk kepada manusia – baik laki-laki maupun perempuan - selama mereka memiliki keistimewaan, atau ketokohan, atau ciri tertentu yang membedakan mereka dari yang lain”.[97]

Berdasarkan kutipan di atas, dapat dipahamai bahwa sekalipun Quraish sendiri tidak menyatakan secara eksplisit bahwa ada nabi yang berjenis kelamin perempuan, namun nampaknya Quraish juga mengakui bahwa nabi atau rasul itu di samping berjenis kelamin laki-laki juga ada yang berjenis kelamin perempuan. Artinya, bahwa nabi atau rasul itu tidak semuanya berjenis kelamin laki-laki, tetapi juga ada sebagiannya yang berjenis kelamin perempuan, selama mereka itu memiliki kelebihan atas manusia yang lainnya, dan tentu harus menjadi pilihan Tuhan. Tentang siapa-siapa nabi perempuan itu, nampaknya Quraish dalam hal ini juga tidak menjelaskannya.
Menurutnya lebih lanjut, bahwa seorang nabi dan rasul dibedakan dengan manusia yang lainnya karena “mereka itu diberi wahyu” (nuhi ilaihim).[98] Wahyu dan bimbingan Ilahi inilah yang membedakan mereka dengan manusia biasa. Namun demikian, perlu diingat bahwa manusia biasa pun berbeda-beda, walau sama-sama manusia. Ada yang memiliki penampilan fisik yang lebih baik dari yang lain, dan ada juga yang memiliki keunggulan akliah dan ruhaniah melebihi yang lain. Kendati semua adalah manusia biasa.
Para nabi memiliki keistimewaan dan keunggulan-keunggulan yang menjadikan Allah memilih mereka di antara manusia-manusia biasa yang lain. Allah menganugerahi mereka tuntunan berupa wahyu yang tidak dianugerahi-Nya kepada manusia biasa yang lain, sehingga dengan pewahvuan itu, mereka – walau tetap merupakan manusia biasa – berbeda dari segi kualitas kepribadiannya dengan manusia-manusia yang lain. Ini serupa dengan batu. Ada batu permata yang digunakan sebagai hiasan, serta disimpan dengan sangat hati-hati karena keistimewaannya, dan ada juga batu yang tidak berharga, diabaikan, bahkan dijadikan alat untuk melontar sesuatu. Keduanya adalah batu, tetapi ini memiliki keistimewaan dan itu tidak.
Masih menurut Quraish, bahwa para nabi dan rasul serta saya dan Anda adalah manusia biasa. Kita semua makan dan minum, memiliki dua mata dan lain-lain, tetapi para nabi dan rasul memiliki keistimewaan yang kita tidak miliki, yaitu bahwa mereka mendapat bimbingan langsung berupa wahyu Ilahi, sedang kita menerimanya melalui mereka. Pengetahuan, kebersihan hati dan kecerahan pikiran kita pun jauh berbeda dengan apa yang menghiasi diri para nabi dan rasul itu.


E. Kesetaraan dalam Ruang Publik
Dalam konteks feminisme, kita mengenal dua peran, yaitu peran domestik dan peran publik. Untuk peran yang disebutkan terakhir lebih memberikan peluang bagi perempuan untuk aktif di luar rumah, baik dalam rangka mencari nafkah atau peran masyarakat lainnya, seperti sosial, politik, pendidikan, dan lainnya. Sementara yang disebut pertama lebih merujuk pada peran perempuan dalam rumah tangga, baik sebagai istri maupun ibu.
Dalam konteks kesetaraan gender, yang menjadi persoalan adalah bolehkan perempuan mengambil peran publik seperti halnya laki-laki? Atau perempuan hanya memiliki peran dalam ruang domestik saja. Sebab, jika kita merujuk pada al-Qur’an, ada ayat yang secara eksplisit membatasi peran perempuan dalam ruang publik. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Ahzab/33: 33, yaitu:

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (QS. al-Ahzab/33: 33)

Ayat 33 ini adalah bagian dari rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang ketentuan-ketentuan Allah untuk para isteri Nabi. Pesan-pesan untuk para isteri Nabi itu dimulai dari ayat 28 sampai dengan ayat 34. Di antaranya dalam ayat 33 ini Allah memerintahkan kepada para isteri Nabi untuk tetap di rumah dan tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu. Pada ayat sebelumnya (ayat 32) Allah juga melarang para isteri Nabi berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka. Sebab sikap berbicara seperti itu bisa mengundang keinginan laki-laki yang di hati mereka ada keinginan berbuat serong. Di samping merupakan dosa besar, Tentu akan menjadi skandal besar dan menggemparkan jika sampai terjadi hubungan yang tidak benar antara istri Nabi dengan sahabat. Apalagi para isteri Nabi sudah diangkat menjadi ibu-ibu bagi semua orang-orang yang beriman.
Pertanyaannya adalah, apakah ketentuan ini khusus untuk para isteri Nabi sebagaimana yang tersurat dalam ayat atau juga berlaku untuk perempuan­perempuan muslimah lainnya? Berikut ini akan diuraikan pandangan Hamka dan Quraish Shihab mengenai persoalan yang sedang dibicarakan ini.

1. Perspektif Hamka dalam Tafsir Al-Azhar
Hamka dalam tafsirnya, ketika menafsirkan frase: wa qarna fi buyutikunna, menyatakan bahwa istri-istri Nabi hendaklah memandang bahwa rumahnya itulah tempat tinggalnya yang tentram dan aman. Menurutnya, di sanalah akan didapatkan mawaddatan dan rahmatan, yaitu cinta dan kasih sayang. Dengan di rumah itu, ia akan menjadi ibu rumah tangga yang terhormat.[99] Dalam konteks ayat ini, nampaknya Hamka tidak menyinggung bahwa dengan ayat tersebut istri Nabi tidak diperkenankan atau dibatasi ke luar rumah.
Namun demikian, Hamka menjelaskan bahwa khithab ayat itu secara khusus tidak hanya ditujukan kepada istri-istri Nabi semata, tetapi juga ditujukan kepada perempuan yang beriman pada umumnya. Berikut saya kutipkan perkataan Hamka mengenai masalah ini:

“Inilah pedoman pokok yang diberikan Allah dan rasul terhadap istri Nabi seluruhnya dan setiap perempuan yang beriman. Meskipun pangkal ayat dikhususnya kepada istri Nabi, bukanlah berarti bahwa perintah dan peringatan ini hanya khusus kepada itsri Nabi saja. Bukan berarti bahwa seorang perempuan Islam yang bukan istri Nabi boleh berhias secara jahiliah, agar mata orang terpesona melihat perempuan berpakaian namun dia sama dengan bertelanjang. Sebab maksudnya berhias bukan untuk suaminya, melainkan buat menarik mata laki-laki lain, biar tergila-gila”.[100]

Dari kutipan di atas, jelas sekali pandangan Hamka mengenai persoalan ini. Menurutnya, bahwa khithab ayat ini tidak secara khusus diperuntukkan bagi istri-istri Nabi semata, tetapi juga diperuntukkan bagi perempuan beriman. Artinya, sekalipun, pada kutipan itu Hamka menekankan kepada larangan berhias dengan cara jahiliyah, tetapi karena larangan itu berada dalan satu ayat dengan perintah menetap di dalam rumah, tentu tidak bisa tidak kedua-duanya berlaku juga untuk perempuan-perempuan lain selain istri-istri nabi.

2. Perspektif Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah
Dalam konteks keterlibatan perempuan dalam ruang publik atau politik, Quraish menyatakan bahwa tidak ada satu pun ketentuan agama yang melarangnya untuk terlibat aktif di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, berikut saya kutipkan pernyataan Quraish mengenai hal ini:

“Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuan agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak tersebut”.[101]

Menurut Quraish, ayat al-Qur’an dan hadis yang sering dijadikan landasan oleh sebagian ulama tentang tidak bolehnya perempuan terlibat dalam bidang politik, lebih berbicara dalam konteks yang spesifik. Ayat al-Qur’an surah al-Nisa’/4: 34, misalnya, berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga, dan bukan dalam konteks kepepimpinan secara umum.
Sementara hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, al-Nasa’i dan al-Turmudzi melalui Abu Bakrah, yang berbicara tentang kepemimpinan perempuan juga berbicara dalam konteks yang lebih khusus, bukan dalam pengertian umum. Ini dapat dilihat dari redaksi hadis tersebut secara utuh sebagai berikut:

“Ketika Rasulullah saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau bersabda: “Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempyan”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, al-Nasa’i dan al-Turmudzi melalui Abu Bakrah)

Dalam konteks ini, Quraish menyatakan bahwa hadis di atas hanya secara khusus diperuntukkan bagi masyarakat Persia ketia itu, dan tidak berlaku bagi semua masyarakat dalam semua urusan.[102]
Oleh karena itu, salah satu ayat yang dapat dirujuk untuk menegaskan tentang hak-hak perempuan dalam bidang politik adalah QS. al-Taubah/9: 71, sebagai berikut:

“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah awliya’ bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat leh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. al-Taubah/9: 71)

Menurut Quraish, ayat di atas secara umum berbicara tentang kewajiban melakukan kerjasama antara lelaki dan perempuan untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan kalimat “menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang munkar”.[103]




[1]Senada dengan ayat ini adalah QS. Al-A’raf/7: 189; dan QS. Al-Zumar/39: 6
[2]Lihat, Muhammad Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta’wil Ayi al-Qur’an (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), jilid. IV, h. 224-225
[3]Lihat, Shahih Bukhari, Kitab al-Nikah pada bab al-Wushari bi al-Nisa’, hadis nomor 4787, Lihat juga Ibn Katsir, I, h. 449
[4]Lihat, Abu Muslim al-Isfahani, Shahih Muslim, Jilid. II, h. 151
[5]Lihat, Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 19950, Jilid. V, h. 168
[6]Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar) (Beirut: dar al-Fikr, 1973), Jilid. IV, h. 223-230
[7]Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Jakarta: Paramadina, 1999), h. 241
[8]Lihat, Nashruddin Baidah, Tafsir bi al-Ra’y: Upaya Penggalian Konsep Wanita dalam al-Qur’an (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), h. 8-10
[9]Lihat, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), jld. IV, h. 217
[10]Lihat, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), jld. IV, h. 218
[11]Lihat, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), jld. IV, h. 219
[12]Lihat, Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987), jld. IV, h. 219
[13]Lihat, Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol. II. H. 314-315
[14]Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Vol. II, h. 316
[15]Muhammad Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2002), cet. 23, h. 271
[16]Lihat, Islah Gusmian, Khazanah tafsir Indonesia: Dari hermeneutika hingga Ideologi (Bandung: Teraju, 2003, h. 307-308
[17]Ibid.
[18]Lihat, Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1977), Jilid. II, h. 125
[19]Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib.., jilid XXIII, h. 212
[20]Lihat, Ahmad Musthafa al-Maraghi, tafsir al-Maraghi.., XVIII, h. 103
[21]Imam al-Zamakhsyari, al-Kasyaf…, III, h. 63
[22]Lihat, Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, III, h. 357
[23]Lihat, al-Thabari, op. cit., II, h. 379
[24]Lihat, Rashid Ridha, Tafsir al-Manar, op. cit., Jilid. II, h. 351
[25]Lihat, al-Zamakhsyari, al-kasysyaf, I, h. 361
[26]Lihat, al-Razi, Mafatih al-Ghaib, VI, h. 66
[27]Lihat, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid. XVIII, op. cit., h. 187
[28]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld. II, h. 228
[29]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. IX, h. 335
[30]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. IX, h. 335
[31]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. I, h. 473
[32]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. I, h. 474
[33]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. I, h. 475-476
[34]Dr. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII, h. 203
[35]Dr. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII, h. 203
[36] Khoiruddin Nasution “Perdebatan Sekitar Status Poligami” dalam Musawa, op. cit., h. 58
[37] Syams al-Din al-Sarakhsi, al-Mabsuth (Beirut: Dar al-Ma’rufah, 1989), 5, h. 217
[38] Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm (Ttp: tp. , t.th.), 5, h. 129
[39] Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf (Yogyakarta: LSPPA, 1994), h. 142
[40] Amina Wadud Muhsin, Wanita di Dalam al-Qur’an, terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), h. 111-112
[41] Riffat Hasan, “Women in the Context of Marriage, Divorce and Polygami in Islam”, Kumpulan Makalah.
[42] Fazlur Rahman, “The Status of Women in Islam”, seperti yang dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam Jurnal Musawa, op. cit., h. 70-71
[43] al-Thahir al-Haddad (1899-1935) adalah pemikir modern Tunisia, berasal dari keluarga terpandang di Tunisia. Ia menulis beberapa buku, di antaranya al-‘Amal al-Tunisiyyun wa Zuhur al-Harakah al-Niqabiyyah; Imra’atuna fi al-Syari’ah wa al-Mujtama’.
[44] Seorang Mantan Presiden Tunisia.
[45] Al-Thahir al-Haddad, Wanita dalam Syariat dan Masyarakat, terj. M. Adib Bisri (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), h. 77
[46] Ibid., h. 78-79
[47] seperti dikutip oleh Khoiruddin Nasution dalam Jurnal Musawa, h. 77
[48]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld. IV, h. 117
[49]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld. IV, h. 228
[50]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld. IV, h. 232
[51]Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jld. V, h. 307
[52]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 338
[53]Dr. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII, h. 199
[54]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 340-341
[55]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 341
[56]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 341
[57]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 342
[58]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 341
[59]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 341
[60]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 342
[61]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 343
[62]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 344
[63]Dalam QS. al-Nisa’/4: 3, “keadilan” disebut dengan menggunakan term yang berbeda, yaitu dengan tuqsithu dan ta’dilu. Keduanya ada yang mempersamakan maknanya dan ada pula yang membedakannya. Tuqsithu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang menjadikan keduanya senang. Sementara, ta’dilu adalah berlaku baik terhadap orang lain maupun diri sendiri, tetapi keadilan itu, bisa saja tidak menyebangkan salah satu pihak.
[64]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 338
[65]Dr. Muhammad Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Maudhu’I Atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1998), cet. VIII, h. 201
[66]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 607
[67]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 607
[68]Lihat, Al-Thabari, Jami’ul Bayan.., Jld. V, h. 57
[69]Lihat, Al-Zamakhsyari, Al-Kasyaf.., Jld. I, h. 523
[70]Lihat, Al-Razi, Mafatih al-Ghaib…, Jld. X, h. 91
[71]Hamka, tafsir Al-Azhar, Jld. V, h. 46
[72]Hamka, tafsir Al-Azhar, Jld. V, h. 47
[73]Hamka, tafsir Al-Azhar, Jld. V, h. 47
[74]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, op. cit., h. 310
[75]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, op. cit., h. 314
[76]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 424
[77]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 424-425
[78]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 425; Lihat juga, M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, op. cit., h. 310

[79]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 426
[80]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 427
[81]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 427
[82]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 427-428
[83]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 427-428
[84]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, op. cit., h. 311
[85]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 361
[86]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 368-9
[87]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 369
[88]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 369
[89]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 369-370
[90]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. II, h. 370-371
[91]Lihat, Abu bakar Jabir al-Jazairi, Aqidah al-Mu’min (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyah, 1978), h. 258
[92]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VI, h. 535-536; Lihat juga, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VII, h. 233; juga Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VIII, h. 420
[93]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VII, h. 233
[94]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VIII, h. 421
[95]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VII, h. 234
[96]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VII, h. 234
[97]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VIII, h. 420
[98]Lihat, Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah.., op. cit., Vol. VIII, h. 421
[99]Hamka, tafsir Al-Azhar, jld. XXII, h. 24
[100]Hamka, tafsir Al-Azhar, jld. XXII, h. 24
[101]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.., op. cit., h. 314-315
[102]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.., op. cit., h. 314
[103]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an.., op. cit., h. 315