Selasa, 01 Juli 2008

Sejarah dan Perkembangan Tafsir:Telaah Atas Pendapat Ulama dalam Bidang Sejarah dan Perkembangan Tafsir

Oleh Mohammad Nor Ichwan

Abstrak: Pada bab ini akan dibahas secara komprehensif tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir al-Qur’an, yang di dalamnya mencakup tiga periode, yaitu pertama, pada masa nabi Muhammad dan sahabat, yang pembahasannya akan dibagi lagi menjadi beberapa sub pokok bahasan diantaranya, pemahaman Nabi SAW dan sahabat terhadap al-Qur’an, kondisi pemahaman sahabat atas ayat al-Qur’an, sumber tafsir al-Qur’an pada masa Nabi SAW dan sahabat, serta keistimewaan tafsir pada masa sahabat; kedua, pada masa tabi’in, yang pembahasannya akan dibagi lagi menjadi sub pokok bahasan, yaitu sumber penafsiran pada masa tabi’in, madrasah-madrasah tafsir pada masa tabi’in, serta keistimewaan tafsir pada masa ini; dan yang ketiga, adalah sejarah dan perkembangan tafsir pada masa kodifikasi/ pembukuan.

Sebelum membahas lebih jauh tentang sejarah pertumbuhan dan perkembangan tafsir, disini akan dikemukakan tentang pengklasifikasian terhadap sejarah dan perkembangan tafsir itu sendiri. Para ulama tafsir dan juga orientalis dalam hal ini telah bersepakat bahwa sejarah dan perkembangan tafsir dapat di klasifikasikan menjadi 3 periode, hanya saja mereka berselisih pendapat di dalam memberikan nama dari masing-masing periode tersebut.
Muhammad Husain adz-Dzahabi telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode : pertama, tafsir pada masa Nabi dan sahabat;[1] kedua, tafsir pada masa tabi’in;[2] dan yang ketiga, tafsir pada masa pembukuan.[3] Sedangkan menurut A. D. Su’ud Bin Abdullah al-Fanisan membagi perkembangan tafsir menjadi dua periode, pertama, tafsir pada abad pertama yang meliputi tafsir pada masa Rasulullah dan tafsir pada masa sahabat, dan kedua, tafsir pada abad kedua dan ketiga yang meliputi masa tabi’in dan pembukuan.[4] Sementara itu Ignaz Goldziher[5] telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode pula, yaitu pertama, tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak tafsir bi al-ma’tsur, kedua, tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ra’y yang meliputi aliran akidah, aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan, ketiga, tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/ keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha.
Ada juga yang membagi perkembangan tafsir menjadi empat periode, yaitu pertama, periode Rasulullah SAW.; kedua, periode mutaqaddimin; ketiga, periode mutaakhirin; dan keempat, periode modern (al-‘Asri).[6]
Untuk memudahkan di dalam membahas tentang sejarah dan perkembangan tafsir, di sini akan dikemukakan periodesasi yang dibuat oleh Muhammad Husain adz-Dzahabi, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.

1st.Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Nabi SAW. dan Masa Sahabat.
Dalam kaitannya dengan pembahasan sejarah dan perkembangan tafsir pada masa nabi Muhammad SAW dan sahabat, di sisni akan dibagi urainya menjadi beberapa sub-bab pokok bahasan yang meliputi :

1. Pemahaman Nabi dan sahabat terhadap al-Qur’an.
Bahwa al-Qur’an diwahyukan kepada seorang Nabi yang ummi dan kepada kaum yang ummi pula. Mereka hanya memiliki bahasa lisan sebagai sarana komunikasi dan hati untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Bangsa Arab saat diturunkannya al-Qur’an telah mengenal beberapa bentuk kesenian yang sudah mapan. Bahasa yang berkembang di masyarakat pada saat itu ada yang berbentuk haqiqah,[7] majaz,[8] kinayah,[9] ithnab dan lain sebagainya.
Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah telah mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi komunikasi yang baik dan sempurna di antara mereka. Sebagaimana firman Allah SWT:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ فَيُضِلُّ اللَّهُ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ (ابرهيم/14: 4)

“Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” (Q.S. Ibrahim/14: 4).
Demikian juga kitab yang diturunkan kepada rasul, juga menggunakan bahasanya dan bahasa kaumnya. Oleh karena bahasa Muhammad adalah bahasa Arab, maka kitab yang diturunkan kepadanya juga menggunakan bahasa Arab, kecuali hanya sedikit sekali bahasa non-Arab.[10] Hal ini sebagaimana disinyalir dalam beberapa firman Allah SWT sebagai berikut :
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (يونس/12: 2)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab agar kamu memahaminya”. (Q.S. Yusuf/12: 2).

وَإِنَّهُ لَتَنْزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ , نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ اْلأَمِينُ, عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنْ الْمُنذِرِينَ, بِلِسَانٍٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ (الشعراء/26: 192- 195)

“Dan sesungguhnya al-Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, ia di bawa oleh ar-Ruhul Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara para pemberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas” (Q.S. asy-Syu’ara/26: 192-195).

Berdasarkan beberapa ayat di atas, maka nabi Muhammad dapat memahami nash al-Qur’an yang berbahasa Arab, baik secara global (mujmal) maupun secara terperinci (tafsiliy),[11] disamping karena Allah SWT. telah memberikan jaminan bahwa Dia akan memelihara serta menjelaskan kitab Suci tersebut.. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam firman Allah SWT.:

إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ, فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ, ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ (القيامة/75: 17- 19)

“Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah menghimpunnya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu, Kemudian atas tanggungan Kamilah penjelasannya” (Q.S. al-Qiyamah/75: 17-19).

Sedangkan para sahabat pada dasarnya secara thabi’i juga telah dapat memahami al-Qur’an secara global saja, karena pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Qur’an. Namun pemahaman mereka secara detail terhadap al-Qur’an masih memerlukan bantuan penjelasan dari Nabi yang berupa hadis-hadis, karena di dalamnya banyak didapati ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, musykil, dan juga ayat-ayat mutasyabihat.

2. Kondisi pemahaman para sahabat atas ayat al-Qur’an.
Menurut pendapat para ulama, kondisi pemahaman para sahabat terhadap al-Qur’an dapat dibedakan dalam dua aliran, yaitu pertama, yang diwakili oleh Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa semua sahabat mampu memahami al-Qur’an, baik dalam bentuk kosa-katanya maupun susunan kalimatnya. Berkaitan dengan masalah ini ia mengatakan:

يَقُوْلُ اِبْنُ خَلْدُوْن فِى مُقَدِّمَتِهِ: إِنَّ اْلقُرْأَنَ نُزِلَ بِلُغَةِ اْلعَرَبِ وَعَلَى اَسَالِيْبِ بَلاَغَتِهِمْ, فَكَانُوْا كُلُّهُمْ يَفْهَمُوْنَهُ وَيَعْلَمُوْنَ مَعَانِيْهِ فِى مُفْرَدَاتِهِ وَتَرَاكِيْبِهِ

“Bahwasannya al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balaghahnya, maka semua orang arab (sahabat) memahami dan mengetahui makna-makna ayat al-Qur’an, baik kosa kata maupun susunan kalimatnya”.[12]

Kedua, kelompok yang diwakili oleh Ibnu Qutaibah yang mengatakah bahwa sahabat memiliki perbedaan pemahaman terhadap al-Qur’an. Mengenai hal ini ia mengatakan:

قَالَ اِبْنُ قُتَيْبَةَ: اِنَّ اْلعَرَبَ لاَ يَسْتَوِى فِى اْلمَعْرِفَةِ اْلجَمِيْعِ مَا فِى اْلقُرْأَنِ مِنَ اْلغَرِيْبِ وَاْلمُتَشَابِهِ, بَلْ اَنَّ بَعْضَهَا يُفَصِّلُ فِى ذَلِكَ عَنْ بَعْضٍ

“Orang-orang Arab tidak sama pengetahuannya tentang kata-kata gharib dan mutasyabihat yang terdapat dalam al-Qur’an. Akan tetapi antara sebagain sahabat yang satu memeiliki kelebihan dengan sahabat yang lainnya”.[13]

Dari nukilan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat memiliki perbedaan pemahaman terhadap isi keseluruhan dari al-Qur’an, meskipun al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa mereka sendiri, karena tidak sedikit dijumpai di dalamnya lafadz-lafadz gharib dan ayat-ayat mutasyabihat[14] yang hanya dapat diketahui dengan mendapatkan pemahaman/penjelasan dari nabi Muhammad, bahkan antara pribadi-pribadi sahabat satu dengan lainnya tidak setingkat kualitasnya dalam memahami ayata-ayat al-Qur’an.
Perbedaan tingkat pemahaman yang dimiliki oleh para sahabat terhadap al-Qur’an ini dapat disebabkan karena beberapa faktor,[15] yaitu pertama, pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat, dan sastra Arab jahiliyah, kata-kata yang terdapat dalam al-Qur’an dan sebagainya, sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an berbeda-beda pula.
Kedua, ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Muhammad SAW. sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat al-Qur’an diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab al-Qur’an diturunkan itu, sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Qur’an. Karena itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab al-Qur’an diturunkan itu, lebih mampu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dibandingkan dengan yang lain.[16]
Ketiga, perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang adat istiadat, perkataan dan perbuatan Arab Jahiliyah. Para sahabat yang mengetahui haji di masa Jahiliyah akan lebih dapat memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan haji, dibanding para sahabat yang kurang tahu.
Keempat, perbedaan tingkat pengetahuan para sahabat tentang yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani di Jaziratul Arab, pada waktu suatu ayat al-Qur’an diturunkan. Sebab suatu ayat diturunkan ada yang berhubungan dengan penolakan atau sanggahan terhadap perbuatan-perbuatan orang-orang Yahudi dan Nasrani itu, akan lebih dapat memahami ayat-ayat tersebut dibandingkan dengan yang tidak mengetahui.
Dari kedua pendapat di atas, maka pendapat yang disebutkan terakhir adalah yang lebih mendekati kebenaran, hal ini karena didukung oleh beberapa riwayat, diantaranya adalah yang diriwayatkan oleh Abu Ubaidah dalam “al-Fadhail” dari Anas, dimana Umar Ibn Khattab pernah membaca di atas mimbar ayat wa fakihah wa abba (Q.S. Abasa/80: 31), lalu ia berkata : “Arti kata fakihah (buah) telah kita ketahui artinya, tetapi apakah arti kata “abb”. Kemudian ia menyesali diri sendiri seraya berkata: “Ini suatu pemaksaan diri (takalluf), wahai Umar”.[17]
Abu Ubaidah juga telah meriwayatkan melalui Mujahid dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Dulu saya tidak tahu apa makna “Allah fatir as-samawat wa al-ard” sampai datang kepadaku dua orang A’rabiy yang berselisih tentang pemilik sumur, salah seorang mereka berkata : “ana fatartuha”, dan yang satu lagi berkata “ana ibtada’tuha”. Sehingga beliau tahu bahwa lafadz “fatir” sama artinya dengan “ibtada’a”.
Berdasarkan data-data yang telah dipaparkan di atas maka menjadi jelaslah bahwa para sahabat mempunyai kemampuan yang berbeda-beda di dalam memahami al-Qur’an dan juga dalam menjelaskan makna yang dimaksud oleh suatu ayat, hal ini disebabkan oleh perbedaan perangkat yang digunakan untuk memahami al-Qur’an.

3. Sumber Tafsir pada Masa Nabi dan sahabat.
Para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an pada masa ini berpegang pada empat sumber: pertama, al-Qur’an al-Karim.[18] Sebagaimana kita ketahui bahwa di antara ayat-ayat al-Qur’an itu ada yang mujmal [19] dan ada yang mubayyan,[20] ada yang mutlaq[21] dan ada yang muqayyad,[22] ada yang ‘am[23] dan ada pula yang khas.[24] Apa yang dikemukakan secara global di satu tempat dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat datang dalam bentuk mutlaq atau umum, namun kemudian disusul oleh ayat lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang kemudian dimaksud dengan “Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an”.
Oleh karena itu, seseorang yang akan menafsirkan al-Qur’an harus mengetahui lebih dahulu, apakah ia mujmal, mutlaq, ataukah ‘am, sehingga dapat dicari dahulu mubayyin-nya, muqayyid-nya atau takhsis-nya pada ayat yang lain. Penafsiran yang seperti ini cukup banyak contohnya di dalam al-Qur’an. Berdasarkan hal di atas, maka penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an mempunyai beberapa bentuk, diantaranya:
Pertama, ( اَنْ يَحْمِلَ اْلمُجْمَلُ عَلَى اْلمُبَيِّيْنِ لِيُفَسِّرَ بِهِ )[25] , yaitu membawa suatu yang mujmal kepada suatu yang mubayyan untuk mendapatkan penjelasan. Sebagai contoh dapat dikemukakan firman Allah, diantaranya : Q.S. al-Mu’min/40: 28:

وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ (المؤمن/40: 28)

“Dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu” (al-Mu’min/40: 28).

ayat di atas ditafsirkan oleh ayat 77 pada surat yang sama:

فَإِمَّا نُرِيَنَّكَ بَعْضَ الَّذِي نَعِدُهُمْ أَوْ نَتَوَفَّيَنَّكَ فَإِلَيْنَا يُرْجَعُونَ (المؤمن/40: 77)

“... maka meskipun kami perlihatkan kepadamu sebagian siksa yang Kami ancamkan kepada mereka ataupun Kami wafatkan kamu (sebelum ajal menimpa mereka), namun kepada Kami sajalah mereka dikembalikan” (al-Mu’min/40: 77).

Contoh lain adalah firman Allah SWT. yang terdapat dalam Q.S. an-Nisa/4: 27:

وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلاً عَظِيمًا (النساء/4: 27)

“... sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran)” (an-Nisa’/4: 27)

ayat di atas ditafsirkan oleh surat yang sama pada ayat 44 :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ أُوتُوا نَصِيبًا مِنْ الْكِتَابِ يَشْتَرُونَ الضَّلاَلَةَ وَيُرِيدُونَ أَنْ تَضِلُّوا السَّبِيلَ (النساء/4: 44)
“Apakah kamu tidak melihat orang-orang yang telah diberi bagian dari al-Kitab (Taurat)? Mereka membeli (memilih) kesesatan (dengan petunjuk) dan mereka bermaksud supaya kamu tersesat (menyimpang) dari jalan (yang benar)”.

Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang lain yang senada, seperti : Surat al-Baqarah/2: 37, dengan al-A’raf/7: 33; al-An’am/6: 103 dengan al-Qiyamah/75: 23; al-Maidah/5: 1 dengan al-Maidah/5: 3.
Kedua, ( حَمْلُ اْلمُطْلَقِ عَلىَ اْلمُقَيَّدِ وَاْلعَامُ عَلىَ اْلخَاصِ),[26] yaitu membawa suatu ayat yang masih mutlaq kepada yang muqayyad dan ‘Am kepada yang khas. Hal ini terjadi jika ada dua masalah yang berbeda kandungan hukumnya tetapi bersamaan sebabnya. Sebagai contoh adalah masalah wudlu dan tayammum dalam Surat al-Maidah/5: 6; juga masalah kifarat zhihar dalam Q.S. al-Mujadalah/58: 3 dengan kifarat pembunuhan dalam Q.S. an-Nisa/4: 92.
Ketiga, ( الجَمْعُ بَيْنَ مَا يَتَوَهَّمُ اَنَّهُ مُخْتَلِفٌ),[27] yaitu mengumpulkan antara ayat-ayat al-Qur’an yang diperselisihkan pengertiannya. Sebagai contoh adalah ayat tentang penciptaan Adam, dimana pada suatu ayat dijelaskan bahwa Adam diciptakan dari “turab” (tanah/debu), sementara itu pada ayat yang lain ia diciptakan dari “thin” (tanah/lempung), kemudian dari “hamaim masnun”, dari “shalshal”. Dinatara ayat-ayat yang kelihatannya berbeda tersebut dapat dikumpulkan pengertiannya bahwa hal tersebut merupakan penjelasan tentang proses penciptaan di saat permulaan sampai dengan ditiupkannya ruh kepadanya.
Keempat, ( حَمْلُ بَعْضِ اْلقِرَاءَاتِ عَلىَ غَيْرِهَا),[28] yaitu membawa perbedaan bacaan atas suatu ayat yang berbeda satu dengan yang lain. Hal yang semacam ini bisa terjadi dalam beberapa hal, diantaranta adalah (a) suatu qira’at yang secara redaksional berbeda, tetapi secara makna memiliki arti yang sama. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra’/17: 93: ( اَوْ يَكُوْنَ لَكَ بَيْتٌ مِنْ زُحْرُفٍ ). Bacaan ini adalah yang masyhur, tetapi menurut qira’at Ibnu Mas’ud ayat tersebut berbunyi: ( اَوْ يَكُوْنُ لَكَ بَيْتٌ مِنْ ذَهَبٍ ). Jadi secara redaksional kedua lafadz tersebut, yaitu lafadz “zukhruf” dan lafadz “dzahab” berbeda, tetapi keduanya memiliki makna yang sama; (b) qira’at yang memiliki perbedaan baik secara redaksional maupun secara makna. Seperti dalam Q.S. al-Jumu’ah/62: 9, menurut qira’at yang mutawatir adalah ( فَاسْعَوْا اِلَى ذِكْرِ الله ), sedang menurut qira’at Ibnu Mas’ud adalah ( فَامْضُوا الِىَ ذِكْرِ الله ). (c) qira’at yang memiliki perbedaan dalam hal penambahan dan pengurangan, di satu sisi tak ada tambahan pada qira’ah yang mutawatir, tetapi pada qira’at yang lain terdapat penambahan. Sebagimana dalam Q.S. al-Baqarah/2: 198, menurut qira’at yang mutawatir ayat tersebut berbunyi sebagai berikut: ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَّبِكُمْ ), sedangkan menurut qira’at Ibnu Abbas ayat tersebut ditambah dengan lafadz “fi Mawasim al-Hajj”, sehingga ayat tersebut berbunyi: ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ اَنْ تَبْتَغُوْا فَضْلاً مِنْ رَّبِكُمْ فِىْ مَوَاسِمِ اْلحَجِّ ), dimana penambahan lafadz “fi mawasim al-hajj” sebagai tafsirnya.
Sumber kedua, Hadis nabi Muhammad saw.[29] Sebenarnya pertumbuhan dan perkembangan tafsir sudah tumbuh sejak masa nabi Muhammad masih hidup, dimana nabi Muhammad merupakan orang pertama yang diberi kewenangan untuk menjelaskan dan menerangkan terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Apabila para sahabat mendapatkan suatu kesulitan di dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, maka mereka bisa langsung menanyakannya kepada Rasulullah saw, lalu beliau menjelaskan apa yang masih samar pengertiannya bagi para sahabat, sehingga tidak ada lagi keraguan dan kerancuan di benak para sahabat. Karena hal itu sudah menjadi tugas dan fungsi Rasul, yaitu sebagai penjelas dan penafsir terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Sebagaimana firman Allah dalam Surat an-Nahl/16: 44:

وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (النحل/16: 44)

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada mereka apa yang telah diturunkan kepada mereka dan suapaya mereka memikirkan” (Q.S. an-Nahl/16: 44).

Juga hadis Nabi yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW. bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya telah diberikan kepadaku al-Kitab dan yang semisal dengannya”.[30] Namun para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat al-Qur’an yang telah ditafsirkan oleh Rasulullah SAW., apakah beliau menjelaskan secara keseluruhan kepada sahabatnya ataukah tidak ?. Menurut Iman as-Suyuthi dan Samsuddin al-Khawiy[31] bahwa Rasulullah SAW hanya menjelaskan sebagian kecil saja dari al-Qur’an kepada para sahabatnya. Sementara itu menurut Ibn Taimiyyah bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan kepada para sahabatnya semua makna al-Qur’an, baik secara global maupun secara terperinci.[32] Untuk pendapat yang disebutkan terakhir mengemukakan beberapa alasan guna memperkuat argumentasinya, di antaranya:
Pertama, bahwa Rasulullah SAW telah menjelaskan makna al-Qur’an kepada para sahabatnya sebagaimana ia menjelaskan kepada mereka lafadz-lafadznya. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. an-Nahl/16: 44, seperti yang telah disebutkan di atas.
Kedua, Abu Abdurrahman al-Sulamy mengatakan: orang-orang yang telah mengajarkan al-Qur’an kepada kami seperti Utsman Ibn Affan dan Abdullah Ibn Mas’ud dan lain-lainnya menerangkan kepada kami bahwa apabila mereka itu telah mengetahui dari Nabi SAW sepuluh ayat al-Qur’an, maka mreka tidak akan mempelajari yang lainnya sehingga mereka mengetahui apa maksud ayat tersebut, baik secara teoritis maupun secara praktis. Lalu mereka mengatakan bahwa kami telah mengetahui isi al-Qur’an baik teoritis maupun praktis secara keseluruhan.
Ketiga, bahwa memikirkan (tadzabbur) firman Allah tidak semata-mata pada lafadznya, tetapi yang lebih utama adalah dari segi maknanya. Dan mentadzabbur kalam tanpa memahami makna-maknanya adalah tidak mungkin. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam beberapa ayat al-Qur’an, di antaranya:

· كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُوا اْلأَلْبَابِ (ص/38: 29)
· أَفَلاَ يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلاَفًا كَثِيرًا (النساء/4: 82)
· أَفَلَمْ يَدَّبَّرُوا الْقَوْلَ أَمْ جَاءَهُمْ مَا لَمْ يَأْتِ آبَاءَهُمْ اْلأَوَّلِينَ (المؤمنون/23: 68)

Sementara itu para ulama yang berpendapat bahwa Rasulullah SAW hanya menjelaskan sebagian saja dari al-Qur’an kepada para sahabatnya berargumentasi dengan beberapa alasan, di antaranya:
Pertama, apa yang diriwayatkan oleh al-Bazar[33] dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah SAW tidak menjelaskan al-Qur’an kecuali hanya beberapa ayat saja yang telah diajarkan oleh malaikat Jibril as.
Kedua, apa yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq, ketika ditanya tentang makna al-abb dalam Q.S. ‘Abasa/80: 31: وَفَاكِهَةً وَأَبًّا . Lalu beliau berkata: “Langit manakah yang akan aku jadikan tempat berteduh, dan bumi manakah yang akan aku pijak, apabila aku mengatakan tentang kitab Allah sesuatu yang tidak aku ketahui”. Demikian juga perkataan Umar: “Makna al-Fakihah telah kita ketahui bersama, lalu apakah arti abb itu ?.
Ketiga, seandainya Rasulullah SAW telah menjelaskan setiap makna al-Qur’an kepada para sahabatnya, tentu Rasulullah SAW tidak akan mendo’akan Ibn Abbas dengan do’anya yang khusus, yaitu: اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَعَلَّمَهُ اْلتَأْوِيْلَ . Disisi lain, seandaninya tafsir itu secara keseluruhan di riwayatkan dari Nabi SAW, pastilah do’a kepada Ibn Abbas tersebut akan berbunyi: اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَحَفَظَهُ التَأْوِيْلَ
Menurut adz-Dzahabi, setelah menguraikan kedua pendapat di atas beserta argumentasinya masing-masing, ia lebih cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa Nabi menjelaskan hanya sedikit saja dari makna al-Qur;an itu kepada para sahabatnya. Hal ini disebabkan karena pada kenyataannya di dalam al-Qur’an terdapat bagian-bagian yang hanya diketahui maksudnya oleh Allah semata, yang dapat diketahui oleh para ulama, yang dapat diketahui oleh orang-orang yang menguasai bahasa Arab, dan bahkan ada bagian-bagian yang dengan mudah dapat diketahui oleh orang bodoh sekalipun. Untuk memperkuat pendapatnya ini, lebih lanjut ia mengutip pendapat Ibn Abbas yang mengatakan :

اَلتَّفْسِيْرُ عَلَى اَرْبَعَةِ اَوْجُوْهٍ: وَجْهٌ تَعْرِفُهُ اْلعَرَبُ مِنْ كَلاَمِهَا, وَتَفْسِيْرٌ لاَ يَعْذِرُ اَحَدٌ بِجَهَالَتِهِ, وَتَفْسِيْرٌ تَعْرِفُهَا اْلعُلَمَاءُ, وَتَفْسِيْرٌ لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ الله.

“Ada empat tema pokok dalam tafsir al-Qur’an, yaitu tafsir yang dapat difahami oleh orang yang menguasai bahasa Arab, tafsir yang dapat difahami oleh orang bodoh, tafsir yang dapat difahami oleh para ulama’, dan tafsir yang hanya diketahui oleh Allah semata”.[34]
Penjelasan dan keterangan mengenai al-Qur’an yang berasal dari Rasulullah SAW semacam ini kemudian disebut sebagai “tafsir bi al-manqul” atau “tafsir bi al-ma’tsur”. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa hadis, seperti yang diriwayatkan oleh Ahmad, al-Tirmidzi, dan juga yang lainnya dari ‘Ady bin Hibban yang berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Sesungguhnya yang dimaksud dengan “al-Maghdhubi ‘Alaihim” adalah orang-orang Yahudi, dan “al-Dhallin” adalah orang-orang Nasrani”. Juga hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dan Ibn Hibban dalam kitab shahihnya dari Ibn Mas’ud berkata: Rasulullah SAW. bersabda: “Maksud dari “al-Shalat al-Wustha” adalah shalat al-Ashr.[35]
Contoh lain adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Syaikhan (Bukhari dan Muslim) dan lainnya dari Ibn Mas’ud, ia berkata: “Ketika ayat ini turun “alladhina amanu wa lam yalbisu imanahum bi dhulmin” (orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman [al-An’am/6: 82), banyak orang yang merasa resah. Lalu mereka bertanya kepada Rasulullah saw.: “Ya Rasulullah, siapakan diantara kita yang tidak berbuat kezaliman terhadap dirinya?”. Rasulullah menjawab: “Maksud ayat ini bukanlah seperti yang kalian pahami, bukankan kalian pernah mendengar apa yang dikatakan oleh hamba yang shaleh: “Inna as-Syirk ladhulmun ‘adhim” (sesungguhnya yang dimaksud dengan dhulm dalam ayat ini adalah syirk (Luqman/31: 13).[36] Jadi yang dimaksud dengan kezaliman di sini adalah kemusrikan. Selain dari riwayat yang telah dikemukakan masih banyak riwayat lainnya yang shahih dari Rasulullah saw, yang menjadi materi pokok dan sumber utama bagi kitab-kitab tafsir al-ma’tsur.
Sumber ketiga, Ijtihad dan Istinbath.[37] Para sahabat, apabila tidak menemukan penafsiran dalam al-Qur’an dan tidak pula menemukan penafsiran dalam al-Hadits, maka mereka berusaha menafsirkan dengan ijtihad dan istinbath. Hal ini, mengingat karena sahabat adalah orang-orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, dan dapat memahaminya dengan baik serta mengetahui aspek-aspek kebalaghahan yang ada di dalamnya. Oleh karena itu mereka tidak membutuhkan penelitian untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an. Namun, jika mereka merasa apa yang terdapat dalam bahasa Arab tidak cukup memadai untuk memahami ayat al-Qur’an, maka mereka harus mengadakan penelitian terhadap teks-teks klasik seperti syair-syair orang Arab Jahiliyah sebagai sumber penfsirannya.
Adapun metode ijtihad yang digunakan oleh para sahabat dalam memahami ayat al-Qur’an,[38] di antaranya:
1. مَعْرِفَةُ اَوْضَاعِ اْللُّغَةِ وَاَسْرَارِهَا yaitu mengetahui tema-tema bahasa Arab dan rahasia yang terkandung di dalamnya. Pengetahuan ini dapat menolong pemahaman mereka terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang tidak diketahui maknanya;
2. مَعْرِفَةُ عَادَاتِ اْلعَرَبِ yaitu mengetahui adat kebiasaan mereka, yang dapat menolong memahami ayat al-Qur’an yang ada hubungannya dengan adat kebiasaan mereka;[39]
3. مَعْرِفَةُ اَحْوَالِ اْليَهُوْدِ وَالنَّصَارَى فِى جَزِيْرَةِ اْلعَرَبِ وَقْتَ نُزُوْلِ اْلقُرْاَنِ yaitu mengetahui keadaan orang-orang Yahudi dan Nasrani di jazirah Arab ketika turunnya wahyu, yang dapat menolong memahami ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan kepada perbuatan mereka dan cara menolaknya;
4. مَعْرِفَةُ اَسْبَابِ النُّزُوْلِ yaitu mengetahui sebab-sebab turunnya ayat al-Qur’an), ilmu ini dapat menolong memahami ayat-ayat al-Qur’an;[40]
5. قُوَّةُ اْلفَهْمِ وَ سَعَةُ اْلإِدْرَاكِ yaitu kekuatan dan keluasan pemahaman atas ayat al-Qur’an.[41] Hal ini merupakan keutamaan dan karunia yang diberikan Allah SWT. kepada orang yang dikehendaki dari para hambanya. Karena, di dalam al-Qur’an banyak ayat-ayatnya yang adakalanya mudah dipahami dan adakalanya sulit dan tersembunyi maknanya yang hanya dapat dipahami oleh orang-orang tertentu yang memiliki kelebihan daya pemahaman yang kuat seperti yang dimiliki oleh Ibn Abbas dengan do’a Rasulullah: “Allahumma faqqihhu fi al-din wa allamahu al-ta’wil”.
Adapun di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an adalah Khulafa al-Rasyidun, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari Abdullah bin Zubair, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin ‘As dan Aisyah. Dan di antara keempat khalifah tersebut yang paling banyak menafsirkan al-Qur’an adalah Ali Ibn Abi Thalib, sedangkan ketiga khalifah lainnya jarang menafsirkan al-Qur’an, hal ini disebabkan kaena ketiganya lebih dulu meninggal dunia. Dan dari kesepuluh sahabat tersebut yang tepat dijuluki sebagai ahli tafsir al-Qur’an adalah Abdullah Ibn Abbas, karena kedalam ilmunya disaksikan sendiri oleh Rasulullah SAW. Di sisi lain Ibn Abbas juga terkenal dengan sebutan “Tarjuman al-Qur’an”, meskipun ada pula yang merendahkan dan meremehkan ucapan-ucapannya, sebagaimana Imam Syafi’i yang mengatakan bahwa tafsir yang benar dari Ibn Abbas hanya setara seratus hadis.
Para ulama berbeda pendapat tentang nilai dari penafsiran para sahabat. Menurut al-Hakim dalam al-Mustadrok mengatakan bahwa tafsir para sahabat bernilai sama dengan hadits marfu’, jika berhubungan dengan sebab-sebab nuzul ayat atau tentang sesuatu masalah yang tidak dapat dimasuki akal. Sedangkan menurut Ibnu Sholah, jika hal itu dapat dicapai oleh akal maka tafsir para sahabat adalah mauquf selama tidak ada bukti penyandarannya kepada Nabi.
Sementara itu, menurut sebagian ulama yang lain mewajibkan untuk mengambil tafsir yang mauquf pada sahabat, karena para sahabat adalah yang paling ahli bahasa Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi pada saat ayat diturunkan, disamping kemampuannya dalam hal pemahaman yang sahih. Hal ini sebagaimana dikatakan az-Zarkasyi dalam kitab Al-Burhan fi Ulum al-Qur’an:

قَالَ الزَّرْكَشِى فِى اْلبُرْهَانِ: اِعْلَمْ اَنَّ اْلقُرْأَنَ قِسْمَانِ: قِسْمٌ وَرَدَ تَفْسِيْرُهُ بِالنَّقْلِ, وَقِسْمٌ لَمْ يُرِدْ, وَاْلأَوَّلُ اِمَّا اَنْ يُرَدَّ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللُه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَوِ الصَّحَابَةِ اَوْ رُؤُوْسِ التَّابِعِيْنَ. فَاْلأَوَّلُ يَبْحَثُ فِيْهِ عَنْ صِحَّةِ السَّنَدِ وَالثَّانِى يَنْظُرُ فِى تَفْسِيْرِ الصَّحَابِى. فَإِنَّ فَسَّرَهُ مِنْ حَيْثُ اللُّغَةِ فَهْمُ اَهْلِ اللِّسَانِ فَلاَ شَكَّ فِى اِعْتِمَادِهِ اَوْ ِبَما شَاهِدُوْهُ مِنَ اْلأَسْبَابِ وَالْقَرَائِنِ فَلاَ شَكَّ فِيْهِ

Perlu diketahui bahwa penafsiran al-Qur’an dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian, yaitu sebagian penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat), dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsiran adakalanya dari Nabi, sahabat, atau tokoh tabi’in. Jika berasal dari Nabi, hanya perlu dicari kesahihan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ?. Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa Arab, karena itu pendapatnya dapat dijadikan pegangan, tanpa diragukan lagi. Atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal ini pun tidak diragukan lagi.[42]

Senada dengan pendapat al-Zarkasyi, al-Hafidz Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya mengatakan :

قَالَ اْلحَافِظُ بْنُ كَثِيْرٍ فِى مُقَدِّمَةِ تَفْسِيْرِهِ: وَحِيْنَئِدٍ اِذَا لَمْ نَجِدْ التفْسِيْرَ فِى اْلقُرْأَنِ وَلاَ فِى السُّنَّةِ رَجَعْنَا فِى ذَلِكَ اِلَى اَقْوَالِ الصَّحَابَةِ, فَإِنَّهُمْ اَدْرِيْ بِذَلِكَ لِمَا شَاهِدُوْهُ مِنَ اْلقَرَائِنِ وَاْلأَحْوَالِ الَّتِى اِخْتَصُّوْا بِهَا وَلِمَا لَهُمْ مِنَ اْلفَهْمِ التَّامِّ وَاْلعِلْمِ الصَّحِيْحِ وَاْلعَمَلِ الصَّالِحِ – وَلاَ سِيَمَا عُلَمَاؤُهُمْ وَكُبَرَاؤُهُمْ كَاْلأَئِمَّةِ ْالأَرْبَعَةِ, وَاْلحُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَاْلأَئِمَّةِ اْلمُهْتَدِيْنَ ْالمَهْدِيِّيْنَ, وَعَبْدُ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ

Jika kita tidak mendapatkan tafsiran dalam al-Qur’an dan tidak pula dalam sunnah, hendaknya kita kembali pada pendapat para sahabat, sebab mereka lebih mngetahui tafsir al-Qur’an. Hal ini karena merekalah yang menyaksikan konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui mereka sendiri. Juga karena mereka mempunyai pemahaman sempurna, ilmu yang sahih dan amal yang saleh, terutama para ulama dan tokoh besarnya, seperti empat Khulafa’ al-Rasyidin, para imam yang mendapat petunjuk dan Abd Allah Ibn Mas’ud[43]

Sumber keempat, adalah cerita-cerita ahli kitab dari orang-orang Yahudi dan Nasrani,[44] yang tersebar dikalangan umat Islam.[45] Sebagimana diketahui bahwa kitab al-Qur’an memiliki persaman dengan kitab-kitab terdahulu dalam beberapa masalah tertentu seperti kitab Taurat dan Injil, khususnya dalam hal menceritakan kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu. Dalam kitab al-Qur’an terdapat beberapa tema yang juga terdapat dalam kitab Injil seperti kisah lahirnya Isa ibn Maryam dan mu’jizatnya.
Dalam menceritakan beberapa kisah tersebut al-Qur’an mempunyai perbedaan metodologis dengan kitab Taurat dan Injil. Al-Qur’an menceritakan kisah-kisah tersebut hanya secara global dan berfungsi sebagai ibrah saja, sedangkan dalam Taurat dan Injil kisah tersebut diceritakan secara detail dari berbagai seginya, seperti nama, tempat, dan waktunya.
Dalam hal ini, sebagian sahabat dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an mengambil cerita-cerita israiliyat kepada ahli al-kitab, baik yang berasal dari orang-orang Yahudi maupun Nasrani yang telah menyatakan diri masuk Islam seperti Abdullah bin Salam[46] dan Wahab bin Munabih,[47] Ka’ab al-Ahbar,[48] dan dari kalangan tabi’in seperti Ibn Juraij dan yang lainnya. Hal ini dilakukan karena para sahabat tidak banyak mendapatkan informasi yang memadai dari Rasulullah SAW. berkaitan dengan kisah-kisah tersebut. Kisah-kisah yang demikian itu diambil oleh para sahabat selama tidak bertentangan dengan al-Qur’an.

4. Keistimewaan Tafsir di Masa Sahabat

Tafsir pada masa sahabat ini memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:[49]
1. Pada masa ini al-Qur’an tidak ditafsirkan secara keseluruhan, tapi hanya sebagian saja dan yang dianggap sukar (tersembunyi) pengertiannya, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada;
2. Tidak banyak perbedaan di antara mereka di dalam memahami makna-makna al-Qur’an;
3. Para sahabat banyak yang mencukupkan penafsirannya secara ijmaly (global);
4. Membatasi penafsirannya dengan menjelaskan makna bahasa yang primer;
5. Tidak adanya penafsiran secara ilmy, fiqhy, dan madzhaby;
6. Pada masa ini tafsir masih belum dikodifikasikan, hal ini disebabkan karena pengkodifikasian baru ada setelah abad II Hijriyah. Tafsir belum mengambil bentuknya yang teratur dan belum menjadi suatu ilmu yang berdiri sendiri.

B. Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Tabi’in
Periode kedua perkembangan tafsir adalah pada masa tabi’in yang dimulai sejak berakhirnya tafsir pada masa sahabat. Hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabat yang meninggal dunia, yang mereka itu adalah para guru dari para tabi’in, dan juga banyaknya para tabi’in yang mengikuti jejak guru-gurunya dalam bidang penafsiran al-Qur’an, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang masih tersembunyi pengertiannya. Karena banyaknya para tabi’in yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, maka hasil karyanya ini kemudian dikenal dengan “tafsir tabi’in”.

1. Sumber Tafsir pada Masa Tabi’in
Dalam penafsirannya ini para tabi’in berpegang kepada sumber-sumber yang telah ada pada masa pendahulunya, yaitu pertama, ayat al-Qur’an; kedua, hadist Nabi Muhammad SAW; ketiga, pendapat para sahabat; keempat, keterangan dari ahl al-kitab baik Yahudi maupun Nasrani; dan kelima, Ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri.
Untuk keempat sumber yang disebutkan pertama, dalam pemakaiannya, para tabi’in tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Sedangkan untuk sumber yang disebutkan terakhir, muncul karena tafsir sahabat hanya menafsirkan sebagian ayat saja, yaitu ayat-ayat yang dirasa sangat sulit. Dengan demikian, penafsiran para tabi’in ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari penafsiran para sahabat.
Berkaitan dengan sumber penafsiran para tabi’in ini, Muhammad Husain ad-Dzahabi mengatakan :

وَقَدْ اِعْتَمَدَ هَؤُلاَءِ اْلمُفَسِّرُوْنَ فِى فَهْمهِمْ لِكِتَابِ اللهِ تَعَالَى عَلَى مَا جَاءَ فِى اْلكِتَابِ نَفْسِهِ, وَعَلَى مَا رَوَوْهُ عَنِ الصَّحَابَةِ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَى مَا رَوُوْهُ عَنِ الصَّحَابَةِ مِنْ تَفْسِيْرِهِمْ اَنْفُسِهِمْ وَعَلَى مَا اَخَدُوْهُ مِنْ اَهْلِ اْلكِتَابِ بِمَا جَاءَ فِى كُتُبِهِمْ وَعَلَى مَا يَفْتَحُ اللهُ بِهِ عَلَيْهِمْ مِنْ طَرِيْقِ اْلإِجْتِهَادِ وَالنَّظْرِ فِى كِتَابِ اللهِ تَعَالَى

Dalam memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan tabi’in berpegang pada apa yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima tabi’in dari Ahl al-Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka.[50]

Sebagai kelanjutan dari penafsiran para sahabat, tafsir tabi’in merupakan penyempurnaan dari sebagian kekurangan yang ada pada masa sahabat. Dalam tafsirnya, mereka menambahkan dalam tafsirnya keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Proses ini berlanjut hingga generasi sesudahnya, yaitu masa sesudah tabi’in (tabi’ at-tabi’in). Dan generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir al-Qur’an secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat al-Qur’an, alat-alat pemahaman dan sarana pengkajian yang lainnya.
Dengan semakin meluasnya daerah taklukan Islam, maka semakin tersebar pula tokoh-tokoh mufassir ke berbagai daerah tersebut. Mereka menjadi mubaligh/ guru yang mengajarkan tafsir kepada para penduduk setempat. Sehingga, pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai macam madrasah (aliran-aliran) tafsir.

2. Madrasah-madrasah Tafsir pada Masa Tabi’in
Berkaitan dengan masalah ini, akan dijelaskan tentang madrasah-madrsah tafsir pada masa tabi’in, yang meliputi tiga madrasah dan juga para mufassirnya, dimana mereka itu mempelajarinya dari kalangan sahabat. Adapun madrasah-madrasah tafsir pada masa tabi’in, di antaranya :

a. Madrasah Tafsir di Makkah[51]
Madrasah tafsir di Makkah ini didirikan oleh sahabat Abdullah Ibn Abbas, yang menjadi guru dan sekaligus menafsirkan dan menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang dirasa masih sulit pengertiannya kepada para tabi’in.
Di antara para murid-muridnya yang terkenal (masyhur) adalah Said bin Jubair,[52] Mujahid bin Jubair,[53] Atha’ bin Abi Rabah,[54] Ikrimah,[55] Thawus bin Kaisan al-Yamani.[56]
Proses kemunculan madrasah ini diawali ketika Ibn Abbas sebagai guru di Makkah menafsirkan al-Qur’an di kalangan para tabi’in dan menjelaskan hal-hal yang muskil dari makna lafadz al-Qur’an, kemudian tabi’in menambahkan pemahamannya sendiri, lalu meriwayatkan tafsir dari sahabat dan penafsiran tabi’in itu sendiri kepada generasi berikutnya.
Adapun keistimewaan dari madrasah ini ditandai dengan keistimewaan para tokohnya, yaitu pertama, dalam hal qira’at, madrasah ini memakai qira’at yang berbeda-beda, seperti Said bin Jubair, kadang-kadang memakai qira’at Ibnu Abbas, Ibn Mas’ud, dan kadang-kadang memakai qira’at Zait bin Tsabit; kedua, dalam hal metode penafsiran, madrasah ini sudah memakai dasar aqliy.

b. Madrasah Tafsir di Madinah
Madrasah ini didirikan oleh Ubay bin Ka’ab. Pendapat-pendapatnya tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara murid-muridnya dari kalangan tabi’in yang belajar kepadanya baik secara langsung maupun tidak, yang terkenal di antara merea ada tiga, yaitu Zaid bin Aslam,[57] Abu ‘Aliyah,[58] dan Muhammad bin Ka’ab al-Quradhi.[59]
Madrasah tafsir di Madinah timbul melalui proses dimana sahabat yang banyak menetap di Madinah berjamaah dalam bertadarus al-Qur’an, dan banyak juga diikuti oleh para tabi’in sebagai murid-murid sahabat yang di antara mereka lebih memfokuskan dirinya pada Ubay bin Ka’ab, dimana Ubay dalam hal ini lebih mashur dan lebih banyak menafsirkan al-Qur’an dibanding orang lain.
Keistimewaan madrasah di Madinah adalah pertama, telah ada sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Ka’ab lewat Abu Aliyah lewat Rabi’ oleh Abu Ja’far ar-Raziy dan juga Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu Aliyah; kedua, telah berkembang ta’wil terhadap ayat-ayat al-Qur’an, sebagimana diucapkan oleh Ibn ‘Aun tentang penta’wilan Muhammad bin Ka’ab al-Quraziy; ketiga, telah timbul penafsiran bir ra’y, terbukti tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir ro’yi.

c. Madrasah Tafsir di Irak
Madrsah ini dipelopori oleh Abdullah bin Mas’ud dan dilindungi oleh Gubernur Irak Ammar bin Jaser, serta didukung oleh tabi’in di Irak, seperti Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Jaser, Murrah al-Hamdaniy, Amir asy-Sya’biy, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Di’amah.
Madrasahj tafsir di Irak timbul melalui proses dimana ketika khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jaser sebagai gubernur di Kufah, maka bersamanya ditunjuk mubaligh/guru Ibn Mas’ud, yang meskipun banyak sahabat lain di Iraq tetapi beliaulah dalam penafsiran al-Qur’an banyak diikuti oleh tabi’in di Iraq, disamping karena kemashurannya juga karena banyaknya penafsiran beliau yang dapat dinukilkan kepada generasi berikutnya.
Keistimewaan dari madrasah tafsir di Iraq adalah pertama, secara global, madrasah ini lebih banyak diwarnai oleh ahli ra’yi; kedua, sebagai konsekuensinya, maka timbul masalah khilafiyah dalam penafsiran al-Qur’an; ketiga, sebagai kelanjutan adanya khilafiyah penafsiran al-Qur’an tersebut, maka timbullah metode istidlal.

2. Keistimewaan Tafsir pada Masa Tabi’in
Menurut Muhammad Husain adz-Dzahabi,[60] paling tidak ada empat keistimewaan tafsir pada masa tabi’in ini, antara lain:
1. Tafsir pada masa tabi’in banyak dimasuki cerita israiliyat, baik yang berasal dari orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hal ini terjadi karena banyaknya ahl al-kitab yang masuk Islam. Di antara sebab masuknya cerita israiliyat adalah karena adanya kecenderungan para tabi’in untuk mendapatkan penjelasan yang detail dan terperinci tentang keterangan al-Qur’an perihal masalah tersebut di atas, yang kemudian oleh para tabi’in cerita-cerita itu dimasukkan ke dalam tafsir mereka tanpa adanya penelitian.
2. Tafsir pada masa tabi’in masih berkembang dengan cara perjumpaan tokoh mufassir dalam meriwayatkan tafsir seperti masa sahabat/nabi, hanya saja periwayatan ini mempunyai kekhusussan yaitu bahwa periwayatan terjadi antara tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya.
3. Tafsir pada masa tabi’in banyak diwarnai adanya perbedaan pendapat madzhabiyah.
4. Banyaknya perbedaan antara tabi’in dengan apa yang ada pada sahabat dalam bidang tafsir.

C. Sejarah dan Perkembangan Tafsir: Masa Pembukuan
Periode ketiga dari perkembangan tafsir adalah periode pembukuan (tadwin), yang dimulai pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah.[61] Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbeda-beda.
Pada tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan secara sistematis, yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Qur’an sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadis.
Para ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabi’in disamping perhatiannya terhadap pengumpulan hadis adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Su’bah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki’ bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah al-basri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan Abd bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya pada dasarnya adalah imam dan tokoh-tokoh ilmu hadis.[62] Tafsir golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita, dan yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab tafsir bi al-ma’sur.
Pada tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara penafsiran al-Qur’an dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadis serta manjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Al-Qur’an ditafsirkan secara sistematis, sesusi dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin Mardawaih (w. 410 H), dan yang lain-lainnya.[63]
Dalam tafsirnya mereka masih menggunakan corak tafsir bi al-ma’tsur, yaitu dengan jalan mencantumkan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi, sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Dalam pengambilan riwayat, terkadang juga disertai dengan adanya pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan memberikan kesimpulan sejumlah hukum serta menjelaskan kedudukan kata jika diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an.
Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bi al-ma’tsur saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang dalam aktifitasnya mulai meringkas sanad-sanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih. Sehingga para peneliti dan pengakaji kitab-kitab tersebut beranggapan bahwa semua riwayat yang terdapat didalamnya adalah shahih, yang pada akhirnya mereka juga akan menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber penafsirannya. Di sisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyyat sebagai dasar penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dulu.
Tahap keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan tafsir sudah mulai mencapai kesempurnaan, yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan serta banyaknya madzhab yang bermunculan. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Qur’an berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai kecenderungan. Akibat dari itu semua, maka perkembangan tafsir mulai mengarah kepada tafsir bi al-ra’y, yang dalam perkembangnnya telah terjadi melalui beberapa tahap secara berangsur-angsur.


Catatan Akhir:

[1]Lihat Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976, hlm. 32
[2]Ibid., hlm. 98
[3]Ibid., hlm. 140
[4]Lihat A.D. Su’ud Bin Abd Allah al-Fanisan, Ikhtilaf al-Mufassirin, Asbabuhu wa atsaruhu, Markaz Dirasat wa al-I’lam, Riyadh, 1997, hlm. 13-46
[5]Pembahasan tentang sejarah perkembangan tafsir ini dapat dilihat lebih lanjut pada Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, Maktabah al-Khanjy, Mesir, 1955.
[6]Lihat Drs. Ahmad Musthafa Hadna, SQ, Problematika Menafsirkan al-Qur’an, Dina Utama Semarang, Semarang, 1993, hlm. 24; lebih lanjut ia menjelaskan bahwa untuk peride yang disebutkan kedua dimulai sekitar abad pertama sampai awal abad keempat hijriyah, dan mencakup masa sahabat, tabi’in, dan tabi’ at-tabi’in. Sedangkan periode ketiga dimulai pada abad IV sampai abad XII hijriyah, dan berbagai disiplin ilmu mulai sudah banyak dibukukan. Sementara itu periode keempat dimulai sejak abad XIII atau sekitar abad 19 masehi hingga sekarang.
[7]Haqiqah adalah makna asli dari suatu lafazh atau kalimat. Makna ini biasanya sebagai perimbangan terhadap makna majaz.
[8]Makna majazi adalah makna lafazh atau kalimat yang tidak diartikan dengan makna hakiki, yaitu makna yang dapat diperoleh melalui bentuk qarinah, bahwa makna itulah yang dikehendaki oleh lafazh atau kalimat tersebut. Seperti lafazh ‘rahmat’ dalam Q.S. Ali Imran/3: 107. Makna hakiki dari lafazh rahmat adalah kasih sayang, namun dalam ayat tersebut yang dikehendaki adalah makna majazinya, yaitu surga. Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut diartikan dengan makna surga adalah dilihat dari kalimat sebelumnya, dan juga kalimat sesudahnya.
[9]Kinayah adalah lafazh yang mengandung makna yang tersembunyi, meskipun demikian ia tetap dapat dipahami walaupun tanpa bantuan qarinah, karena lafazh itu sudah lazim digunakan untuk makna tersebut. Seperti lafazh ‘dakhaltum’ atau ‘dukhul’ yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa/4: 23. Secara bahasa arti dasar kata itu adalah masuk. Namun lafazh tersebut sudah umum di kalangan masyarakat sebagai kinayah dari lafazh jima’. Sehingga, ketika seseorang berkata dukhul maka yang dipahami adalah jima’.
[10]Para ulama berselisih pendapat tentang bahasa al-Qur’an, apakah secara keseluruhan bahasa al-Qur’an adalah bahasa Arab ataukah ada unsur bahasa lain yang di Arabkan. Karena menurut penelitian Ibn Jarir at-Thabari ternyata didalamnya tidak sedikit dijumpai bahasa non-Arab, seperti bahasa Habasyah. (Lihat contoh keterangan ini pada Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Qur’an, Manshurat al-‘Asyr al-Hadis, t.tp, t.th., hlm. 333-334).
[11]Muhammad Husain Adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 33
[12]Lihat Manna Khalil al-Qattan, op. cit., hlm. 334-335; juga Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 33
[13]Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 335; Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 36
[14]Mutasyabih secara harfiyah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang masih samar pengertiannya. Nash mutasyabih berarti nash yang masih sulit (musykil) untuk ditafsirkan, karena terdapat kesamaran makna di dalamnya. Artinya lafazh tersebut masih terdapat keserupaan dengan sesuatu yang lainnya, baik dari segi lafazh maupun dari segi maknanya. Namun, biasanya nash mutasyabih lebih dilihat dari segi maknanya. Nash mutasyabih ini merupakan imbangan dari nash yang bersifat muhkam (jelas pengertiannya). Diskursus tentang nash yang muhkam maupun yang mutasyabih ini berangkat dari firman Allah dalam Q.S. Ali Imran/3: 7.
[15]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1998, hlm. 25-26
[16]Sebagai contoh dapat dikemukakan sebuah riwayat bahwa Umar Ibn Khattab telah mengangkat Qudamah sebagai Gubernur Bahrain. Kemudian Jarud mengadu kepada Umar bahwa Qudamah telah minum khamr dan mabuk. Lalu Umar berkata: “Siapakah orang lain yang ikut menyaksikan perbuatan tersebut?”. Jarut berkata: “Abu Hurairah telah menyaksikan apa yang telah ku katakan”. Kemudian Umar memanggil Qudamah dan mengatakan: “Ya Qudamah, aku akan mendera engkau”. Berkata Qudamah: “Seandainya aku meminum khamr sebagaimana yang mereka katakan, tidak ada suatu alasan pun bagi engkau untuk mendera”. Umar berkata: “Kenapa?”. Jawab Qudamah: “Karena Allah telah berfirman dalam surat al-Maidah/5: 93: “Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh, karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah menyuakai orang-orang yang berbuat kebajikan”. Sedang saya adalah orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, kemudian bertakwa dan beriman, saya ikut bersama nabi Muhammad dalam perang Badr, Uhud, Khandaq, dan peperangan yang lain”. Umar berkata : “Apakah tidak ada di antara kamu sekalian yang akan membantah perkataan Qudamah?”. Berkata Ibn Abbas: “Sesungguhnya ayat 93 suarat al-Maidah diturunkan sebagai uzur bagi umat pada masa sebelum ayat ini diturunkan, karena Allah berfirman dalam Surat al-Maidah/5: 90: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji; termasuk perbuatan syetan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar mendapat keberuntungan”. Berkata Umar : “Benarlah Ibn Abbas”. (Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, Jakarta, 1998, hlm. 25-26; bandingkan dengan adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 60).
[17]Lihat Muhammad Husai adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 34; juga Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 334-335
[18]Lihat Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit. hlm. 37
[19]Nash mujmal adalah nash yang menunjuk pada suatu makna yang tidak terang dan masih bersifat global, artinya makna yang dikehendaki dari suatu nash tersebut belum jelas sebelum adanya nash lain yang menjadi tafshil, tabyin, dan tafsirnya. Seperti kalimat aqimus shalat yang terdapat dalam beberapa ayat al-Qur’an. Dalam hal ini kalimat tersebut belum jelas pengertiannya karena masih memiliki pengertian yang sangat global sekali. Di dalamnya juga tidak dijelaskan bagaimana caranya, jumlah reka’atnya, bagaimana bacaannya, dan lain sebagainya. Baru kemudian ayat tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis yang mashur, shlatlah kamu sebagaimana kamu lihat saya shalat.
[20]Lafazh mubayyan ini sama pengertiannya dengan term lain seperti mufashshal, dan mufassir. Ketiga term ini merupakan imbangan dari term mujmal.
[21] Nash mutlaq adalah nash yang menunjukkan pada sesuatu makna, tanpa dikaitkan dengan suatu syarat atau sifat atau ciri apapun. Seperti lafazh fatahriru raqabah (memerdekakan budak) yang terdapat dalam Q.S. al-Maiadah/5: 89. Lafazh tersebut mutlak tidak dikaitkan dengan kaitan apapun, baik budak yang mukmin maupun budak kafir.
[22]Muqayyad adalah nash yang menunjuk pada suatu makna yang dikaitkan dengan suatu syarat, sifat dan ciri tertentu. Seperti kalimat fatahriru raqabatin mu’minatin (memerdekakan budak mukmin) yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa/4: 29, dimana kalimat ini terulang tiga kali dalam al-Qur’an. Lafzh raqabah pada ayat tersebut dikaitkan dengan sifat mu’minah (yang beriman). Sehingga raqabah yang tidak memiliki fifat dimaksud, maka tidak termasuk dalam kategori ini.
[23]‘Am adalah nash yang memberi pengertian umum, yang menunjukkan lebih dari dua hakikat, yang mencakup semua jenis. Seperti lafazh rijalun yang terdapat dalam kalimat al-Rijalu qawwamuna ‘alan nisa’. Dimana lafazh ini mencakup semua satuan yang berjenis kelamin laki-laki.
[24]Khas adalah nash yang secara langsung dan jelas menunjuk kepada maksud atau makna tertentu. Seperti lafazh Muhammad yang sering terulang dalam al-Qur’an. Maka yang dimaksud dengan Muhammad disini adalah Nabi Muhammad SAW, dan bukan nama Muhammad yang lainnya.
[25]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 38
[26] Ibid,.
[27] Ibid., hlm. 39
[28] Ibid., hlm. 40
[29]Ibid., hlm. 45;
[30]Dikutip dari ibid., hlm. 45
[31]Nama lengkapnya adalah Muhammad Ibn Ahmad Ibn al-Khalil Ibn Sa’adah al-Khawy, yang dinisbahkan pada al-Khawy, salah satu kota di Tibriz. Ia adalah seorang ahli fiqh, ushul, hadis, dan juga tafsir. Ia dilahirkan di Damsik pada tahun 626 H dan meninggal pada tahun 693 H. Di antara karyanya adalah Syarh al-Ushul al-Khamsin fi al-Nahw milik Ibn Mu’thy al-Maliky, dan Nadham Ulum al-Hadis.
[32]Lihat lebih lanjut A.D. Abu Su’ud Ibn Abdullah al-Fanistan, op. cit., hlm. 16-23; bandingkan dengan Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 48-56
[33]Nama lengkapnya adalah al-Hafidz Abu Bakar Ahmad Ibn Amr Ibn Abd al-Khaliq al-Bishry al-Bazar. Ia hidup di Asbahan dan meninggal di al-Rumlah, negara bagian Palestina pada tahun 292 H..
[34]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 53
[35]Selengkapnya teks hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ وَأَبُو النَّضْرِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ عَنْ زُبَيْدٍ عَنْ مُرَّةَ الْهَمْدَانِيِّ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةُ الْوُسْطَى صَلَاةُ الْعَصْرِ (رواه الترمذى)
[36]Selengkapnya teks hadis tersebut berbunyi sebagai berikut:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِاللَّهِ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( الَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ ) شَقَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالُوا أَيُّنَا لَمْ يَلْبِسْ إِيمَانَهُ بِظُلْمٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّهُ لَيْسَ بِذَاكَ أَلَا تَسْمَعُ إِلَى قَوْلِ لُقْمَانَ لِابْنِهِ ( إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ ) (رواه البخارى و مسلم)
[37]Ibid., hlm. 57
[38]Berkaitan dengan beberapa perangkat metodologis dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an sebagimana disebutkan di atas, para sahabat memiliki pemahaman yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat pengetahuan mereka terhadap hal-hal tersebut. Hal ini sebagaimana ditunjukkan dalam riwayat kasus Umar dengan Qudamah bin Madlun sebagaimana terdahulu. (Lihat contoh lain pada ibid., hlm. 60-61)
[39]Sebagai contoh dapat dilihat dalam Q.S. at-Taubah/10: 38; dan Q.S. al-Baqarah/2: 189. Hal ini tidak dapat dipahami maksudnya apabila seseorang tidak mengetahui adat-istiadat orang Arab Jahiliyyah ketika ayat ini diturunkan.
[40]Tema tentang Asbab al-Nuzul dibahas pada bab tersendiri. Tema ini dalam kajian ilmu tafsir atau ilmu-ilmu keal-Qur’an-an mempunyai kedudukan yang sangat penting, hal ini sebagaimana dikatakan oleh al-Wahidi: “Seseorang tidak akan mengetahui tafsir ayat al-Qur’an kalau ia tidak mengatahui kisah dan sebab-sebab turunnya ayat”. (ibid., hlm. 58-59)
[41]Ibid., hlm. 58
[42]Dikutip dari Manna Kholil al-Qattan, op. cit, hlm. 337
[43]Ibid.
[44]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 61
[45]Menurut Ahmad Khalil, penyebaran cerita israiliyyat tersebut ke dalam umat Islama melalui dua jalan, pertama, melalui orang-orang yang sangat tekun mempelajari dan menyebarkan kisah-kisah seperti di masjid-masjid. Orang yang memprakarsai peratama kali adalah keturunan Bani Umayah dengan tujuan agar umat Islam terlena dan lupa akan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Bani Umayah. Dan yang terkenal di antara mereka adalah Abu Musa al-Aswari bin Salam; kedua, melalui para sufi dan orang-orang Syiah. Hal ini dapat dilihat pada Fi Hilyah at-Thabaqat al-Asfiya. Bukti lain sebagaimana penelitian yanag dilakukan oleh orientalis Jerman dalam Asy-Syi’ah wa al-Israilliyyat. (Lihat Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, Melacak Unsur-unsur Israilliyat Dalam Tafsir ath-Thabari dan Tafsir Ibn Katsir, Pustaka Sejati, Bandung, 1999, hlm. 39)
[46]Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf bin Salam bin al-Haris al-Israili al-Anshari. Ia masuk Islam seseaat setalah Rasulullah SAW. tiba di Madinah dalam peristiwa Hijrah. Statusnya cukup tinggi di mata Rasulullah SAW.. Ia pun salah seorang sahabat yang dikabarkan masuk surga. Ia pernah ikut dalam pertempuran Badr dan ikut menyaksikan penyerahan bait al-maqdis ke tangan umat Islam. Riwayat-riwayatnya banyak diterima oleh kedua putranya; Yusuf dan Muhammad, Auf bin al-Malik, Abu Hurairah, dan lainnya. Bukhari pun memasukkan beberapa riwayat darinya. (Lihat Drs. Rosihon Anwar, M.Ag, op. cit., hlm. 37)
[47]Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Ibn Munabih Ibn Sij, Ibn Kinaj al-Yamani Abu Abdillah al-Abnawi. Ia masuk Islam pada masa Rasulullah SAW. Menurut Zahabi Ia adalah seorang yang jujur, terpercaya dan banyak menukilkan israiliyyat. (Lihat bid., hlm. 38)
[48]Ia adalah Abu Ishaq Ka’ab bin Mani al-Humairi yang kemudian terkenal dengan sebutan Ka’ab al-Akhbar, karena kedalaman pengetahuannya. Menurut Ibn Hajar Ia berasal dari Yahdi Yaman dan masuk Islam pada masa kekhalifahan Umar ibn al-Khaththab. Banyak sekali cerita Israiliyyat yang dinisbahkan kepadanya dan banyak pula yang meriwayatkan darinya seperti Muawiyah, Abu Hurairah, Ibn Abbas, Malik bin Abi Amir al-Asbani, Atha bin Abi Rabah, Abdullah bin Damrah, dan lainnya. Menurut Abu Rayah, Ia masuk Islam dengan tujuan menipu, dimana hatinya masih menyembunyikan sifat-sifat keYahudiannya dan ingin memanfaatkan keluguan Abu Hurairah. Oleh karena itu ke-tsiqah-annya diperdebatkan. Misalnya Ahmad Amin yang meragukan ketsiqahannya bahkan keagamaanya. (Lihat ibid., hlm. 38)
[49]Muhammad Husai adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 97-98
[50]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 99
[51]Lihat lebih lanjut ibid., hlm. 101-114
[52]Ia adalah Abu Muhammad atau Abu Abdullah., Said bin Jubair bin Hisyam al-Asady seorang asli Habsy. Ia adalah seorang tabi’in yang sangat terkenal dalam bidang tafsir, hadis, fiqh dan juga menguasai berbagai macam qira’ah. Hal ini sebagaimana riwayat dari Ismail bin Abd al-Malik, yang mengatakan: “Said bin Jubair pada malan bulan puasa senantiasa membaca al-Qur’an dengan bacaan versi Abdullah bin Mas’ud, pada malam yang lain dengan bacaan Zaid bin Tsabit, dan pada malam yang lain membaca dengan bacaan yang lain pula”. (Baca lebih lanjut adz-Dzahabi, hlm. 102-103)
[53]Dia adalah Mujahid bin Jubair, lahir pada tahun 21 H., pada masa pemerintahan Umar ibn al-Khaththab dan meninggal dunia di Makkah pada usia 83 tahun. Ia meriwayatkan tafsir dari Ibn Abbas dan orang yang paling tsiqah di antara para sahabatnya yang lain. Dalam kitab shahih al-Bukhari kita dapat menjumpai riwayat-riwayat yang berasal dari Mujahid yang dapat dijadikan sebagai bukti akan ke-tsiqahan dan keadilannya. (Keterangan lebih lanjut baca adz-Dzahabi, hlm. 104-107)
[54]Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Atha’ bin Abi Rabah al-Makiy al-Qurasyiy, lahir pada tahun 27 H dan meninggal pada tahun 114 H.
[55]Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Ikrimah al-Barbariy al-Madaniy Maula Ibn Abbas, asli dari Barbar. Banyak meriwayatkan dari gurunya dan juga Ali ibn Abi Thalib, Abu Hurairah, dan lainnya. Para ulama berselisih pendapat tentang ke-tsiqah-annya. (Baca lebih lanjut adz-Dzahabi, hlm. 107-112)
[56]Nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman Thawus bin Kaisan al-Yamani al-Hamiriy al-Jundiy.Ia adalah seorang yang alim dalam bidang ilmu tafsir. Riwayatnya banyak di ambil oleh para sahabatnya. Ia banyak belajar dari Ibn Abbas dibandingakan dengan sahabat yang lainnya sehingga Ibn Abbas berkata: “Aku tidak menyangka bahwa Thawus termasuk salah seorang ahli surga”. (ibid., hlm. 112)
[57]Ia adalah Abu Usamah, atau Abu Abdullah, Zaid bi Aslam. Ia adalah seorang tabi’in yang ahli dalam bidang tafsir dan berstatus tsiqah, sebagaimana dikatakan Imam Ahmad, Abu Zur’ah, Abu Hatim, dan juga an-Nasa’i. Penilian mereka sudah cukup dijadikan dasar atas ke-tsiqahannya dan keadilannya. (ibid., hlm. 116-117)
[58]Nama lengkapnya adalah Abu al-‘Aliyah Rafi’ bin Mahran al-Rayah, diketahui sebagai orang Jahiliyah dan masuk Islam setalah wafatnya Nabi SAW. Ia termasuk salah seorang dari tabi’in yang terkenal (masyhur) dalam bidang tafsir dan berstatus tsiqah, hal ini sebagaimana penilian yang diberikan oleh Ibn Mu’in, Abu Zar’ah, dan juga Abu Hatim. Ia meriwayatkan banyak hal dalam bidang tafsir dari Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Umar, Ubay bin Ka’ab, dan yang lainnya, namun yang paling banyak adalah berasal dari Ubay bin Ka’ab. (Lihat adz-Dzahabi, op. citi., hlm. 115)
[59]Ia biasa dikenal dengan Abu Hamzah atau Abu Abdullah, Muhammad bin Ka’ab bin Salim bin Asad al-Quradhy al-Madany. Ia terkenal dengan ke-tsiqah­annya, keadilan dan wira’inya, banyak meriwayatkan hadis, dan juga mena’wilkan al-Qur’an. Banyak meriwayatkan dari Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan lain-lainnya. (ibid., hlm. 116)
[60]Ibid., hlm. 130-131
[61]Ibid., hlm. 140; Manna al-Qaththan, op. cit., hlm. 340
[62]Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 141
[63]Ibid.

Tidak ada komentar: