Selasa, 01 Juli 2008

WAHYU:
BENTUK KOMUNIKASI TRANSENDENTAL
ANTARA TUHAN DENGAN MANUSIA

Oleh Mohammad Nor Ichwan

Abstrak:
Dalam bab ini akan diuraikan tentang pengertian wahyu baik secara etimologis maupun terminologis, juga dijelaskan tentang proses terjadinya komunikasi antara Tuhan dengan malaikat, di mana wahyu Al-Qur’an turun kepada Nabi Muhammad saw kebanyakan melalui perantara Malaikat Jibril. Demikian pula akan dijelaskan tentang proses terjadinya komunikasi verbal antara Tuhan dengan manusia, yang dalam al-Qur’an dapat dikategonkan menjadi tiga bentuk, yaitu komunikasi misterius, berbicara di balik tabir, dan mengirimkan seorang utusan. Juga akan diuraikan tentang struktur semantik wahyu, yang sangat berbeda sekali dengan struktur komunikasi antara manusia dengan manusia, yang merupakan hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, sementara struktur semantik wahyu mempunyai sifat searah antara empat oknum. Kemudian pada bagian akhir akan dikemukakan tentang perspektif ilmu pengetahuan modern tentang wahyu.

Diskursus tentang wahyu dalam Islam, bukanlah sesuatu hal yang baru. Karena pembahasan tema ini telah banyak ditulis oleh para pakar dalam berbagai disiplin ilmu, baik di kalangan sarjana muslim maupun sarjana Barat.[1] Pembahasan tentang wahyu sendiri secara khusus banyak ditulis di dalam kitab-kitab yang secara langsung berkaitan dengan ke Al-Qu'anan, atau disebut juga dengan Ulum Al-Qur’an.[2]
Dalam ilmu kalam (teologi Islam), eksistensi wahyu ini sering diperban­dingkan dengan eksistensi akal[3] dalam hal kemampuan keduanya dalam memperoleh pengetahuan tentang: (1) adanya Tuhan, (2) mengetahui kewajiban berterima kasih pada Tuhan, (3) mengetahui baik dan buruk, serta (4) kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat.[4] Akal yang merupakan daya berpikir yang ada pada diri manusia berusaha keras untuk bisa sampai kepada Tuhan, sedangkan wahyu sebagai pemberitaan yang berasal dari alam metafisika turun kepada manusia dengan membawa berbagai informasi tentang ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Dalam Islam, kebenaran di samping dapat dicapai dengan kekuatan akal juga tidak mengesampingkan wahyu yang merupakan pengkhabaran dari Tuhan kepada manusia. Hal ini sangat berlainan sekali dengan tradisi Barat yang hanya menggunakan akal dan bukti-bukti empiris untuk mencapai kebenaran yang dimaksud.

A. Wahyu: Perspektif Etimologis dan Terminologis
Menurut bahasa (etimologis), kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-Wahy, yang memiliki beberapa arti, di antaranya suara, tulisan, isyarat, bisikan, paham, dan juga api.[5] Ada juga yang mengartikan sebagai sesuatu yang tersembunyi dan cepat.[6] Wahyu dengan pengertian ini berarti memberitahukan sesuatu dengan cara yang tersembunyi dan cepat. Dengan demikian pengertian ini mengandung maksud penyampaian sabda Tuhan kepada manusia pilihan-Nya tanpa diketahui orang lain, agar dapat diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan sebagai pegangan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dalam Al-Qur'an term wahyu diulang sebanyak 78 kali, yaitu dalam bentuk kata benda (isim) sebanyak 6 kali, dan dalam bentuk kata kerja (fi'l) sebanyak 72 kali.[7] Kata wahyu dalam AI-Qur'an memiliki beberapa arti di antaranya adalah:[8]
1. Ilham naluriah bagi manusia, seperti wahyu terhadap Ibu Nabi Musa as.
"Dan telah Kami wahyukan (ilhamkan) kepada Ibunya Musa supaya ia menyusui­nya"(QS. Al-Qashash/28: 7).
"Dan (ingatlah) ketika Aku mewahyukan (mengilhami) kaum Hawariyin (para pengikut sma Nabi Isa): Hendaklah kabian beriman kepada-Ku dan kepada rasul-Ku. Mereka menjawab "Kami telah beriman, dan saksikanlah (hai Rasul) babwa kami adalab orang-orang yang patuh (kepada seruanmu)"(QS. al-Maidah/5: 111).

2. llham naluriah bagi binatang, seperti wahyu kepada lebah.
"Dan Tuhanmu telh mewahyukan kepada lebah: "Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon pohon dan di rumah-rumah yang didirikan oleh manusia"(QS. an-Nahl/16: 68).
3. Isyarat yang cepat dalam bentuk lambang dan petunjuk, seperti isyarat Nabi Zakaria kepada kaumnya[9] untuk mengagungkan Tuhannya.
"Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarut kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang"(QS. Maryam/19: 11).

4. Bisikan dan tipu daya setan untuk mengajak manusia berbuat kejahatan, di antaranya terdapat dalam QS. al-An'am/6: 112; dan 121:
"Sesungguhnya setan-setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu"(QS. Al-An’am/6: 112).
"Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan dari jenis manusia dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia"(QS. al-An'am/6.112).

5. Perintah Tuhan kepada para malaikat supaya melaksanakannya. Di antaranya terdapat dalam QS. al-Anfal/8: 12:
"Ingatah ketika Tuhanmu mewahyukan (memerintahkan) kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman "(QS. al-Anfal/ 8: 12).

Sedangkan secara terminologis, wahyu oleh Muhammad ‘Abd al-‘Azhim al-Zarqani didefinisikan sebagai:[10]

"Pemberitahuan Allah swt kepada hambanya yang terpilih mengenai segala sesuatu yang ia kehendaki untuk dikemukakan-Nya, baik berupa petunjuk maupun ilmu, namun penyampaiannya dengan cara rahasia dan tersembunyi serta tidak terjadi pada manusia biasa".

Sementara itu Muhammad Abduh dalam kitab al-Risalah al-Tauhid? mendefinisikannya sebagai:

"Pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang dari Allah baik dengan sesuatu perantaraan suara yang dapat didengarkan dengan telinga atau tanpa suara sama sekali".[11]

Lebih lanjut beliau menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara wahyu dengan ilham (inspirasi).[12] Ilham merupakan intuisi (wijd?) yang meyakinkan hati, dan yang mendorongnya untuk mengikuti tanpa diketahui dari mana datangnya. Ilham serupa dengan perasaan lapar, haus, suka, dan duka.
Ada perbedaan yang mendasar antara penerimaan wahyu oleh Nabi Muhammad saw dan penerimaan ilham oleh penyair dan filosof. Harun Nasution dengan mengutip pendapat Dr. M. Abdullah Diraz mengatakan sebagai berikut:

Pada penyair dan filosof terdapat terlebih dahulu dalam diri mereka ide dan kemudian barulah ide itu diungkapkan dalam kata-kata. Sebaliknya dalam diri Nabi tidak ada ide yang mendahulni ataupun bersamaan datangnya dengan kata yang diucapkan. Nabi Muhammad sendiri pada mu;anya merasa terperanjat karena ketika beliau ingin menangkap kata-kata yang didengar beliau merasa dirinya dipaksa untuk mengucapkan kata-kata yang diwahyukan itu.[13]

Dalam hubungan ini Dr. Subhi Shaleh[14] mengingatkan bahwa seseorang harus berusaha menjauhkan dan tidak mencampuradukkan antara term wahyu dengan term-term lain yang memiliki kemiripan arti, seperti term ilham, penglihatan batin, kasf dari bentuk term lainnya. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari salah pengertian akibat penggunaan kata yang tidak proporsional. Menurutnya lebih lanjut bahwa antara term wahyu dengan term kasf memiliki perbedaan yang sangat jauh. Kasf tidak menunjukkan segi kejiwaan tertentu yang jelas dan konkret, karena kasf itu merupakan hasil jerih payah latihan rohani, atau buah perenungan yang lama. Oleh karenanya kasf tidak menumbuhkan keyakinan yang sempurna di dalam jiwa dan tidak mendekati kesempurnaan. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kasf pada orang-orang arif tidak ada bedanya dengan inspirasi, yaitu semacam intuisi yang dapat dikenali oleh jiwa seseorang tanpa adanya keyakinan dari mana sumbernya. Karena di dalam kasf sendiri mengandung unsur "tanpa rasa", yaitu unsur yang amat jauh dari kenyataan hidup dan perasaan. Oleh karenanya seorang ahli kasf tidak akan sampai kepada derajat kenabian (nubuwah) dan wahyu.

B. Proses Terjadinya Komunikasi antara Tuhan dengan Malaikat
Ada beberapa ayat dalam Al-Qur'an yang secara eksplisit menerang­kan tentang proses terjadinya komunikasi antara Tuhan dengan para malaikat secara langsung, di antaranya dilukiskan dalam surah al-Baqarah/2: 30:

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusukan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.(al-Bagarah/2: 30).

Ketika Allah swt. hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi[15] ini sempat terjadi dialog antara Tuhan dengan malaikat. Tatkala malaikat mendengar rencana itu lalu la berkata: Menngapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan di dalamnya?.
Ayat lain yang senada dengan ayat di atas adalah firman Allah swt dalam QS. al-Anfal/8: 12:

(Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-oran yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir. Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka"(Q.S. al-Anfal/8:12).

Dalam ayat ini diterangkan bahwa Allah swt memberikan perintah kepada para malaikat-Nya untuk selalu memantapkan pendirian orang­orang yang telah beriman.
Dari kedua keterangan di atas dapat kita pahami bahwa komunikasi antara Tuhan dengan para malaikat sering terjadi, dan hal ini terjadi secara langsung tanpa ada perantara, bahkan para malaikatpun tanpa merasa kesulitan dalam memahami firman Allah tersebut. Kesamaan Allah dengan malaikat dalam keghaiban Dzat memungkinkan: kemudahan pemahaman yang sama terhadap pesan komunikasi wahyu, terlepas apakah respons komunikan akan patuh atau ingkar.[16] Dengan demikian, semua ayat-ayat Al-Qur'an yang pewahyuannya dititipkan kepada malaikat, yang dalam hal ini adalah malaikat jibril, untuk disampaikan kepada seorang nabi, tidak berbeda dengan wahyu yang langsung diturunkan kepada nabi itu sendiri. Hal ini sejalan dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh al-Thabrani dari Nuwas bin Sam’an, Rasululah saw bersabda:

Apabila Allah hendak memberikan wahyu mengenai suatu urusan, Dia berbicara­ melalui wahyu; maka langitpun tergetarlah dengan getaran yang dahsyat karena takut kepada Allah. Apabila penghuni langit mendengar hal itu, maka pingsan dan jatuh bersujudlah mereka itu kepada Allah. Yang pertama sekali mengangkat muka di antara mereka adalah Jibril, maka Allah membicarakan wahyu itu kepada Jibril menurut apa yang dikebendaki-Nya. Kemudian Jibril berjalan melintasi para malaikat. Setiap kali dia melalui satu langit, maka bertanyalah kepadanya malaikat langit itu: Apakah yang telah dikatakan oleh Tuhan kita wahai Jibril. Jibril menjawab: Dia mengatakan yang hak dan Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar. Para malaikat itu semuanya pun mengatakan seperti apa yang dikatakan Jibril. Lalu Jibril menyampaikan wahyu itu seperti diperintahkan Allah Azza wa Jalla.[17]

Hadits di atas menjelaskan bagaimana wahyu Al-Qur'an turun, yaitu Allah swt berbicara, dan malaikat mendengarnya. Dan akibat yang ditimbulkan dari wahyu ini sangat dahsyat sekali. Meskipun pada lahir hadits tersebut adalah berkenaan dengan wahyu al-Qur’an, namun hadits tersebut juga menjelaskan tentang cara turunnya wahyu secara umum.
Sementara itu ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa turunnya wahyu al-Qur'an dengan cara Jibril menghafalnya dari Lauhul Mahfuzh. Hal ini didasarkan pada firman Allah swt:

"Bahkan ia adalah al-Qur'an yang mulia yang tersimpan di Lauhul Mahfuzh"(QS. al-Buruj/85: 21-22).

"Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an pada malam lailatul qadar"(QS. Al-Qadar/97: 1).

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa al-Qur'an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailat al-Qadar.[18] Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur[19] kepada Nabi Muhammad saw selama dua puluh tahun. Hal ini senada dengan hadits Hakim dari lbn Abi Syaibah: "Telah dipisahkan al-Qur'an dari al-Dikr, lalu diletakkan di Baitul Izzah di langit dunia; kemudian Jibril menurunkannya kepada Nabi saw". Juga hadits mauquf yang diriwayatkan oleh Hakim, Baihagi, dan Nasa'i dari Ibn Abbas: "Al-Qur’an itu diturunkan sekaligus ke langit dunia pada malam lailat al-qadar. Kemudian setelah itu diturunkan selama dua puluh tahun. Lalu Ibn Abbas membacakan: "Mengapa tidak diturunkan Al-Qur'an itu kepada Muhammad semuanya sekali (dengan sekaligus)?" Al-Qur'an diturunkan dengan cara (berangsur-angsur) itu kerana Kami hendak menetapkan hatimu (wahai Muhammad) dengannya. dan Kami nyatakan bacaannya kepadamu dengan teratur satu per satu"(QS. al-Furqan/25: 32). Hal ini senada dengan firman Allah swt dalam QS. al-Isra'/17: 106, sebagai berikut:

"Dan Al-Qur'an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya secara perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkanrya bagian demi bagian"(QS. al-Isra'/17: 106).[20]

Berdasarkan beberapa keterangan di atas para ulama berbeda pendapat[21] tentang bagaimana cara wahyu Allah turun kepada malaikat Jibril berkaitan dengan wahyu Al-Qur'an, di antaranya: pertama, Jibril menghafalnya dari Lauh Mahfuzh, kedua, Jibril menerimanya secara makna, sedangkan lafazhnya berasal dart Jibril, atau dari Muhammad saw, dan ketiga, Jibril menerimanya dari Allah swt melalui pendengaran dengan lafazhnya yang khusus.
Menurut Manna' al-Qaththan, dan juga para ahli hadits serta jumhur ulama, di antara ketiga pendapat di atas yang mendekati kebenaran adalah pendapat yang disebutkan terakhir, hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Nuwas bin Nu'man di atas. Di samping itu, pendapat ini juga dikuatkan oleh beberapa nash A1-Qur'an, yang menyatakan bahwa al-Qur'an bukanlah perkataan Jibril atau perkataan Nabi Muhammad saw, di antaranya:

Sesungguhnya kamu benar-benar diberi al-Qur'an dari Allah Yang hlaha Bijaksarna dan Maha Mengetahui"(QS. al-Naml/27: 6).

Dan jika ada orang di antara kaum musyrik itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah dia supaya dia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya. Demikianlah itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui"(QS. al-Taubah/9: 6).

Dan apahila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah al-Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia", Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri" Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahukan kepadaku"(QS. Yunus/10: 15).

Sedangkan dua pendapat yang disebutkan pertama, tidak memiliki dasar yang kuat dan bertentangan dengan nash al-Qur'an maupun ijma’ para ulama.

C. Proses Komunikasi antara Tuhan dengan Manusia
Dalam AI-Qur'an dijelaskan bahwa ada tiga[22] bentuk komunikasi verbal dari Tuhan kepada manusia. Ketiga bentuk itu dinyatakan secara jelas dan masing-masing dapat dibedakan, hal ini sebagaimana dituturkan dalam QS. al-Sura/42: 51

Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Syura/42: 51).

Dari ayat di atas jelas bahwa ketiga cara pengiriman wahyu yang berbeda-beda itu adalah, pertama, melalui wahyu (komunikasi misterius); kedua, berbicara dari balik tabir; dan ketiga, mengirimkan seorang utusan.
Pewahyuan tipe pertama pada ayat di atas tidak dijelaskan dalam ayat tersebut, dan sesungguhnya kita masih gelap, istilah apa yang cocok untuk menyebut tipe pertama itu. Dalam hal ini wahyu adalah suatu kebenaran yang disampaikan ke dalam kalbu atau jiwa seseorang, tanpa terlebih dahulu timbul pikiran atau mukadimah-mukadimah, dan kebenaran itu menjadi terang bagi yang bersangkutan, dan bukan merupakan kemanunggalan Roh Tuhan dengan roh para penulis kitab suci sebagaimana yang ditulis oleh sebagian orientalis.[23] Wahyu dalam bentuk yang pertama ini semacam komunikasi langsung yang merupakan karunia khusus dan Allah swt yang diberikan kepada nabi pilihanya, seperti mimpi yang benar yang dialami oleh Ibrahim agar menyembelih anaknya Ismail. Allah berfirman:

"Maka kami beri dia kabargembira dengan seorang anak yang sangat sabar. Maka tatkala anak itu telah sampai pada umur sanggup berusaha bersama-­sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!". Dia menjawab: "Wahai bapak, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Inya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri, dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, nyatalah kesabaran keduanya. Dan kami panggilah dia: "Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah memenuhi apa yang kau lihat dalam mimpi itu, demikian Kami memberi balasan kepada orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu pujian yang baik di kalangan orang-orang yang datang kemudian, yaitu "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk di antara hamba-­hamba Kami yang beriman. Dan Kami beri dia kabargembira dengan kelahiran Ishak seorang nabi yang termasuk orang-orang yang saleh"(al-Saffat/37: 101-­112).

Mimpi yang benar ini juga pernah dialami oleh Nabi Muhammad saw, sebagai persiapan bagi beliau untuk menerima wahyu dalam keadaan sadar, dan tidak dalam keadaan tidur.[24] Berkenaan dengan hal ini, A'isyah menceritakan perihal sebelum turunnya wahyu sebagai berikut:

Turunnya wahyu kepada Rasulullah saw sebelumnya diawali dengan mimpi yang benar di saat beliau tidur. Dalam mimpi itu dilihat cahaya fajar pagi. kemudian (setelah bangun) beliau ingin berkhalwat (menyendiri di tempat sunyi). Nabi lalu berkhalwat ke gua Hira. Di sana beliau melakukan sembah sujud selama beberapa malam sebelaum kembali ke rumah untuk mengambil bekal. Demikianlah beliau lakukan berulang-ulang, dan untuk itu Khadyah ra. selalu menyediakan bekal bagi beliau. Akhirnya datanglah al-Haq (yakni malaikat Jibril) pada saat beliau berada di gua Hira. Kepada beliau Jibril berkata: "Bacalah!" Beliau menjawab: 'Aku tidak dapat membaca". Selanjutnya Rasulullah saw mengatakan: Jibril kemudian merangkul dan memelukku sehingga aku tidak berdaya. Ia lalu melepaskan diriku seraya berkata: "Bacalah!_ Aku menjawab: 'Aku tidak dapat membaca". Jibril merangkul dan memelukku lagi sehingga aku tidak berdaya. Aku dilepaskan lagi dan Jibril berkata: "Bacalah"! Kujawab: Aku tidak dapat membaca". Jibril kemudian merangkul dan memelukku lagi untuk ketiga kalinya, kemudian aku dilpaskan lagi. Lalu ia berkata: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.(al-‘Alaq/96: 1-5).

Rasulullah saw pulang membawa firman tersebut dengan hati berdebar, lalu berkata kepada Khadijah binti Khuwailid: 밪elimuti aku.... Selimuti aku!". Beliau segera diselimuti. Tak lama kemudian beliau tidak merasa ketakutan lagi. Kepada Khadijah beliau memberitahu: "Aku khawatir akan diriku sendini". Khadijah menyahut: "Tidak! Demi Allah, Tuhanmu tidak akan merendahkan engkau, karena engkau adalah seorang yang menjaga baik hubungan kekerabatan, menolong orang tak berdaya, membantu kaum sengsara, menghormati tamu dan membela mereka yang berada di atas kebenaran".[25]
Keadaan Rasulullah saw ketika menerima wahyu Al-Qur'an yang pertama kali[26] sebagaimana yang terdapat dalam hadits di atas, yaitu surah al-Alaq/96: 1-5, dan juga pada setiap wahyu-wahyu berikutnya, bahkan sampai kepada wahyu yang terakhir,[27] beliau tetap dalam kesadaran yang sempurna, segar-bugar dan tidak pernah kehilangan keseimbangan, tidak seperti yang didakwakan oleh orang-orang Arab terdahulu dan juga kalangan orientalis bahwa Al-Qur'an tidak lain hanyalah bersumber dari mimpi, igauan orang yang kesurupan, atau khayalan seorang penyair.[28]
Tipe kedua dari proses turunnya wahyu adalah wahyu disampaikan "dari balik tabir".[29] Penerima wahyu pada kasus ini sama sekali tidak melihat si pemberi wahyu. Sekalipun tidak melihat apa-apa. Nabi mempunyai kesadaran yang sangat jelas bahwa di suatu tempat didekatnya ada hal ghaib yang berbicara kepadanva dengan cara yang asing. Sebagaimana Allah swt memanggil Nabi Musa dari belakang pohon dan ia mendengar panggilan itu. Allah berfirman:

Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau". Tuhan berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman". (al-A’raf/7: 143).

Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (al-Nisa/4: 164).[30]

Termasuk dalam kategori ini adalah wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw pada malam hari di waktu mi’raj, yang merupakan transformasi dari wujud fisik menjadi wujud roh. Oleh karena itu komunikasi Tuhan dengan beliau pada kesempatan tersebut harus digolongkan ke dalam cara komunikasi yang berbeda dengan komunikasi yang lainnya.
Tipe ketiga, komunikasi verbal melalui utusan khusus, di sini Muhammad tidak hanya mendengar kata-kata yang diucapkan, tetapi juga benar-benar melihat pembicara.[31] Cara ini adalah bentuk wahyu Allah swt yang paling tinggi, dan pemberian wahyu dengan cara ini hanya terbatas bagi para rasul, yaitu orang-orang yang ditugaskan mengemban risalah Tuhan untuk disampaikan kepada manusia. Al­-Qur'an secara keseluruhan diturunkan dalam bentuk tipe yang ketiga ini, sehingga Al-Qur'an dapat dikatakan sebagai bentuk wahyu yang paling tinggi.

Dan sesungguhnya Al-Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Al-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. Dan sesungguhnya Al-Qur'an itu benar-benar (tersebut) dalam Kitab-kitab orang yang dahulu. (QS. al-Syu'ara/26: 192-196).

Tipe yang ketiga ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits terkenal yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari A’isyah:

"Diberitakan bahwa al-Harits bin Hisham suatu ketika bertarya kepada Nabi. "Ya Rasulullah, bagaimanakah Wahyu datang kepadamu?". Lalu Nabi menjawab: "Kadang-kadang ia datang kepadaku seperti gemerincingnya lonceng, dan hal itu yang paling berat kurasakan; setelah suara itu lenyap aku mengetahui (wa'aitu)[32] apa yang kudengar". Namun ada kalanya juga tampak bagiku malaikat berupa seorang lelaki, ia berbicara kepadaku dan aku mengerti (a’i)[33] apa yang dikatakarmya".[34]

Hadits di atas menjelaskan dengan gamblang sekali dua macam gmbaran tentang komunikasi malaikat dengan rasul. Pertama, datang kepadanya suara seperti gemerincingnya lonceng (mitsla shalshalah al-jarsh) dan suara yang amat kuat yang mempengaruhi faktor-faktor kesadaran, sehingga ia dengan segala kekuatannya siap menerima pengaruh itu. Menurut Manna' al-Qatthan, suara semacam itu merupakan suara kepakan sayap-sayap para malaikat, hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Bukhari:

Apabila Allah menghendaki suatu urusan di langit, maka para malaikat memukul-mukulkan sayaprya karena tunduk kepada firman-Nya, bagaikan gemerincingnya mata rantai di atas batu-batu yang licin.[35]

Cara ini merupakan cara yang paling berat yang dirasakan oleh Nabi Muhammad saw. Gambaran ini sebagaimana dilukiskan dalam Al­Qur'an: "Sesungguhnya Kami hendak menurunkan kepadamu firman yang berat"(al-Muzammil/73: 5). Di saat wahyu turun melalui cara yang demikian itu dahi beliau bercucuran keringat. Hal ini sebagaimana dilukiskan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Siti A'isyah ra., dia mengatakan:

Aku pernah melihatnya tatkala wahyu sedang turun kepadanya pada suatu hari yang amat dingin lalu malaikat itu pergi, sedang keringatpun mengucur dari dahi Rasulullah.[36]

Bahkan, karena sedemikian beratnya beban yang dirasakan, sehingga unta yang beliau kendarai merebahkan diri, dan tidak sanggup berdiri. Hal semacam ini juga pernah dialami oleh Zaid bin Tsabit, yakni ketika Nabi sedang duduk dalam posisi paha beliau di atas paha Zaid bin Tsabit, dan ketika itu wahyu turun melalui cara sebagaimana tersebut di atas, maka betapa berat paha Rasulullah sampai-sampai Zaid merasa pahanya sendiri akan hancur.
Kedua, malaikat menjelma kepada Rasul sebagai seorang laki-laki dalam bentuk manusia.[37] Cara kedua ini dirasakan lebih ringan dari cara sebelumnya. Beliau tidak mendengar suara dentangan lonceng dan dahi beliau tidak sampai bercucuran keringat. Hal ini karena adanya kesesuaian antara pihak yang memberi (pembicara) dengan pihak yang menerima (pendengar). Dalam keadaan yang demikian penyampaian wahyu yang dilakukan oleh malaikat Jibrl kepada Rasulullah saw berlangsung dengan mudah dan lancar.
Keadaan Jibril menampakkan diri seperti seorang laki-laki itu tidaklah mengharuskan ia melepaskan sifat kerohaniannya. Dan tidak pula berarti bahwa dzatnya telah berubah menjadi seorang laki-laki. Tetapi yang dimaksudkan ialah bahwa dia menampakkan diri dalam bentuk manusia tadi untuk menyenangkan Rasulullah saw sebagai manusia, hal ini sangat berbeda sekali dengan cara yang pertama, karena cara yang pertama menuntut ketinggian rohani dari Rasulullah saw yang seimbang dengan tingkat kerohanian malaikat. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibn Khaldun:

Dalam keadaan yang pertama, Rasulullah melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya. Sedang dalam keadaan lain sebaliknya malaikat berubah dari yang rohani semata menjadi manusia jasmani.[38]

Proses komunikasi antara malaikat dengan Rasulullah saw, baik menggunakan cara yang pertama maupun cara yang kedua, beliau tetap dalam keadaan sadar dan mampu memahami secara keseluruhan apa yang diwahyukan kepadanya, sebagaimana yang diisyaratkan dalam hadits Bukhari dart Aisyah di atas. Dengan kondisi kesadaran seperti itu, Rasulullah saw sama sekali tidak mencampuradukkan pribadinya sebagai manusia yang diperintah dan yang menerima wahyu dengan Dzat Maha Tinggi yang menurunkan wahyu dan yang memerintah. Beliau sadar bahwa dirinya adalah manusia yang lemah di hadapan Allah swt, selalu khawatir kalau-kalau Allah swt tidak membukakan hatinya, dan karenanya beliau selalu berdoa: "Ya Allah penggerak hati manusia, gerakkanlah hatiku agar selalu taat kepada-Mu. Ya Allah yang membulak-balikkan hati manusia, tetapkanlah hatiku untuk patuh kepada agama-Mu.
Dalam al-Qur'an banyak sekali ayat yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw adalah manusia biasa sebagaimana manusia ­manusia lainnya. Tugas beliau tidak lain adalah hanya menyampaikan agama Allah sebagaimana yang telah diperintahkan Allah swt kepadanya. Beliau adalah hamba Allah yang taat dan takut akan adzab-Nya, serta tidak menguasai pengetahuan yang ada pada Allah swt dan tidak pula mengetahui rahasia ghaib.

"Katakanlah (hai Muhammad): 'Aku hanyalah manusia biasa seperti kalian, kepadaku diwahyukan bahwasannya Tuhan kalian adalah Tuhan Tang Maha Esa"(al-Kahfi/18: 110).

Katakanlah (hai Muhammad): 'Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku menguasai segala pengetahuan yang ada pada Allah. Aku tidak mengetahui hal-hal yang ghaib, dan aku pun tidak mengatakan kepada kalian bahwa aku ini malaikat. Aku hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku"(al-An'am/6: 50).

Dari dua ayat di atas,[39] dan juga ayat-ayat lain yang senada, nampak bahwa Rasulullah saw menyadari sepenuhnya perbedaan antara pribadinya sebagai pihak yang diperintah dan Allah swt sebagai pihak yang memerintah. Dengan kesadaran yang sempurna itu beliau dapat membedakan dengan jelas antara wahyu yang diturunkan kepadanya dan ucapan-ucapan pribadinya yang mencerminkan ilham dari Allah swt.[40] Tidak terjadi percampuradukan perasaan serta pemikiran yang bersifat manusiawi dengan Kalam Rabbani. Dengan demikian, maka al-Qur'an sepenuhnya berasal dari Tuhan dan tidak sedikitpun ada campur tangan Nabi Muhammad saw. Dalam al-Qur'an dijelaskan secara eksplisit bahwa Allah swt mengancam kepada Nabi Muhammad saw apabila mengada-ada di dalam al-Qur'an, hal ini terekam dalam QS. al-Haqqah/69: 43-47:

Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam. Seandainya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, Niscaya benar-benar kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian benar-benar Kami potong urat tali jantungnya. Maka sekali-kali tidak ada seorangpun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu. (al-Haqqah/69: 43-47).

Dalam hal ini Nabi Muhammad saw tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima apa yang diturukan Allah swt, karena wahyu turun tidak menuruti keinginan dan tidak pula tergantung pada beliau. Wahyu turun ke dalam hati Rasulullah saw kapan saja. Kadang-kadang di saat beliau sedang berada di tempat tidur, atau pada saat-saat beliau sedang menunaikan shalat-shalat sunnah pada malam hari,[41] dan adakalanya wahyu turun di tengah malam gelap gulita, siang hari, saat udara dingin sekali, di tengah panas terik, ketika berada di Madinah, dan lain sebagainya. Namun, kadangkala Rasulullah saw bersikap menunggu jika wahyu terputus selama beberapa waktu,[42] sementara itu beliau sangat merindukan dan juga memerlukannya.[43]

D. Struktur Semantik Wahyu[44]
Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa wahyu merupakan komunikasi transendental[45] antara Tuhan dengan manusia. Antara komunikasi wahyu dengan komunikasi yang biasanya terjadi, memiliki struktur yang berbeda. Dalam komunikasi biasa, A berbicara kepada B, dan pembicaraan berhenti bila telah sampai kepada B; dan bila pembicaraan ingin diteruskan sebagai sebuah dialog, maka proses yang sama hanya dibalik, B yang semula sebagai pendengar sekarang menjadi pembicara dan mengatakan sesuatu yang ditujukan kepada A, sebagai pembicara awal.
Sementara wahyu, pada dasarnya adalah komunikasi linguistik yang terjadi dalam situasi konkret antara dua orang atau 뱋knum_, salah satu di antaranya memainkan peran aktif, sedangkan yang lainnya memainkan peran pasif (A B), atau yang dalam terminologi linguistik modern disebut sebagai la parol. Dan pengertian inilah sesungguhnya yang dikehendaki bahasa Arab dengan kalam.[46]
Pada kondisi yang demikian, maka terdapat dua pokok persoalan yang penting untuk diperhatikan, yaitu: Pertama, bahwa kedua belah pihak, yakni A maupun B harus menggunakan satu sistem isyarat yang sama. Artinya agar terjadi komunikasi linguistik yang efektif, maka A harus berbicara dengan bahasa yang dapat dimengerti oleh B, atau A harus berbicara menggunakan bahasa B. Berkaitan dengan wahyu al-Qur'an Tuhan (A) berbicara kepada Muhammad (B) dengan bahasa B, yakni bahasa Arab.
Kedua, bahwa antara A dan B harus berada pada tingkat keberadaan yang sama, sehingga mereka perlu berada dalam satu kategori keberadaan yang sama. Berkaitan dengan masalah wahyu, maka ketentuan yang kedua ini harus ditinggalkan, karena A dan B, yakni Tuhan dan manusia, sangat berbeda satu sama lain dilihat dari susunan keberadaannya. Dalam hal ini, antara kedua belah pihak tidak berhadapan secara langsung secara horizontal, melainkan hubungan tersebut bersifat vertikal, yaitu A berada di atas, mewakili tingkat keberadaan yang paling tinggi dan B berada di bawah, mewakili tingkat keberadaan yang jauh lebih rendah.[47]
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa tidak akan terjadi komunikasi linguistik antara A dan B bila terdapat ketidakseimbangan antara keduanya. Lalu bagaimana halnya dengan wahyu al-Qur'an, yang merupakan bentuk komunikasi antara Tuhan dengan manusia, di mana antara keduanya keberadaanya sangat berbeda. Oleh karena itu, supaya terjadi komunikasi linguistik yang sebenarnya, maka harus terjadi sesuatu yang luar biasa baik pada A maupun pada B. Menanggapi masalah ini al­-Kirmani mengatakan:

Wahyu merupakan komunikasi verbal antara Tuhan dengan manusia. Tetapi, secara teoritik tidak dimungkinkan Pertukaran kata (al-Tahawur), juga pengajaran (ta'lim), ataupun belajar (ta'allum) kecuali kalau disadari oleh kedua belah pihak adanya bentuk persamaan yang pasti, yakni hubungan (munasabah) dan pembicara (al-aqa'il) dan pendengar (al-sama).[48]

Lebih lanjut al-Kirmani menjelaskan bahwa hubungan luar biasa antara Tuhan dan manusia dapat terjadi melalui dua kemungkinan: Pertama, pendengar (B) mengalami transformasi personal yang mendalam di bawah pengaruh kekuatan spiritual pembicara (A), dan kedua, pembicara turun dan menggunakan atribut pendengarnya.[49] Kedua kasus ini sebenarnya pernah terjadi pada diri Muhammad saw, sebagaimana telah digambarkan dalam Al-Qur'an dan sunnahnya. Pada kasus yang disebutkan pertama, Nabi Muhammad saw diberitakan telah mendengar suara aneh seperti suara lonceng yang berdentang atau seperti suara lebah yang berdengung. Sementara itu pada kasus yang disebutkan terakhir, Nabi Muhammad saw melepaskan kodratnya sebagai manusia yang bersifat jasmani untuk berhubungan dengan malaikat yang rohani sifatnya, beliau merasakan sakit yang sangat hebat, tidak saja rohani tapi juga jasmani. Sakit jasmani yang dirasakan oleh Nabi itu - sebagaimana diungkapkan oleh Ibn Khaldun dl atas - disebabkan karena dalam pengalaman supranatural ini rohani manusia yang pada hakikatnya tidak disiapkan untuk mengalami hal semacam itu, untuk sementara waktu benar-benar menjadi bagian dari dunia malaikat sampai kembali kepada kemanusiaannya lagi.
Dalam terminologi al-Qur'an makhluk ghaib yang menampak­kan diri kepada Rasulullah Muhammad dan mengirimkan firman-firman Allah swt kepadanya pada periode Mekah, disebut dengan nama simbolik ruh al-quds[50] (roh suci). Ia juga disebut al-ruh al-amin[51] (roh yang dapat dipercaya). Sementara itu pada periode Madinah Roh Suci ini disebut malaikat Jibril.[52]
Bila kita berhenti pada tahap analisis ini, secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa wahyu adalah hubungan verbal tiga pihak A – M - ­B, yang pada titik pertama adalah Allah swt, pada titik terakhir adalah nabi dan di tengah-tengah adalah Malaikat Jibril. Untuk mengetahui masalah yang sebenarnya kita tidak boleh berhenti pada tahap ini, karena analisis kita mengenai konsep wahyu belum sampai pada tahap terakhir. Kita harus melangkah lebih jauh ke tahap analisis keempat.
Pada tahap keempat, tujuan wahyu bukan merupakan persoalan utama. Sebagaimana sudah kita lihat, Tuhan mewahyukan kehendak­-Nya melalui utusan langit kepada Muhammad saw. Tetapi, Muhammad saw sendiri bukanlah tujuan akhir. Tujuan wahyu bukanlah untuk keselamatan Muhammad saw pribadi. Tetapi juga harus menjangkau orang-orang selain Muhammad saw. Hal ini berbeda dengan pembicaraan biasa, yaitu antara A - B. Dalam proses pembicaraan biasa, A berbicara kepada B, dan pembicaraan berhenti bila telah sampai kepada B; bila pembicaraan itu diteruskan sebagai sebuah dialog, maka proses yang sama hanya dibalik. Sedangkan pada kasus wahyu, B harus berubah menjadi pembicara bukan dalam bentuk yang berbalik, tetapi dengan arah yang sama, atau lebih tepatnya sebagai penyampai (mubaligh) (QS. al-Maidah/5: 92) apa yang telah dikatakan A kepadanya.
Dipandang dan persepektif ini, maka konsep wahya bukan merupakan hubungan tiga orang, tapi sebenarnya konsep hubungan empat orang (A - M - B - C). Menurut al-Qur’an, secara historis C awalnya adalah orang-orang Mekah, lalu orang Arab keseluruhan, kemudian apa yang disebut Ahli Kitab, akhirnya umat manusia di dunia ini.

E. Wahyu: Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern
Dalam Islam, wahyu sebenarnya bukanlah suatu hal yang aneh dan mengherankan, sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang kafir maupun orang-orang yang tidak percaya terhadap eksistensi wahyu. Karena dalam Al-Qur'an sendiri telah disinyalir secara jelas bahwa wahyu merupakan sesuatu yang niscaya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam QS. Yunus/10: 2, Allah swt berfirman:

Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: "Berilah peringatan kepada manusia dan gembirakanlah orang-orang beriman bahwa mereka mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan mereka". Orang-orang kafir berkata: "Sesungguhnya orang ini (Muhammad) benar-benar adalah tukang sihir yang nyata." (QS. Yunus/10: 2).

Selain ayat di atas, terdapat ayat yang senada bahwa Muhammad bukanlah nabi pertama yang berbicara dengan manusia atas nama wahyu, karena sebelumnya telah banyak nabi-nabi lain yang memenerima wahyu dari Allah swt. Hal ini sebagaimana disinyalir dalam QS. Al-Nisa’/4: 163-164.

Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Isma`il, ishak, Ya`qub dan anak cucunya, `Isa, Ayyub, Yunus, Harun dan Sulaiman. Dan Kami berikan Zabur kepada Daud. Dan (kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS. al-Nisa/4: 163-164).

Dari dua ayat di atas menjadi jelas bahwa eksistensi wahyu bukan merupakan sesuatu yang harus diperdebatkan, karena nabi-nabi sebelum Muhammad saw pun banyak yang berbicara kepada umatnya atas nama wahyu. Meskipun demikian tidak sedikit yang masih mempertanyakan hal tersebut, karena mereka masih merasa tidak cukup dengan jawaban-­jawaban yang didasarkan pada syara', bahkan mereka baru mau mempercayainya kalau jawaban-jawaban tersebut didasarkan pada logika yang dapat menjelaskan eksistensinya secara rasional dan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan modern. Mereka umumnya berpegang pada prinsip-prinsip keilmuan yang didasarkan pada eksperimen-­eksperimen dan didasarkan pada hasil pengindraan, bukan yang lainnya.
Pada awalnya mereka bersikap ragu-ragu (skeptis) terhadap sesuatu hal, kemudian mengadakan eksperimen-eksperimen dengan perangkat akal dan indra untuk mendapatkan kepastian terhadap hal tersebut, sementara faktor lain tidak diperhatikan sama sekali. Dari sini sebenarnya mereka telah terjebak dalam hal-hal yang bersifat materiil, dan mengabaikan hal-hal yang immateriil, termasuk di dalamnya hal-hal yang berhubungan dengan ketuhanan, kenabian, dan juga wahyu.[53]
Berkaitan dengan masalah di atas, Muhammad Abd al-'Azhim al­-Zarqani, mengemukakan beberapa penjelasan yang dapat dijadikan sebagai landasan untuk meyakinkan bagi orang-orang yang ingkar terhadap eksistensi wahyu dari sudut ilmu pengetahun modern, di antaranya: Pertama, Ilmu hipnotis, atau yang dalam istilah al-Zargani sebagai "al-Tanwim al-Shina'iy atau al-Tanwim al-Maghnathisiy”[54] yang merupakan salah satu ilmu yang telah terjadi dalam realitas hidup. Ilmu ini telah dikembangkan oleh Dr. Musmir pada abad ke 18. Eksistensi ilmu ini telah diakui dan karenanya para sarjana pun mengaguminya. Dan beberapa percobaan yang telah dilakukan berulang-ulang terhadap ilmu ini, terbukti hal-hal berikut: (1) bahwa manusia mempunyai akal batin yang melebihi potensi akal yang biasanya; (2) bahwa manusia yang terhipnotis mampu melihat dan mendengar sesuatu yang jaraknya jauh, dapat membaca terhadap sesuatu yang ada di balik tabir, memberitahukan hal-hal yang akan terjadi meskipun tidak ada tanda-tanda bahwa hal itu akan terjadi dalam alam hissi (nyata); (3) bahwa orang yang terhipnotis memiliki derajat yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkatan akal batinnya; (4) bahwa orang yang terhipnotis dapat sampai kepada derajat ruh bisa keluar dari jasadnya, ia bisa berada di sekitarnya sementara orang lain tidak melihatnya dan seolah-olah jasadnya tampak mati. Seandainya tidak ada pengikat yang sangat halus antara ruh dengan jasadnya maka jasadnya pun bisa mati; (5) mereka menetapkan bahwa di balik itu ada ruh; (6) bahwa ruh dapat lepas dari jasadnya secara bebas; (7) bahwa ruh tidak benar-benar terpisah; (8) bahwa ruh dapat berhubungan dengan ruh-ruh yang telah mendahuluinya, apabila ia terbebas dari materi.
Untuk lebih memperjelas ilmu hipnotis ini, al-Zargani menjelaskan pengalaman beliau ketika menyaksikan sendiri cara kerja ilmu ini pada saat menghadiri 밓am'iyah al-Syubban al-Muslimin".
Pada awalnya datang seorang guru hipnotis, lalu ia memanggil seorang pemuda yang memang sudah dipersiapkan secara khusus untuk membantunya. Yang dilakukan pertama-tama adalah melemahkan jiwa pemuda itu, lalu membangkitkan kekuatannya. Kemudian sang guru memandang matanya dengan pandangan yang tajam dan bersamaan dengan itu, guru tadi menggerak-gerakkan tangannya sehingga pemuda tadi tertidur dan terkulai lemas dan wajahnya tampak pucat, tubuhnya kaku, dan perasaan-perasaan normalnya hilang. Ketika para penonton berusaha untuk mengerak-gerakkan tubuhnya, sekali, dua kali, tiga kali, bahkan sampai berkali-kali dan ternyata tidak bereaksi sama sekali. Dari situlah akhirnya aku, al-Zarqani, tahu bagaimana sebenarnya yang dimaksud dengan "tidur" hasil hipnotis itu.
Kemudian guru menghampiri pemuda itu dan bertanya kepadanya: Siapa namamu?, lalu pemuda itu menjawab dengan menyebutkan nama yang sebenarnya. Lalu guru berkata kepadanya: Itu bukanlah namamu,namamu adalah ini (ia menyebutkan nama yang lainnya), dengan meyakinkan kepada pemuda tersebut namanya yang palsu, dan menghapus namanya yang asli dari ingatannya. Setelah itu lalu guru tersebut dan juga kami berusaha memanggil dengan namanya yang asli, namun ia tidak menyahut sama sekali. Lalu kami memanggilnya dengan nama palsunya, dan la langsung menjawabnya tanpa ragu sama sekali. Setelah itu guru tersebut memerintahkan kepada pemuda itu agar ia mengingat terus nama barunya itu sebagai namanya yang sesungguhnya. Keadaan yang demikian berlangsung sangat lama, hingga setengah jam lamanya sejak ia terbangun dari tidurnya. Kemudian guru menyadarkan­nya, dan ia melanjutkan ceramahnya. Dan kami pun berusaha mengejutkan dengan memanggil namanya yang asli, dan pemuda tersebut tidak menjawab sama sekali. Lalu kami mengejutkan dengan nama yang palsu, dan secara spontan ia pun menjawabnya. Keadaan yang demikian sempat berlangsung lama, dan setelah hampir setengah jam lamanya sejak ia dibangunkan, barulah ia kembali menyadari namanya yang asli.
Dari eksperimen yang dilakukan, ternyata seorang guru hipnotis dapat menghapus setiap pengaruh yang telah melekat pada jiwa pemuda tersebut, seperti nama, bahkan agama yang dianutnya sekalipun. Dengan demikian, ilmu hipnotis dari satu sisi dapat dijadikan sebagai cara untuk menjelaskan persoalan wahyu dari segi ilmu pengetahuan. Jika manusia ternyata mampu memberikan pengaruh sedemikian kuat, maka apalagi Tuhan Yang Maha Kuasa, tentu yang demikian tidaklah sulit dilakukan terhadap hamba-hambanya yang dikehendaki.
Pada bagian akhir ketika menjelaskan masalah ini, al-Zarqani mengajukan pertanyaan: Apakah Anda menganggap, wahai para pembaca yang budiman, bahwa kalau makhluk saja mampu memberi pengaruh ke dalam jiwa makhluk yang lain, dengan perantaraan ilmu hipnotis, lantas Tuhan yang Maha Perkasa dan Maha Kuasa tidak mampu memberi pengaruh ke dalam jiwa hamba-hamba-Nya yang ia kehendaki melalui wahyu? Jangan begitu!, bahwasanya Dia Maha Kuasa terhadap segala sesuatu.
Kedua, bahwa ilmu pengetahuan modern sekarang ini telah mampu menemukan hal-hal yang sangat menakjubkan yang sama-sama kita menfaatkan.[55] Seperti telpon, mikrofon, radio, dan lain sebagainya. Dengan peralatan tersebut memungkinkan bagi manusia berbicara kepada orang lain yang tempatnya sangat jauh sekalipun dan dapat memberikan pengarahan dan keterangan sesuai dengan apa yang dikehendaki. Maka apakah masuk akal apabila dikatakan bahwa Tuhan tidak mampu menyampaikan wahyu-Nya kepada hamba-hambanya yang terpilih, baik dengan perantaraan malaikat ataupun tidak?
Ketiga, dengan ilmu pengetahuan ternyata benda-benda yang nota bene mati dan tidak berakal ternyata mampu juga diisi dengan suara-­suara atau lagu-lagu. Dan di antara kita pun juga memiliki peralatan yang demikian ini. Mereka menyebut peralatan ini dengan phonegrap (piringan hitam). Kaitannya dengan wahyu, bila manusia saja dengan ilmunya dapat mengisi benda-benda tersebut dengan suara-suara dan kata-kata, maka tidak mustahil bagi Tuhan untuk melakukan hal yang sama, yaitu mengisi jiwa-jiwa manusia pilihan-Nya yang bersih dan suci, dengan pembicaraan yang suci pula, yang dapat dijadikan petunjuk bagI seluruh manusia.[56]
Keempat, kita dapat menyaksikan sebagian kehidupan hewan di dunia dilengkapi dengan hal-hal yang mengagumkan dalam hal keteraturan dan kerja mereka. Boleh jadi keteraturan hidup yang mengagumkan yang terlihat dalam diri binatang itu terjadi karena tuntutan dan dorongan instinknya (gharizah), namun yang demikian itu tidak sesederhana yang diperkirakan. Keadaan ini bisa dijadikan sebagai cara untuk menumbuhkan keyakinan bahwa hal itu tidak akan terjadi kecuali atas kehendak Tuhan Yang Maha Tinggi, yaitu yang telah mengilhamkan padanya keajaiban-keajaiban tersebut.
Jika yang demikian itu benar terjadi pada dunia binatang, maka hal ini juga tidak mustahil terjadi pada diri manusia. Sehingga terjadinya interaksi antara manusia dengan Yang di Atas harus dipandang sebagai hal yang sangat mungkin terjadi, yaitu dengan melalui jalan wahyu.[57]
Beberapa fakta di atas merupakan sebagian dari fakta-fakta yang dikemukakan oleh al-Zarqani. Dengan harapan hal tersebut dapat dijadikan sebagai analogi untuk mengetahui eksistensi wahyu melalui pendekatan ilmu pengetahuan modern dan dapat pula meyakinkan bagi mereka yang ingkar terhadap eksistensinya.[]

Catatan Akhir:
[1]Di antaranya adalah Tor Andrae dalam buku "Muhammad: The Man and His Faith. Menurutnya wahyu memiliki dua bentuk. Pertama, wahyu yang diterima melalui pendengaran (auditory), dan kedua, wahyu yang diterima melalui penglihatan (visual). Untuk tipe yang disebutkan pertama wahyu merupakan suara yang berbicara ke telinga ataupun hati seorang nabi. Sedangkan untuk tipe yang disebutkan kedua wahyu merupakan pandangan dan gambaran, terkadang jelas sekali, tetapi biasanya samar-samar. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw menerima wahyu dalam bentuk yang pertama. Hal ini didasarkan pada QS. al-Qiyamah/75: 16-19. (Lihat Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Cet. 2 (Jakarta: UI Press, 1986), h. 22).
[2]Lihat, misalnya Manna' al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Qur'an, up: Mansyurat al-Asyr al-Hadits, t.th.), h. 30-50; juga Dr. Subhi Shaleh, Mababis fi Ulum Al-Qur'an, (Jakarta: Dinamika Barakah Utama, t.th.), h. 22-47; juga Muhammad Abd al-'Azhim al-­Zarqani (selanjutnya disebut al-Zarqani), Manahil al-Irfan fi Ulum Al-Qur'an, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr,1988), h. 63-73.
[3]Dalam Al-Qur’an kata akal (al-aql diulang sebanyak 49 kali, kesemuanya dalam bentuk fi'l (kata kerja), dan tidak pernah disebutkan dalam bentuk isim (kata benda), yaitu 'aqaluh terdapat dalam satu ayat; kata ta'qilun diulang sebanyak 24 kali; kata naqilu, sebanyak 1 kali; kata ya'qiluha sebanyak 1 kali; dan kata ya'qilun diulang sebanyak 22 kali. (Lihat Muhammad Fuad 'Abd al-Baqi (selanjutnya disebut Abd al-Bagi), Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qur'an al-Kanim (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), h. 468-469).
[4]Di kalangan teolog Islam terjadi perbedaan pendapat dalam hal kemampuan akal untuk mengetahui hal-hal di atas. Bagi kaum Mu'tazilah, yang merupakan pemikir kalam rasional, berpendapat bahwa akal dapat mengetahui semua masalah tersebut. Sedangkan menurut Aliran Asy'ariyah, bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari keempat masalah itu, yaitu adanya Tuhan, sementara ketiga masalah lainnya hanya dapat diketahui melalui perantaraan wahyu. Sementara itu aliran Maturidiyah Samarkhan berpendapat bahwa akal mampu mengetahui ketiga masalah tersebut, sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat tidak dapat dijangkau oleh akal. Lain halnya dengan aliran Maturidiyah Bukhara, yang berpendapat bahwa akal hanya mampu mengetahui dua dan keempat masalah tersebut, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. (Lihat Dr. Hasan Zaini, MA., Tafsir Tematik Ayat-Ayat Kalam Tafsiral-Maraghi (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,1997), h. 37-38).
[5]Lihat Ibrahim Anis, dkk, Al-Mu’jam al-Wisith, jilid. I (Kairo: t.p., 1972), h. 1019; bandingkan dengan Al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur'an, (Beirut: Dar al-­Fikr, tth.), h. 552. Juga Dr. Subhi Shaleh, op. cit., h. 25. Sementara itu Munawar Cholil menyebutkan ada 13 pengertian wahyu secara etimologis, yaitu: (1) mengkhabarkan dengan langsung (2)berkata-kata dengan perlahan-lahan; (3) berpesan; (4) menyuruh; (5) menyurat; (6) menunjukkan sesuatu dengan segera; (7) menjatuhkan sesuatu kepada seseorang; (8) memberi pengetahuan kepada seseorang (9) memberi penerangan kepada seseorang (10) memberi pengajaran kepada seseorang dengan tidak diketahui oleh orang lain; (11) memberikan obat-obat dengan segera; (12) menyembelih dengan segera; (13) firman-firman Tuhan Yang Maha Esa kepada nabi-Nya dan para walinya (Lihat Munawar Cholil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw, Jilid I (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), h. 183).
[6]Lihat Manna' al-Qaththan, op. Cit., h. 32; Masjfuk Zuhdi telah membagi pengertian wahyu ini menjadi dua, yaitu (1) wahyu dalam arti memberi wahyu (al-iha’), yaitu memberitahukan sesuatu dengan cara yang samar dan cepat yang perinciannya sebagaimana terdapat dalam QS. al-Syura/42: 51; dan (2) wahyu dalam arti yang diwahyukan (al­-m?a bih), yang dalam hal ini ada dua macam, yaitu Al-Qur'an dan hadits Nabi, yang secara redaksional susunan lafazhnya berasal dari Nabi, tetapi secara makna berasal dari Tuhan, sebagaimana dalam QS. al-Najm/53: 3. (Lihat Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, Pengantar Ulumul Qur'an (Surabaya: Bina Ilmu, 1993), h. 5-7).
[7]Lihat Abd al-Baqi, op. cit., h. 746-747.
[8]Lihat Dr. Subhi Shaleh, op. cit., h. 23-24.
[9]Maksudnya adalah bahwa Nabi Zakaria memberi isyarat untuk memberi pengertian kepada umatnya tanpa melalui pembicaraan. Isyarat demikian itu antara lain dilakukan dengan gerakar tangan dan lain sebagainya. Ayat ini masih terkait erat dengan ayat sebelumnya yeitu: "Zakaria berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda", Tuhan berfirman: Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercaka-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat"(QS. Maryam/19: 10).
[10]al-Zarqani, op. cit. h. 63
[11]Dikutip dan Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 33. Definisi wahyu menurut Abduh di atas mendapatkan komentar dari Malik bin Nabi. Menurutnya definisi racikan Abduh tersebut masih terdapat ketidakjelasan, terutama tentang hal yang berkaitan dengan penafsiran "keyakinan" pada diri Nabi. Di mana – menurutnya lebih lanjut - dalam keadaan wahyu tidak bertransisi melalui jalan indrawi, dapat didengar dan dilihat, maka definisi wahyu demikian hanya merupakan pendefinisian yang subyektif, sebab agaknya Nabi tergambar tidak mengetahui secara objektif bagaimana pengetahuan itu datang kepadanya, sedang ia mendapati pengetahuan itu dalam dirinya, dengan berkeyakinan bahwa pengetahuan itu datang dari Allah swt. Menurutnya, dalam definisi di atas terlihat kontradiksi yang jelas karena yang demikian mengenakan kepada fenomena kewahyuan semua ciri khas yang mensifati segi mukasyafah (penyingkapan). (Lihat lebih lanjut, Drs. Rif'at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan, Pengantar Ilmu Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 8).
[12]Drs. Rif’at Syauqi Nawawi dan Drs. M. Ali Hasan telah menginventaris perbedaan wahyu dengan ilham kurang lebih ada 5 perbedaan, yaitu (1) Wahyu diterima rasul/nabi melalui kasy? syuhudi di samping dengan kasy? ma’nawi, yaitu wahyu datang kepada nabi selalu dibarengi dengan hadirnya malaikat pembawa wahyu, sedangkan ilham datang hanya melalui kasy? ma’nawi dan tidak melalui kasyaf suhudi, artinya ilham datang kepada manusia tanpa dibarengi dengan kehadiran seorang utusan (malaikat); (2) Wahyu merupakan khaw?un Nubuwwah, yaitu khusus diterima manusia pilihan Allah untuk mengemban tugas kenabian atau kerasulan, dan tidak diberikan kepada manusia biasa, sedangkan ilham diterima oleh siapa pun, selain nabi atau rasul baik pintu kenabian belum tertutup maupun setelahnya; (3) Wahyu di i’lamkan (disampaikan) dengan suatu tujuan, yaitu untuk kemaslahatan seluruh manusia atau ummat tertentu, dan dibebani tanggung jawab untuk menyampaikannya kepada orang lain, sedangkan ilham jika berhubungan dengan kebaikan, maka dimaksudkan untuk kemaslahatan dan kebaikan manusia, sedang jika berhubungan dengan nilai yang tidak baik, maka bertujuan sebagai ujian bagi yang menerimanya, dan tidak dibebani tanggung jawab untuk menyampaikannya kepada orang lain; (4) Wahyu tidak dapat ditminta supaya turun pada suatu waktu, karena ia sepenuhnya menjadi monopoli tunggal Tuhan, sedangkan ilham menurut sebagian ualma sufi dapat diminta kepada Allah, karena pada dasarnya ia lebih merupakan dil?ah atau indikator eratnya tali komunikasi antara seorang hamba dengan Tuhannya; (5) Wahyu sudah tertutup bersamaan dengan waktu berakhirnya kenabian Muhammad, sedangkan ilham pintunya masih terbuka selama masih ada manusia dan sampai hari akhir. (Lihat ibid., h. 13-17).
[13]Harun Nasution, op. cit., h. 23.
[14]Lihat Dr. Subhi Shaleh, op. cit., hlm. 26-27.
[15]Pada peristiwa ini, yaitu turunnya Adam dan Hawa dari surga ke bumi, menurut al-Razi bukanlah sebagai hukuman atas pelanggaran mereka berdua, melainkan untuk melaksanakan janji Tuhan yang pertama, yaitu pengangkatan Adam sebagai khalifah-Nya di bumi. Sementara itu menurut Nurcholish Madjid, drama yang menyangkut Adam itu merupakan bagian dari Rencana Besar (Grand Design) Ilahi. Menurutnya lebih lanjut, bahwa hal itu merupakan skenario penobatan manusia sebagai penguasa di bumi, yang bertugas membangun dan mengembangkan bumi ini atas nama Allah swi. (Lihat Dr. Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban, Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 184).
[16]Menurut Astrid S Susanto, bahwa dalam komunikasi Allah dengan malaikat terlihat dua responsi berbeda. Pertama, membuahkan komunikasi sosial yang melahirkan jalinan ikatan sosial yang kokoh melalui interaksi, terlihat ketundukan malaikat yang selalu patuh; kedua, mengakibatkan komunikasi tanpa interaksi, hanya bersifat searah, digambarkan keengganan Iblis yang senantiasa membangkang (Lihat Astrid S Susanto, Kemunikasi Kontemporer (Bandung. Bina Cipta, 1977), h. 124)
[17]Dikutip dari Manna' al-Qaththan, op. cit, h. 34.
[18]Berkaitan dengan cara turunnya wahyu al-Qur’an ini, ulama berbeda pendapat, yaitu: (1) Allah swt menurunkan al-Qur’an dari al-Lauh Mahfuzh ke langit dunia pada malam qadar (lailah al-gadar) sekaligus, baru kemudian diturunkan al-­Qur'an itu secara berangsur-angsur selama 20 tahun atau 23 tahun atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan pendapat tentang masa tinggal Rasulullah saw di Mekkah setelah kenabian; (2) Allah swt menurunkan al-Qur'an ke langit dunia selama 20 atau 23 atau 25 kali malam qadar, (3) Penurunannya dimulai pada malam qadar, kemudian setelah itu diturunkan secara bertahap sepanjang masa penurunannya; dan (4) Al-Qur’an diturunkan dari al-Lauh Mahfuzh sekaligus, lalu penjaganya mengangsurnya kepada Jibril selama 20 malam, kemudian Jibril menurunkannya kepada Muhammad selama 20 tahun. Dari keempat pendapat tersebut, menurut al-Suyuthi, pendapat yang pertamalah yang paling benar. (Lihat Jalal al-Din al-Suyuthi (selanjutnya disebut al-Suyuthi), Apa itu al-­Qur'an, terj. Aunur Rafiq Shalih Tamhid (Jakarta: Gema Insani, 1995), h. 42; Bandingkan dengan Manna' al-Qaththan, op cit., h. 35).
[19]Menurut Manna al-Qaththan, ada beberapa hikmah Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur. Pertama, untuk meneguhkan hati Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya; kedua, untuk memudahkan Nabi menghafal al-Qur’an dan memahaminya, ketiga, sebagai mu'jizat, keempat, untuk menerapkan hukum secara bertahap, dan kelima, sebagai bukti bahwa al-Qur'an bukan rekayasa Nabi Muhammad saw dan manusia biasa, tetapi benar-benar datang dari Tuhan yang Maha Bijaksana. (Lihat lebih lanjut Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 107-116; bandingkan dengan al-Zarqani, op. cit., Jilid I, h. 53-62).

[20]Dikutip dari Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 34.
[21]Ibid., h. 35-36

[22]Menurut al-Zargani ada empat macam bentuk komunikasi wahyu, yaitu (1) pembicaraan langsung antara hamba dengan Tuhannya, (2) berupa sesuatu yang dianugerahkan Allah swt ke dalam hati para hambanya yang terpilih dan ia tak dapat menolaknya serta tidak ada keraguan di dalannya, (3) berupa mimpi yang benar pada waktu tidur (man?an sh?iqan), bagaikan terangnya fajar yang menerangi kegelapan, dan (4) melalui perantaraan malaikat Jibril, dan inilah yang paling umum. (Lihat al-Zarqani, op. cit., Jilid I, h. 64). Sementara itu Munawar Cholil, telah menginventarisnya menjadi tujuh macam, di antaranya adalah: (1) berupa impian yang baik waktu beliau tidur; (2) kadang-­kadang wahyu itu ditiupkan pada hati beliau oleh malaikat Jibril; (3) kadang-kadang wahyu itu dibawa oleh malaikat Jibril, dan malaikat itu merupakan dirinya sebagai manusia laki­-laki, lalu menyampaikan (mengucapkan) perkataan-perkataan kepada beliau, kemudian semua perkataan itu dipelihara baik-baik dan dihafalkan benar-benar oleh beliau; (4) kadang-kadang malaikat pembawa wahyu itu merupakan dirinya dalam bentuk yang asli (bentuk malaikat), lalu ia mewahyukan kepada beliau apa-apa yang diwahyukan Allah swt kepada beliau; (5) kadang-kadang wahyu itu merupakan bunyi genta. Menurut kata beliau, itulah wahyu yang paling berat diterima oleh beliau; (6) kadang-kadang wahyu itu datang tidak dengan perantaraan malaikat, melainkan beliau menerimanya langsung dari hadirat Allah swt sendiri; (7) sekali wahyu itu beliau terima waktu beliau ada di atas langit yang ketujuh. Jadi beliau menerima Firman Allah swt dari Hadlirat Allah sendiri. (Bahasa disesuaikan dengan EYD, Lihat Munawar Cholil, op. cit., h. 184)
[23]Dalam masalah ini Dr. Subhi Shaleh mengkritik terhadap apa yang ditulis oleh Dr. George Bost dalam kamus Kitab Suci-nya yang berbahasa Arab yang menyatakan bahwa wahyu adalah kemanunggalan (hulul) Roh Tuhan dengan roh para penulis kitab suci yang mendapatkan ilham untuk mengetahui terhadap hakikat kerohanian dan berita-berita (akhbar) ghaib; dengan ilham yang diperolehnya itu mereka tidak merasa kehilangan apa pun dari kepribadiannya dan memiliki cara tersendiri untuk menyusun dan mengungkapkan sesuatu. Menurut Subhi Shaleh definisi wahyu sebagaimana yang terdapat dalam kamus tersebut, pengertiannya sangat jauh sekali dengan kaidah agama yang berkaitan dengan ajaran Tuhan. Menurutnya, definisi itu lebih mendekati kepada pengertian kasf (penglihatan batin) yang dimiliki oleh manusia. (Lihat Dr. Subhi Shaleh, op. cit., h. 25).
[24]Ada yang berpendapat bahwa sebagian wahyu al-Qur'an diturankan dalam keadaan Nabi sedang tidur, seperti surah al-Kausar diturunkan melalui mimpi, hal ini didasarkan pada satu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas Ibn Malik. "Ketika Rasulullah saw. pada suatu hari berada di antara kami di dalam masjid, tiba-tiba ia mendengkur, lalu mengangkat kepala beliau dalam keadaan tersenyum. Aku tanyakan kepadanya: Apakah yang menyebabkan engkau tertawa wahai Rasulullah?". Ia menjawab: Tadi telah turun kepadaku sebuah surah". Lalu ia membacakan: Bismillah al-Rahman al-Rahim, Inna a'thainakal kautsar; fashalli lirabbika wanhar; inna syani'aka huwal abtar".
[25]Dikutip dari Dr. Subhi Shaleh, ibid., h. 39; Bandingkan pula dengan Manna' al­-Qaththan, op. cit., h. 66
[26]Para ulama berbeda pendapat tentang bagian Al-Qur'an yang pertama kali diturunkan, di antaranya: (1) bahwa yang pertama kali turun adalah ayat 1-5 dari surah al­-‘Alaq; sebagaimana hadits Bukhari dari ‘Aisyah di atas dan ini adalah yang paling kuat; (2) bahwa yang pertama kali turun adalah surah al-Mudassir/74. Menurut ulama surah ini adalah yang pertama kali turun secara sempurna. Kedua pendapat ini dapat dipadukan, bahwa surah al-Alaq menyatakan kenabian, sementara surah al-Mudassir menyatakan kerasulannya; (3) bahwa yang pertama kali turun adalah surah al-Fatihah sebagaimana pendapat Muhammad Abduh; (4) bahwa yang pertama kali turun adalah surah al-Dhuha. (Lihat selengkapnya pada Manna' al-Qaththan, ibid., h. 65-68; Bandingkan dengan al­-Suyuthi, op. cit., h. 52; juga Subhi Shaleh, op. cit., h. 37; Hasbi as-shiddigi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 44)).
[27]Berkaitan dengan bagian Al-Qur’an yang terakhir diturunkan, para ulama juga berbeda pendapat, sebagian besar ulama berpendapat bahwa ayat yang paling akhir diturunkan adalah QS. al-Maidah/5: 3; sebagian lain berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah QS. an-Nashr/110: 1-3; sementara itu ada juga yang berpendapat bahwa yang terakhir diturunkan adalah QS. al-Baqarah/2: 278 atau 281 atau 282; ada yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah QS. al-Nisa/4: 93 atau 176; ada juga yang berpendapat bahwa ayat yang terakhir turun adalah QS. al-Taubah/9: 128-129; demikian juga ada yang berpendapat QS. Ali Imran/3: 195. (Lihat selengkapnya pada Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 69-71).
[28]Orang-orang Arab terdahulu menganggap bahwa Al-Qur'an itu tidak lain adalah mimpi yang kalut yang dialami oleh Rasulullah saw. Hal ini diabadikan dalam QS. Al-­Anbiya/21: 5, yang artinya: Bahkan mereka berkata (pula): "(Al-Qur'an itu adalah) mimpi-mimpi yang kalut, malah diada-adakannya, bahkan dia sendiri seorang penyair, maka hendaknya ia mendatangkan kepada kita suatu mu`jizat, sebagaimana rasul-rasul yang telah lalu diutus".
[29]Menurut Maulana Muhammad Ali, maksud dari kata "di belakang tabir" adalah penglihatan pada waktu tidur, atau dalam keadaan tak sadar. Cara kedua ini juga disebut dengan ru’yah (mimpi) atau kasyf (vision). Sementara itu mayoritas ulama tafsir menyatakan bahwa mimpi/ru’yah termasuk dalam kategori wahyu pertama. Dalam hal ini, menurutnva, orang diperlihatkan impian yang mempunyai arti yang lebih dalam daripada apa yang terlihat dalam impian biasa. Impian itu mengandung arti, tetapi arti diselubungi sehingga maknanya harus dicari dari belakang tirai. Misalnya impian yang disebut dalam al-Qur’an surah Yusuf. Dalam hal ini disebutkan bahwa Nabi Yusuf melihat matahari, bulan dan sebelas bintang bersujud kepadanya. Impian itu mengandung arti kebesaran dan ketajaman penglihatannya akan barang-barang. Raja melihat tujuh sapi kurus menelan tujuh ekor sapi gemuk, yang berarti tujuh tahun kelaparan dan kesukaran, akan terjadi sesudah tujuh tahun penuh makanan, dan menelan habis gudang gandum negara. (Lihat Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Dienul Islam) (Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyah dan Ichtiar Baru-van Hoeve, 1977), h. 140).

[30]Komunikasi verbal antara Allah swt dengan Musa sebagaimana terdapat dalam ayat di atas merupakan keistimewaan Nabi Musa as dan oleh karenanya beliau disebut sebagai Kalimullah, sedangkan rasul-rasul yang lainnya mendapat wahyu dari Allah swt dengan perantaraan malaikat Jibril. (Lihat, Al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 151).
[31]Para ulama berbeda pendapat tentang apa yang diturunkan Jibril kepada Nabi Muhammad saw mengenai wahyu tersebut. Pertama, Jibril menurunkan atau menyampaikan maknanya saja, sementara Nabi menangkap dan mengetahui makna-makna wahyu tersebut, lalu beliau mengungkapkannya dalam bahasa Arab, kedua, Jibril menerima maknanya dari Allah swt, lalu Jibril mengungkapkannya dalam bahasa Arab. Lafazh Jibril itulah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad saw, ketiga, Yang diturunkan atau disampaikan Jibril itu lafazh dan maknanya. Jibril menghafal A1-Qur'an dari Lauh Mahfuzh, lalu menyampaikannya kepada Nabi Muhammad saw. (Lihat Hasanuddin AF, Anatomi alQur'an: Perbedaan Qira'at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum dalam al-Qur'an (Jakarta: Rajawali Pers,1995), h. 33).

[32]Menurut Toshihiko Izutsu, turunnya wahyu model ini termasuk dalam kategori tipe kedua, yaitu penyampaian wahyu dari balik tabir. Menurutnya, penggunaan aspek perfektif (wa'aitu, aku telah mengetahui) dalam hadits tersebut adalah bahwa Nabi Muhammad saw tidak memiliki kesadaran mendengar perkataan yang dapat dimengerti; semua yang beliau dengar merupakan suatu yang misterius, suara yang tidak jelas. Tetapi, ketika momen tersebut berakhir dan beliau kembali ke dalam kesadaran manusia normal, beliau menyadari bahwa suatu itu berubah menjadi kata-kata yang jelas maknanya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa bunyi "seperti gemerincing lonceng" tidak harus diartikan sebagaimana yang biasa kita dengar, makna dari bunyi tersebut masih tetap misterius dan sulit untuk didefinisikan. (Lihat, Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Pendekatan Senantik terhadap Al-Qur'an (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997), hccccccccc. 195).
[33]Lafazh wa'a yang muncul dalam bentuk perfektif (wa’aitu) sebagaimana telah disebutkan, sekarang muncul dalam bentuk imperfektif (a'i). Hal ini menunjukkan bahwa dalam kasus ini dan hanya dalam kasus ini saja, Muhammad mendengarkan kata-kata yang benar-benar diucapkan.
[34]Dikutip dari Dr. Subhi Shaleh, op. cit., h. 27.
[35]Dikutip dari Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 39
[36]Ibid, h. 40; bandingkan dengan Dr. Muhammad Fazlur Rahman Anshati, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, terj. Ir. Juniarso Ridwan, (Bandung: Risalah, 1983), h. 58.
[37]Dalam hal ini Nabi dapat melihat kehadiran jibril melalui dua bentuk, yaitu (1) Jibril a.s. dilihat dalam bentuknya yang asli, namun hal ini sangat jarang sekali terjadi; dan (2) Jibril a.s. menjelma sebagai manusia laki-laki, ia pernah menamakan diri sebagai Duhyah bin Khalifah.
[38]Lihat Manna' al-Qaththan, op. cit., h. 39

[39]Kata qul (katakanlah) dalam Al-Quran terulang lebih dari tiga ratus kali. Menurut Subhi Shaleh, kata tersebut mengandung pengertian bahwa Muhammad saw dalam hal ini tidak menyelipkan gagasan atau pemikiramnya dan tidak pula mewarnai Al-Qur’an dengan lafazh atau kata-katanya. Ini berarti bahwa yang dikemukakan oleh Muhammad mengenai al-qur'an adalah Kalam Ilahi secara keseluruhan. (Lihat Subhi Shaleh, op. cit., h. 30).
[40]Ada beberapa contoh yang menunjukkan bahwa urusan pribadi Rasulullah saw terpisah dari wahyu, di antaranya adalah peristiwa "mengawinkan pohon korma" yang sudah terkenal di kalangan kaum muslimin. Juga teguran Allah swt kepada Rasulullah saw ketika terjadi pertengkaran antara Bani Ubairiq dengan orang lain. Di mana, Bani Ubairiq pernah memberikan laporan palsu kepada Rasulullah saw mengenai kasus pencurian. Mereka melontarkan tuduhan palsu kepada orang lain untuk melindungi pencuri yang sebenarnya, yaitu dari Bani Ubairiq sendiri, sehingga Rasulullah saw mempercayainya. Lalu Qatadah bin Nu'man sangat menyesal atas kepercayaan beliau kepada Bani Ubairiq yang sampai membenarkan tuduhan terhadap orang yang tidak bersalah. Kepada Qatadah Rasulullah saw berkata: Hai Qatadah, aku tidak percaya kalau di antara keluarga yang sudah dikenal keislaman dan kebaikannya menuduh orang melakukan pencurian tanpa diperkuat dengan pembuktian". Beberapa saat kemudian lalu turunlah ayat 105-106 surah al-Nisa. Dari sini Rasulullah saw mengetahui bahwa Bani Ubairiq telah mengkhianatinya, dan beliau meminta ampunan kepada Allah swt atas tegurannya kepada Qatadah. (ibid., h. 34-35).
[41]Surah al-Taubah ayat 118, yang berkenaan dengan tiga orang sahabat - Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah dan Murarah bin Rabi'ah - yang tidak turut benperang bersama-­sama Rasulullah saw, turun ketika beliau dalam keadaan seperti ini. Ketiga sahabat tersebut pada mulanya dikucilkan karena tidak mau turut berperang bersama-sama Rasulullah saw, tetapi kemudian mereka diampuni karena mereka sungguh-sungguh menyesali sikapnya.
[42]Setelah wahyu pertama kali turun, yaitu surah al-Alaq ayat 1-5, wahyu sempat putus kurang lebih tiga tahun lamanya. Hal ini sebagaimana dungkapkan oleh Siti Aisyah bahwa Rasulullah saw ketika itu merasa amat sedih. Beliau berulang kali berkhalwat di puncak bukit untuk dapat bertemu kembali dengan malaikat Jibril, hingga sampailah saat yang dnnanti-nantikan dan turunlah Jibril memberitahu beliau: "Hai Muhammad, engkau benar-benar utusan Allah". Sehingga dengan pemberitahuan itu beliau merasa tenang dan tenteram. Lalu pada suatu saat ketika beliau sedang berjalan-jalan terdengar suara dari langit, dan beliau memandang ke alas, tiba-tiba turun Jibril dalam bentuk yang sangat menakutkan, sehingga beliau segera pulang dan menemui istrinva Khadijah dan nmenyuruhnya untuk menyelimutinya, yaitu ketika turunnya wahyu yang kedua surah al-­Mudassir. (Ibid., h. 36).
[43]Secara historis dapat dikemukakan di sini beberapa fakta yang menunjukkan bahwa wahyu untuk beberapa saat lamanya sempat terputus, sementara Rasulullah saw ketika itu sangat merindukannya, di antaranya adalah peristiwa Haditsul Ifk, yaitu gosip tentang tuduhan orang munafik terhadap istri Rasul, Siti `Aisyah, telah berbuat serong. Ketika Rasulullah saw mendengar gosip tersebut, beliau merasa gundah gulana dan dicekam kebimbangan. Lalu Beliau berkata kepada 'Aisyah: Hai Aisyah, aku telah mendengar berbagai desas-desus tentang dirimu jika engkau benar-benar tidak berbuat kesalahan, Allah tentu akan menegaskan kesucian dirimu. Namum jika merasa telah berbuat dosa, mohonlah ampunan kepada Allah!". Ketika terjadi peristiwa itu, selama hampir satu bulan tidak turun wahyu sama sekali, padahal sangat diharapkan untuk menghadapi fitnah kaum munafik. Baru setelah satu bulan lebih turunlah ayat yang menegaskan bahwa Siti 'Aisyah tidak bersalah, yaitu QS. al-Nur/24: 11. Juga peristiwa ketika Nabi menginginkan mengubah kiblat dari al-­Masjid al-Agsha ke Ka'bah. Baru setelah satu setengah tahun lamanya wahyu turun berkaitan dengan masalah tersebut, yaitu QS. al-Baqarah/2: 144. (Baca selengkapnya, ibid., h. 37; Bandingkan dengan Al-Qur'an dan Terjemahnya, catatan no. 1032, h. 545)
[44]Semantik adalah konsep analisis yang menekankan pada arti, seluk-beluk, dan pergeseran makna kata. Teori ini mirip dengan analisis mufradat dalam ilmu tafsir.
[45]Transendental dapat didefnisikan sebagai di luar pengertian dan pengalaman manusia biasa (Osman Raliby, Kamus Internasional (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), h. 526); Sementara itu Onong Uchjana Effendi mendefinisikan komunikasi transendental sebagai komunikasi dengan sesuatu yang bersifat ghaib, termasuk komunikasi dengan Tuhan. (Onong Uchjana Effendi, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remadja Karya, 1986), h. 5).
[46]Lihat Toshihiko Izutsu, op. cit., h. 182.
[47]Ibid., h. 183
[48]Ibid., h. 183
[49]Ibid., h. 184
[50]Katakanlah: Ruhul Quds menurunkan al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk menegubkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah din (kepada Allah) QS. al-Nahl/16: 102).
[51]Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas. (QS. al-Syu’ara/26: 192-195)
[52]Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (QS. al-Baqarah/2: 97)
[53]Lihat, al-Zarqani, op. cit., h. 65
[54]Lihat, ibid., h. 66
[55]Ibid., h. 69
[56]Ibid., h. 69-70
[57]Ibid., h. 71-72

Tidak ada komentar: